Ekonomi Pancasila kerap disebut-sebut sebagai sistem ekonomi yang paling tepat untuk bangsa ini. Lalu berada di spektrum mana gagasan ekonomi ini?
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]elakangan ini gagasan mengenai Ekonomi Pancasila kembali mengemuka. Gagasan ekonomi yang berasal dari founding fathers negeri ini kembali disinggung ketika muncul perdebatan tentang identitas ekonomi mana yang paling tepat bagi Indonesia.
Meski kerap dianggap sebagai gagasan yang normatif, sistem ekonomi Pancasila dapat diturunkan ke dalam beberapa indikator kebijakan yang bisa diaplikasikan. Dalam kadar tertentu, sistem ekonomi ini juga memiliki relevansi dengan kebutuhan bangsa. Kebijakan yang tepat akan membantu gagasan filosofis ini diwujudnyatakan dan menjawabi kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, menarik untuk melihat ada di mana sistem ekonomi ini jika dibandingkan dengan sosialisme dan kapitalisme atau dengan sistem ekonomi lain yang dianut oleh banyak negara di dunia. Jatuh di spektrum manakah sistem ekonomi ini?
Membedah Ekonomi Pancasila
Secara historis, sistem ekonomi berbasis Pancasila memiliki kaitan erat dengan gagasan pendiri bangsa ini. Wakil presiden pertama Mohammad Hatta dianggap sebagai orang yang memberikan fondasi awal bagi gagasan ekonomi ini. Paham ekonomi Hatta ini disebut sebagai ‘jalan tengah’, tetapi merupakan sebuah ‘jalan lurus’ yang juga kerap disebut ‘jalan Pancasila’.
Bagi Hatta yang penting didahulukan adalah demokrasi ekonomi. Hal ini berarti kemakmuran masyarakat menjadi tujuan utama perekonomian. Hatta amat menekankan pada kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan pasar. Pemikiran Hatta ini kemudian dikembangkan oleh ekonom-ekonom lainnya.
Pemikiran Hatta ini tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Baginya jelas bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Selain itu perekonomian nasional juga diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan dan keadilan.
Jika ditelisik, sistem ekonomi Pancasila berkaitan erat dengan sila kelima Pancasila. Berdasarkan sila tersebut, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tujuan utama dari sistem ekonomi ini. Pemerataan kesejahteraan adalah agenda utama dari sistem ini.
Meski mendahulukan pemerataan, sistem ini juga tidak sepenuhnya anti kepada pasar. Pasar yang ada diharapkan dapat menjadi pasar yang sehat dan adil. Negara dalam hal ini memiliki peran untuk mengintervensi pasar. Intervensi tersebut misalnya nampak dalam upaya pengaturan harga bahan pokok dan larangan kegiatan ekonomi yang bersifat monopolistik.
Perekonomian yang ada tidak dibentuk dengan sendirinya melalui mekanisme pasar. Negara berperan mengatur, menata, dan mengintervensi pasar. Hal ini dimaksudkan agar terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adanya BUMN ini bagian dari konsep CME (coordinated market economy), yg menjamin SDA bisa dieksploitasi dg lebih teratur. Dalam bahasa kenegaraan, itu ejawantah dari Pasal 33 UUD 1945. Mari kita sebut "Ekonomi Pancasila". @hidahidaan @dayatia @inisifani
— Lalu Suryade (@suryadelalu) September 28, 2017
Dilihat secara filosofis, sistem ekonomi yang paling dekat dengan Pancasila adalah sistem ekonomi sosial demokrasi. Dalam sistem ini, kebebasan dan inovasi dalam kapitalisme tetap diadopsi. Industri tetap dapat tumbuh subur. Akan tetapi, peran pemerintah untuk meregulasi juga besar meski tidak mendominasi.
Sistem ekonomi Pancasila jika dikomparasikan dengan beragam sistem ekonomi, memiliki kemiripan dengan yang diterapkan di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, atau Norwegia. Hal ini diamini oleh Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Indonesia (KEIN) Arif Budimanta yang belakangan gencar membicarakan ekonomi Pancasila.
Jika dibedakan berdasar relasi dengan negara, ekonomi Pancasila memiliki ciri khusus dibandingkan dengan kapitalisme dan sosialisme. Pada kapitalisme intervensi negara amat minim. Sementara pada sosialisme negara justru memainkan peran utama.
Pada ekonomi Pancasila, penguasaan atau peran negara ada pada sumber daya yang krusial seperti air dan sumber daya alam lainnya. Ini ditujukan untuk kemakmuran rakyat seluas-luasnya. Sementara untuk aktivitas ekonomi lain negara membebaskan masyarakat melakukan inovasi.
Berdasarkan pelaku, yang membedakan ekonomi Pancasila adalah adanya ciri khas berupa sistem koperasi yang menekankan pada gotong royong dan usaha bersama. Hal ini berbeda dengan kapitalisme yang pelaku ekonominya murni swasta atau individu. Pancasila berbeda pula dengan sosialisme yang pelaku ekonominya adalah negara.
Corak khusus lainnya adalah pada penentuan harga. Pada kapitalisme harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Pada sistem berhaluan sosialis, harga sepenuhnya dikendalikan negara. Pada ekonomi berbasis Pancasila, ada pengendalian harga, tetapi diutamakan pada kebutuhan dasar masyarakat.
Menilai Pelaksanaan Ekonomi Pancasila
Meski di tataran konsepnya amat ideal, nyatanya di tataran implementasi gagasan ekonomi Pancasila ini belum banyak diterapkan. Memang ada beberapa regulasi yang menjaga pemerataan dan juga mendukung kebebasan berusaha. Tetapi ada beberapa elemen dalam sosial demokrasi yang belum diterapkan di negeri ini.
Meski pemerintah mengklaim kesenjangan semakin menurun ditandai dengan gini rasio yang membaik, tetapi sepanjang sejarah kebijakan ekonomi belum sepenuhnya mencerminkan gagasan tersebut. Selain itu jika dibandingkan dengan sistem serupa di negara lain, kebijakan ekonomi sejauh ini masih belum bercorak sepenuhnya sama.
KEIN: Infrastruktur Jadi Indikator Kebijakan Ekonomi Pancasila https://t.co/JWRdWKu6LX via @detikfinance pic.twitter.com/vyoNnYKAa2
— detikcom (@detikcom) November 1, 2017
Jika merujuk pada sistem sosial demokrasi di negara-negara Eropa, sistem ini amat mengambil titik tekan pada pajak. Pajak menjadi basis utama bagi pemerataan kesejahteraan di negara-negara benua biru tersebut. Pajak yang diterapkan lazimnya bersifat progresif, artinya semakin besar kekayaan maka semakin besar persentase pajak yang harus dibayarkan.
Sistem pajak seperti ini masih belum nampak dalam kebijakan di negeri ini. Pemerataan kesejahteraan belum berbasis pajak progresif seperti di Eropa. Hal ini membuat keadilan yang diharapkan belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Kesenjangan antara golongan satu persen orang kaya dengan masyarakat umumnya masih nampak jelas.
Jika konsisten dengan konsep pemerataan, maka pajak tinggi menjadi salah satu prasyarat utama. Masalahnya adalah kebiasaan dan kesadaran membayar pajak di negeri ini belum serupa dengan Eropa atau negara-negara di belahan bumi lain.
Selain itu, koperasi sebagai soko guru atau pilar utama dalam ekonomi berbasis Pancasila masih sulit berkembang. Hal ini umumnya terjadi akibat sistem administrasi badan usaha tersebut yang buruk sehingga tidak dapat menjadi bisnis berskala besar.
Kondisi ini berakibat pada pemerataan dan kekeluargaan ekonomi belum dapat terwujud. Korporasi dalam bentuk lain dapat dengan mudah menjadi besar dan mendominasi perekonomian negeri ini.
Terlepas dari hal tersebut, usaha ke arah ekonomi Pancasila terus-menerus diupayakan dari tahun ke tahun. Pembangunan kini sudah mulai tidak terpusat di satu tempat saja. Pelibatan masyarakat dalam bidang ekonomi juga mulai dilakukan pada tingkat yang sangat mikro yaitu dalam kasus dana desa. Langkah ke pemerataan yang benar-benar adil memang masih jauh, tetapi gagasan Pancasila mulai terpercik dalam kebijakan negeri ini. (Berbagai sumber/H33)