Site icon PinterPolitik.com

Mata-mata Asing ‘Bayangi’ Jokowi?

Mata-mata Asing ‘Bayangi’ Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Foto: Biro Pers Setpres)

Campur tangan kekuatan asing disebut bisa saja mengancam Indonesia pada tahun 2021. Mungkinkah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dibayangi mata-mata asing?


PinterPolitik.com

“Scannin’ while you’re plannin’ ways to sabotage me” – Nas, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Tahun 2020 yang disebut banyak orang sebagai mimpi buruk telah berlalu. Tahun itu dipenuhi dengan berbagai ancaman terhadap keberlanjutan masyarakat Indonesia – bahkan juga umat manusia – seperti pandemi Covid-19, resesi ekonomi, hingga ancaman keamanan di sejumlah wilayah.

Dengan berbagai mimpi buruk itu, sejumlah meme pun tersebar di jagat maya. Beberapa dari meme menunjukkan situasi dunia yang makin buruk pada tahun 2021, mulai dari peperangan hingga serangan alien.

Meski begitu, tidak sedikit juga yang bilang bahwa tahun 2021 ini menjadi kesempatan baru bagi setiap individu dan kelompok dalam menyongsong masa depan. Dengan berbagai keburukan yang terjadi di tahun sebelumnya, tahun baru ini diharapkan menjadi titik awal untuk keluar dari “kegelapan”.

Vaksinasi Covid-19, misalnya, akan dimulai pada awal tahun 2021. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri berjanji akan menjadi orang pertama di Indonesia yang menerima vaksinasi pada bulan Januari ini.

Baca Juga: Jokowi dan Misteri Jack Ma

Selain harapan di bidang kesehatan masyarakat, secercah harapan lain di bidang ekonomi juga dinilai akan terlihat. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, misalnya, menilai bahwa vaksinasi akan kembali meningkatkan confidence masyarakat untuk beraktivitas ekonomi – meskipun dampak ekonomi sendiri disebut masih akan terasa pada tahun ini.

Meski di sejumlah bidang secercah harapan itu muncul, keamanan dan stabilitas politik dinilai bisa saja terguncang. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono menilai bahwa Indonesia di tahun 2021 ini akan menghadapi sejumlah ancaman.

Beberapa ancaman potensial yang disebut oleh Hendropriyono ini adalah ancaman anarkisme, terorisme, separatisme, dan subversi. Dari ancaman-ancaman yang disebutkan tersebut, terdapat satu yang menarik untuk dibahas, yakni subversi.

Subversi sendiri dapat didefinisikan sebagai perusakan terhadap kekuasaan dan otoritas dari suatu sistem yang telah berdiri (established). Biasanya, subversi yang dimaksud Hendropriyono ini dilakukan oleh campur tangan kekuatan asing yang berusaha “bermain” dalam dinamika sosio-politik Indonesia.

Bahkan, Hendropriyono menyebutkan sejumlah “pemain” asing yang terindikasi biasa bermain dalam arah kebijakan pemerintah Indonesia. Menurutnya, negara-negara Barat menjadi salah satu pihak yang “bermain” karena menginginkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk mendukung mereka dalam persaingan geopolitik.

Lantas, apakah mungkin subversi yang disebutkan mantan Kepala BIN itu terjadi di Indonesia pada tahun 2021? Mengapa subversi dapat terjadi? Apa dampak yang dapat terjadi?

Campur Tangan Kekuatan Asing?

Campur tangan kekuatan asing dalam urusan domestik seperti ini sempat dijelaskan oleh profesor politik asal University of Chicago, John J. Mearsheimer, dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail. Di tulisan tersebut, Mearsheimer menggunakan sebuah konsep yang disebut sebagai social engineering.

Mirip dengan subversi, social engineering di sini dapat dipahami sebagai upaya kekuatan asing untuk memengaruhi dinamika sosio-politik dalam lingkup domestik suatu negara. Bahkan, pada tingkat ekstrem, social engineering dapat berujung pada pergantian rezim pemerintahan.

Mearsheimer menyebutkan bahwa strategi seperti ini kerap dilakukan oleh negara-negara dengan kekuatan besar (great powers) guna membangun tatanan (order) yang dikehendaki. Amerika Serikat (AS), misalnya, menghendaki berdirinya suatu tatanan dunia liberal yang disebut Mearsheimer sebagai liberal hegemony (hegemoni liberal).

Baca Juga: Lockdown Tak Mungkin Dipilih Jokowi

Organizations Protecting Former FPI Members and Public Provocateurs Are Next In Line.

On December 30, 2020, the good people of Indonesia felt relieved, because they received the gift of being free from a bothersome gripping fear.

— AM. Hendropriyono (@edo751945) January 2, 2021

Biasanya, taktik social engineering ini dilakukan oleh AS pada era Perang Dingin dan pasca-Perang Dingin. Berdirinya pemerintahan Orde Baru oleh Soeharto di Indonesia, misalnya, terjadi dengan kontribusi dan bantuan AS guna meruntuhkan tatanan dunia komunis pada era Perang Dingin.

Bila social engineering ini biasa dilakukan oleh negara-negara besar seperti AS di era Perang Dingin, mungkinkah hal serupa juga dapat terjadi di Indonesia pada masa kini? Apakah mungkin pemerintahan Jokowi menghadapi ancaman serupa?

Boleh jadi, situasi serupa dapat terjadi pada tahun 2021 ini. Pasalnya, situasi geopolitik di Asia Timur dan Asia Tenggara disebut-sebut akan mulai memanas di tengah pergantian pemerintahan di AS.

Dengan adanya persaingan geopolitik yang menyerupai Perang Dingin antara AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Indonesia bisa jadi dilihat sebagai pion penting dalam politik luar negeri negara-negara tersebut. Apalagi, Mearsheimer menjelaskan bahwa Presiden AS terpilih, Joe Biden, akan berupaya menggandeng negara-negara Asia untuk menghalau kekuatan negara Tirai Bambu tersebut.

Bahkan, Biden disebut-sebut akan kembali menerapkan arah kebijakan luar negeri ala Presiden AS Barack Obama yang mengusung hegemoni liberal. Hal ini didasarkan pada pilihan ahli kebijakan luar negeri yang dipilih oleh Biden yang biasa disebut sebagai the Blob – sebuah kelompok ahli yang mendukung hegemoni liberal ala AS.

Dengan transisi pemerintahan AS dan persaingan geopolitiknya dengan Tiongkok, bukan tidak mungkin campur tangan asing kembali terjadi di berbagai negara – khususnya negara Asia seperti Indonesia yang dianggap menjadi pion penting. Lantas, bagaimana pemerintahan Jokowi dapat menyikapi ancaman ini?

Bayangi Pemerintahan Jokowi?

Dengan adanya ancaman social engineering di tengah persaingan geopolitik, bukan tidak mungkin dinamika sosio-politik Indonesia lantas terganggu. Alhasil, jalannya pemerintahan Jokowi pun bisa mengalami gangguan.

Bila apa yang dijelaskan oleh Hendropriyono benar adanya, tendensi campur tangan asing dari kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok dapat memengaruhi arah kebijakan Jokowi. Seperti yang disebut oleh mantan Kepala BIN tersebut, pemerintahan Jokowi tentu memiliki sejumlah kepentingan nasional dalam pelaksanaan politik luar negeri.

Kepentingan nasional di era Jokowi ini diterjemahkan ke dalam sebuah orientasi kebijakan yang berfokus pada pembangunan domestik. Mengacu pada Ralf Emmers dalam tulisannya yang berjudul Regional Hegemonies and the Exercise of Power in Southeast Asia, pilihan Menteri Luar Negeri (Menlu) Jokowi yang jatuh pada Retno Marsudi pun didasarkan pada pemanfaatan hubungan luar negeri untuk pembangunan dan perekonomian nasional.

Pendapat sejalan juga diungkapkan oleh Ben Bland dalam bukunya yang berjudul Man of Contradictions. Presiden Jokowi dianggap menjalankan hubungan antarnegara yang lebih pragmatis dan didasarkan pada keuntungan yang didapat.

Maka dari itu, Tiongkok kerap menjadi negara yang dianggap menguntungkan bagi pemerintahan Jokowi – dengan investasi, kerja sama infrastruktur, dan pinjaman berbunga murah. Namun, bukan tidak mungkin, arah kebijakan seperti ini terganggu bila ada social engineering yang, katakanlah, dilakukan oleh negara-negara yang berkepentingan agar Indonesia tidak menjalin hubungan yang dekat dengan negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu.

Baca Juga: Di Balik Ambisi Mobil Listrik Jokowi

Mungkin, fenomena social engineering yang disebutkan oleh Mearsheimer ini turut terjadi di balik Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan oleh pemerintah. Pasalnya, organisasi itu dikabarkan sempat didekati oleh pihak intelijen asal Jerman. Boleh jadi, pembubaran FPI yang dilakukan pemerintah merupakan langkah pre-emptive terhadap kemungkinan subversi yang disebutkan oleh Hendropriyono.

Menariknya, mantan Kepala BIN itu juga sempat menyebutkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Peraturan yang telah dicabut pada tahun 1999 itu sendiri bertujuan untuk memidanakan siapa-siapa saja yang dinilai terlibat dalam kegiatan subversi.

Lantas, apakah pemerintahan Jokowi perlu menerapkan instrumen hukum guna menghalau ancaman social engineering dan subversi? Bagaimanakah pemerintah akan merespons?

Perlu atau tidaknya mungkin bergantung pada keputusan pemerintah sendiri. Pasalnya, peraturan yang lebih dikenal dengan sebutan Penpres 11 Subversi itu dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan perlindugan hak asasi manusia (HAM).

Meski begitu, dalam hukum sendiri, terdapat jenis hukum yang disebut sebagai hukum responsif (responsive law). Philip Nonet dan Philip Selznick menjelaskan dalam buku mereka yang berjudul Law and Society in Transition menjelaskan bahwa hukum responsif dibuat untuk menanggapi dinamika sosio-politik yang tengah eksis di masyarakat.

Dengan kata lain, bukan tidak mungkin, peraturan yang bertujuan untuk menanggapi ancaman keamanan seperti yang disebutkan oleh Hendropriyono bisa saja didorong dan diberlakukan – entah pihak mana yang berkepentingan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), misanya, dinilai sejumlah pihak berjalan seperti Penpres 11 Subversi – menghalau kritik yang dinilai bisa mengganggu social fabric dan stabilitas.

Namun, terlepas dari itu semua, persepsi ancaman Hendropriyono ini belum tentu benar secara pasti. Pasalnya, di era kontemporer ini, banyak ancaman non-tradisional lain bagi negara-bangsa yang tidak selalu datang dari luar batas wilayah.

Belum lagi, faktor-faktor lain yang bisa saja turut memunculkan ancaman antioligarki yang disebutkan Hendropriyono. Ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat bisa saja justru menjadi faktor utama yang memunculkan ketidakpercayaan pada pemerintah.

Sejumlah undang-undang (UU) dan rancangan UU (RUU) yang kontroversial – seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Cipta Kerja (Ciptaker), misalnya, dinilai dibuat tanpa melibatkan aspirasi masyarakat secara luas. Tidak hanya itu, penanganan pandemi Covid-19 yang mulanya diremehkan juga dinilai tidak memedulikan nasib kesehatan masyarakat.

Boleh jadi, sentimen-sentimen inilah yang dibiarkan ada dan justru dimanfaatkan oleh kekuatan asing. Lagipula, tidak akan ada asap bila tidak ada api. Bukan begitu? (A43)

Baca Juga: Tiga Sahabat Incar Kursi Jokowi?

Exit mobile version