Aksi garang Najwa Shihab dalam mengungkap skandal selama ini nampaknya akan semakin membuat gerah para politisi, namun bagus untuk demokrasi di Indonesia.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]cara Mata Najwa beberapa waktu lalu yang menayangkan “PSSI Bisa Apa? Jilid 2” cukup membuat publik gemas dengan berbagai temuan fakta baru tentang kisruh yang selama ini membelit PSSI terkait match-fixing dalam dunia persepakbolaan tanah air.
Seperti dikutip banyak media, kisruh match-fixing ini pada akhirnya membongkar bobrokya lembaga sepak bola di Indonesia, yakni Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai PSSI.
Tak terelakkan, berawal dari talk show yang tayang pada 20 September lalu dengan judul yang sama, “PSSI Bisa Apa?”, akhirnya mafia-mafia pengatur skor dalam gelaran Liga sepak bola di Indonesia semakin ditelanjangi.
Bahkan tak tanggung-tanggung, hasil investigasi Najwa ini cukup berani menyeret beberapa nama elite PSSI bahkan sampai elite-elite politik.
Bagi salah satu negara yang memiliki penggemar sepak bola terbesar, tentu temuan-temuan Mata Najwa ini menjadi sebuah angin segar bagi misteri kenapa selama ini Indonesia cenderung miskin gelar dan tak berprestasi.
Tentu Najwa Shihab, dianggap cukup berani mengingat yang dihadapinya adalah mafia yang dalam kadar tertentu bisa saja memiliki kuasa untuk mengancam keselamatanya.
Lalu bagaimana sebenarnya pentingnya peran media dalam mengungkap kasus rumit di Indonesia? Mungkinkah kini Mata Najwa menjadi satu-satunya corong media yang mampu menjadi contoh bagi pengungkapan kasus-kasus yang semula dianggap sulit dibongkar?
Pentingnya Peran Media
Dalam banyak kasus, media memiliki peran krusial dalam mengungkap berbagai skandal. Hal ini diungkapkan oleh direktur Bettina Peters dalam tulisanya berjudul The media’s role: covering or covering up corruption pada tahun 2003 silam.
Kebebasan media merupakan faktor signifikan dalam mengurangi praktik korupsi di suatu negara. Salah satunya adalah korupsi di Italia yang dapat direduksi secara signifikan ketika industri media konsisten melakukan tugasnya dalam membongkar skandal-skandal korupsi.
Peran media dalam urusan Tangentopoli atau skandal korupsi politik di tahun 1992 di Italia mampu menyebabkan runtuhnya politik rezim, yang telah memerintah Negara asal pizza tersebut dalam empat puluh tahun.
Memang, studi Petters spesifik membahas peran media dalam membongkar skandal-skandal korupsi. Meski demikian, bukan berarti pisau tajam media hanya mampu digunakan untuk membedah kasus seperti itu saja. Pada titik yang ideal, nyaris semua skandal yang berhak diketahui publik bisa dibongkar oleh media.
Sayangnya, media-media di Indonesia belum mampu berperan secara penuh terhadap kasus-kasus skandal, terlebih menyoal korupsi. Hal tersebut bisa jadi karena media selama ini yang cenderung partisan terhadap kekuasaan politik.
Dalam konteks Indonesia, komitmen media untuk mengambil bagian dalam upaya pemberantasan kasus sensitif nampaknya masih harus dipertanyakan kembali mengingat semakin minimnya praktik jurnalisme investigasi yang oleh Peters memang disebut cukup berisiko.
Tercatat sepertinya hanya media Tempo yang masih secara konsisten menerapkan model jurnalisme ini. Sementara itu, Mata Najwa yang hadir sejak 25 November 2009 digadang-gadang sebagai bentuk baru jurnalisme investigasi berbasis visual yang popularitasnya kian menanjak sejak tahun-tahun pertama debutnya.
Kini, program yang dinahkodai langsung oleh Najwa Shihab tersebut semakin agresif dan progresif dalam memuat tayangan-tayangan investigasi yang menyangkut ihwal politik dan hukum di Indonesia.
Mata Najwa di Pusaran Skandal
Tak hanya menyoal bola dan PSSI yang baru-baru ini hangat, beberapa kasus besar seperti skandal penyiraman penyidik KPK, Novel Baswedan, skandal korupsi E-KTP, hingga soal Pura-Pura Penjara dan skandal Papa Minta Saham berhasil dikuliti oleh putri kandung dari ulama Quraish Shihab ini.
Dalam episode Pura-Pura Penjara misalnya, program ini berhasil mengungkap fakta ketika tokoh-tokoh politisi terkenal yang ditahan di balik jeruji besi telah mempraktekkan ‘jual-beli sel’ yang kemudian menyeret Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin menjadi tahanan hotel prodeo KPK.
Najwa pun juga berhasil mempermalukan nama-nama politisi dan mantan pejabat seperti seperti Luthfi Hasan Ishaaq, Jero Wacik, pengacara OC Kaligis, Anas Urbaningrum, hingga Akil Mochtar.
Kemunculan Mata Najwa beberapa tahun belakangan memang cukup meresahkan bagi para politisi karena keberaniannya mengoyak rahasia terbesar dalam politik.
Sudah tak terhitung berapa orang politisi yang gelagapan ketika ‘ditelanjangi’ di hadapan kamera menyoal rahasia-rahasia politik mereka di Mata Najwa, bahkan sekelas presiden sekaligus. Namun justru hal ini merupakan tren positif bagi demokrasi di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan studi Aymo Brunetti dan Beatrice Weder dalam jurnalnya A Free Press is Bad News for Corruption yang menyebut media dapat berperan sebagai panggung investigasi bagi sebuah kasus skandal korupsi yang memungkinkan akan memiliki dampak sosial dan moral secara luas karena ditampilkan dalam ruang publik dengan kemampuan jangkauan yang juga cukup luas.
Pada akhirnya, munculnya Mata Najwa dan Najwa Shihab dalam dunia jurnalisme di Indonesia adalah sebuah sinyal positif bagi demokrasi di Indonesia.
Mata Najwa, Pulitzer-nya Indonesia ?
Dalam dunia media massa, siapa yang tak kenal sosok Joseph Pulitzer, jurnalis cum taipan media AS yang merupakan penggagas penghargaan Pulitzer yang cukup prestisius.
Karirnya sebagai jurnalis dimulai ketika Tahun 1882, ia mengakuisisi surat kabar New York World. Pulitzer mengisi New York World dengan sajian-sajian berita human-interest, skandal, gosip dan berita-berita sensasional lainnya di mana pada masa itu gebrakan ini belum dilakukan oleh media-media lain.
Sebagai jurnalis ia pun tak terlepas dari berbagai kontroversi, bahkan skandal yang menyeretnya terlibat dalam urusan politik yang dapat dikatakan cukup berbahaya.
Di tahun 1895, ketika surat kabar New York World mendapat pesaing baru yakni surat kabar New York Journal milik William Randolph Hearst, dimana memicu persaingan sengit yang kemudian terkenal dengan istilah jurnalisme kuning. Istilah ini diberikan oleh kalangan pers AS karena kedua koran tersebut sering menyajikan berita sensasional dan kontroversial.
Akibat terlalu sering mempraktekkan jurnalisme kuning tersebut, Joseph Pulitzer pun pernah diseret ke meja hijau dengan tuduhan pencemaran nama baik Presiden Theodore Roosevelt dan pengusaha besar J. P. Morgan.
Hal ini terkait dengan pemberitaan surat kabar New York World tentang adanya transaksi palsu senilai USD 40 juta dolar dalam pembelian Terusan Panama yang melibatkan dua orang penting tersebut.
Dalam konteks Indonesia, sepak terjang Mata Najwa kini dalam melawan banyak mafia hukum dan politik mirip dengan sepak terjang Pulitzner, meskipun tidak sepenuhnya benar-benar bisa di samakan.
Oleh karenanya, mengapresiasi Mata Najwa sebagai The Pulitzer of Indonesia atas kiprahnya dalam membongkar berbagai skandal para politisi yang sudah cukup meresahkan publik selama ini nampaknya bukanlah sesuatu yang berlebihan.
Dan tentu saja, dengan adanya program-program sekelas Mata Najwa, akan menjadi pengadilan ruang publik yang efektif untuk masyarakat dalam menghakimi para politisi. Tentu, masyarakat menantikan ada suguhan media lain sekelas Mata Najwa, agar banyak kasus tak terungkap menjadi sesuatu yang terbongkar. (M39)