HomeNalar PolitikMati Lampu, Rini-Jonan Mundur?

Mati Lampu, Rini-Jonan Mundur?

Kebutuhan listrik masyarakat di Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah tidak dapat terpenuhi selama 9 hingga 18 jam beberapa waktu lalu. Perlukah Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Ignasius Jonan mundur?


PinterPolitik.com

“You done, I’m expectin’ resignation” – Chance The Rapper, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Seorang pemimpin negara tampak merasa kesal ketika menemui bawahan-bawahannya. Sebagai seorang pemimpin di Korea Selatan kala itu, Presiden Lee Myung-bak merasa malu untuk membicarakan kegagalan bawahannya yang merugikan banyak pihak.

Bagaimana tidak? Padamnya listrik di sebagian besar wilayah Korsel pada tahun 2011 silam membuat banyak masyarakatnya mengeluh dan mengalami kerugian.

Berbagai kegiatan rumah tangga harus menelan ketiadaan listrik yang berlangsung dalam periode lima jam. Bak ujian tambahan, musim panas yang membuat temperatur memanas hingga 33 derajat Celsius turut menyertai pemadaman listrik tersebut.

Keadaan juga semakin kacau di tengah pemadaman listrik kala itu. Kegiatan produksi berhenti. Orang-orang terperangkap di dalam lift. Jalanan pun menjadi rumit dengan berhenti berfungsinya lampu-lampu lalu lintas.

Dengan kerumitan yang dihasilkannya tersebut, masyarakat pun marah dan menekan pemerintah untuk bertanggung jawab. Tak heran juga apabila Menteri Ekonomi Choi Joong-kyung merasa bersalah dan memutuskan untuk mengundurkan diri.

Peristiwa yang terjadi di Korea Selatan tersebut mungkin mengingatkan kita dengan pemadaman listrik yang terjadi selama berjam-jam, beberapa waktu lalu di sebagian pulau Jawa. Bagi masyarakat yang terdampak, ketiadaan listrik beberapa waktu lalu memang merugikan – dari pengusaha-pengusaha kecil yang merugi hingga kebakaran akibat penggunaan lilin.

Beberapa pertanyaan pun timbul. Mengapa ketiadaan listrik menjadi merugikan bagi masyarakat? Lantas, bila berkaca pada kasus Korsel, perlukah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yang membawahi operasi pengadaan listrik mengundurkan diri?

Kebutuhan Dasar

Listrik bisa jadi merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh manusia di masa kini. Ketiadaan akan tenaga listrik boleh jadi mengurangi kemampuan dan aktivitas masyarakat.

Setidaknya, hal inilah yang disampaikan oleh G.S. Srinivasa Gopinath dan M.V.K. Meher dalam tulisannya yang berjudul Electricity A Basic Need For The Human Beings. Dalam tulisan tersebut, mereka menganggap bahwa manusia tidak dapat bertahan tanpa listrik. Bahkan, listrik dianggap sebagai sumber bagi segala kegiatan manusia.

Anggapan serupa juga dikemukakan oleh Chian-Woei Shyu dari National Chung Cheng University. Dalam tulisannya yang dipublikasikan oleh Elsevier tersebut, Shyu menjelaskan bahwa listrik memiliki peran sebagai basis pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fundamental manusia, seperti produksi pangan, penyediaan air bersih, sanitasi, layanan pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan publik.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Seperti yang terjadi di Korsel pada tahun 2011 silam, tidak mengherankan pula apabila pemadaman listrik membuat masyarakat Jakarta dan sekitarnya kecewa dan marah. Sebagai salah satu instrumen pemenuhan kebutuhan, masyarakat tentunya merasa dirugikan oleh ketiadaan listrik.

Kekecewaan masyarakat tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai fenomena psikologis, di mana masyarakat kehilangan kontrol akan upaya pemenuhan kebutuhan. Fenomena psikologis ini turut dijelaskan oleh sebuah artikel editorial di Science of Psychotherapy.

Dalam artikel tersebut, dengan mengutip Klaus Grawe, dijelaskan bahwa perasaan akan memiliki kontrol merupakan salah satu kebutuhan dasar. Perasaan ini membuat kita ingin meregulasi segala hal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya, baik kebutuhan fisik maupun psikologis.

Listrik memiliki peran sebagai basis pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fundamental manusia Share on X

Kebutuhan akan rasa kontrol ini telah kita miliki sejak bayi. Seorang bayi akan menangis apabila kehilangan rasa kontrol atas apa yang dikehendaki, seperti ketika tidak mendapatkan asupan gizi saat lapar.

Ketiadaan tenaga listrik bisa jadi membuat manusia secara psikologis kehilangan kontrol guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Hal ini terjadi akibat opsi yang kita miliki semakin terbatas.

Mungkin, fenomena inilah yang terjadi dalam pemadaman listrik di New York City pada tahun 1977. Di tengah-tengah gelap gulitanya kota berjuluk Big Apple tersebut, penjarahan dan kriminalitas meningkat kala itu.

Setidaknya, lebih dari 1.600 toko dijarah dan dirampok. Penjarahan massal tersebut ditengarai disebabkan oleh krisis fiskal yang menghantui Amerika Serikat kala itu – membuat masyarakat New York semakin kehilangan opsi pemenuhan kebutuhan.

Lalu, bagaimana dengan pemadaman listrik yang terjadi di Jakarta dan beberapa wilayah Jawa lainnya?

Pemadaman listrik yang terjadi di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya tentu membuat opsi yang dibutuhkan oleh masyarakat semakin terbatas. Operasi moda raya terpadu (MRT) kemarin misalnya, membuat opsi transportasi masyarakat semakin terbatas sehingga dapat menghilangkan rasa kontrol yang dimiliki.

Oleh sebab itu, wajar apabila masyarakat merasa kecewa dan marah atas pemadaman listrik yang terjadi secara massal beberapa waktu lalu. Pasalnya, ketiadaan listrik turut membatasi opsi-opsi yang dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Jonan-Rini Mundur?

Pemadaman listrik yang terjadi di Jakarta dan berbagai wilayah lainnya bisa jadi merupakan tanggung jawab Menteri BUMN Rini dan Menteri ESDM Jonan. Dengan pengadaan tenaga listrik dan BUMN yang mengoperasikan berada di bawah nomenklatur kedua kementerian tersebut – masing-masing Dirjen Ketenagalistrikan dan Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata; Rini dan Jonan bisa saja didorong untuk mengundurkan diri.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Dalam disertasi yang berjudul Who Fires Ministers? milik Cristina Bucur dari Dublin City University, dijelaskan bahwa pengunduran diri yang dilakukan oleh menteri didasarkan pada ketidaksepakatan antara sang menteri dengan atasannya. Selain itu, pengunduran diri seorang menteri dapat juga terjadi karena tekanan dari masyarakat, media, partai, hingga lembaga legislatif.

Pengunduran diri juga bisa juga digunakan sebagai indikator atas akuntabilitas pemegang jabatan. Meski tidak menjadi indikator yang pasti, pengunduran diri merefleksikan catatan publik dari sang pemegang jabatan.

Penjelasan Bucur ini bisa saja diaplikasikan dalam fenomena pengunduran diri yang dilakukan oleh Menteri Choi di Korsel. Pasalnya, Choi kala itu memang didorong untuk mengundurkan diri atas persoalan pemadaman listrik di negara tersebut.

Selain Korsel, fenomena pengunduran diri akibat pemadaman listrik juga pernah terjadi di Taiwan. Menteri Ekonomi Lee Chih-kung memutuskan untuk mengundurkan diri setelah pemadaman listrik terjadi berdampak pada lebih dari 6,5 juta keluarga di negara-pulau tersebut – bahkan disebut-sebut menghambat aktivitas produksi ponsel iPhone milik Apple.

Lalu, bagaimana dengan Jonan dan Rini? Perlukah mereka mengundurkan diri seperri Choi dan Lee di Korsel dan Taiwan?

Bila melihat dampak yang disebabkan oleh pemadaman listrik beberapa waktu lalu, Jonan dan Rini boleh jadi bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi. Setidaknya, pemadaman listrik tersebut menjadi catatan buruk bagi dua kementerian yang membawahi pengadaan listrik di Indonesia.

Di sisi lain, Jonan dan Rini juga pernah dikritik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait impor minyak dan gas yang tidak sesuai ekspektasi. Catatan-catatan buruk ini bisa saja menjadi landasan bagi dorongan atas pengunduran diri kedua menteri tersebut.

Tentunya, kemungkinan atas pengunduran diri Jonan dan Rini kembali lagi pada dorongan dari publik, Jokowi, dan Rini-Jonan sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Bucur, pengunduran diri seorang menteri dapat terjadi akibat dorongan-dorongan tersebut.

Jika benar terdapat dorongan agar Jonan dan Rini mengundurkan diri terkait padamnya listrik secara masif beberapa waktu lalu, lirik Chance The Rapper mungkin dapat menggambarkan dorongan tersebut, entah ekspektasi tersebut datang dari sang atasan atau masyarakat. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?