“Kalau Jokowi berkeinginan memberi sebelah matanya pada Novel Baswedan, mari kita bicara soal penculikan dan pembunuhan masa lalu. Kenapa mata Pak Jokowi? Karena percuma punya mata, tapi tahu mau melihat persoalan yang mudah ini untuk diselesaikan.” Andi Arief
Pinterpolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]udah lebih dari satu tahun kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan belum juga terungkap. Beragam proses telah berlalu, tetapi hingga saat ini titik terang belum juga muncul. Sorotan tajam diarahkan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena terkesan lamban menyelesaikan kasus ini.
Banyak pihak berpendapata bahwa Jokowi seharusnya mengambil langkah khusus terkait kasus ini. Salah satu yang teranyar adalah cuitan dari Wasekjen DPP Partai Demokrat, Andi Arief. Mantan staf khusus presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu menantang Jokowi untuk menyumbangkan matanya untuk Novel yang hingga kini penglihatannya belum pulih.
Cuitan tersebut kemudian membuat heboh media sosial dan juga media massa. Banyak politisi yang satu kubu dengan Jokowi menganggap pernyataan Andi Arief tersebut berlebihan. Sementara itu, politisi yang satu kubu dengan Andi menganggap cuitan itu adalah hal yang wajar karena Andi adalah seorang aktivis.
Sepintas, tantangan Andi tersebut mengingatkan pada pernyataan an eye for an eye atau mata dibayar mata. Merujuk pada hal itu, apakah Andi tengah mengindikasikan mata dibayar mata kepada Jokowi? Atau ada maksud lain yang bisa diambil dari pernyataan tersebut?
Kasus yang Terus Berlarut
Kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan boleh jadi adalah salah satu catatan hitam dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum secara umum di negeri ini. Bagaimana tidak, seorang penyidik yang banyak menangani kasus rasuah harus mengalami teror yang melukai.
Sejak peristiwa itu terjadi pada 10 April 2018 lalu, penyelidikan memang telah dilakukan oleh kepolisian. Berbagai saksi terus dihadirkan dan diminta keterangannya. Akan tetapi, hasil penyelidikan tersebut masih belum juga bisa mengungkap kasus tersebut.
Sebenarnya, pihak yang dibicarakan, yaitu Novel Baswedan, nampaknya tidak memiliki keinginan seekstrem Andi. Novel menyatakan bahwa ia hanya menginginkan hal yang sederhana, yaitu agar kasus yang menimpanya dapat terungkap.
Kalau Jokowi berkeinginan memberi sebelah matanya Pada Novel Baswedan, mari kita bicara soal penculikan dan pembunuhan masa lalu. Kenapa mata Pak Jokowi? Karena percuma punya mata tapi tau mau melihat persoalan yg mudah ini untuk diselesaikan.
— andi arief (@AndiArief__) December 30, 2018
Meski demikian, nilai merah hukum dan HAM sudah terlanjur masuk ke dalam rapor milik pemerintahan Jokowi. Memang, dalam beberapa kesempatan mantan Wali Kota Solo itu kerap menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki kuasa untuk mengintervensi kasus tersebut. Akan tetapi, penilaian buruk sudah terlanjur diberikan padanya akibat kasus ini.
Apalagi, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut sempat mengeluarkan pernyataan khusus terkait kasus ini. Dalam sebuah cuitannya, Jokowi menyebut bahwa kasus yang menimpa Novel Baswedan harus segera dituntaskan dan pengusutannya terus mengalami kemajuan. Sayangnya, sudah lebih dari setahun sejak cuitan tersebut mengudara, kemajuan yang dimaksud masih belum bisa dirasakan.
Rapor merah itu menjadi bahan kritik yang dikeluarkan oleh Andi Arief. Ia menyebut bahwa cuitan tersebut untuk menggambarkan Jokowi yang dianggap tidak bisa melihat persoalan secara seksama. Hal ini menjadi salah satu alasan Andi menantang Jokowi menyumbangkan matanya untuk Novel.
Tak hanya itu, mantan aktivis Serikat Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) itu mengaitkan sikap Jokowi ini dengan gaya kampanyenya yang kerap menyinggung persoalan HAM. Menurut Andi, Jokowi idealnya bisa menyelesaikan kasus Novel terlebih dahulu sebagai bentuk komitmen pada HAM, baru kemudian berbicara tentang kasus lain seperti penculikan aktivis 1998.
Pembalasan vs Karma
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tantangan Andi kepada Jokowi ini mengingatkan pada pernyataan an eye for an eye atau mata dibayar mata. Dalam kadar tertentu, pernyataan seperti ini kerap dikaitkan dengan upaya untuk menghukum atau membalas seseorang atas perbuatannya.
Banyak yang memperingatkan dampak buruk jika seseorang ingin mengambil langkah membalas atau menghukum melalui an eye for an eye ini. Mahatma Gandhi misalnya menyebut bahwa an eye for an eye only ends up making the whole world blind atau mata dibayar mata hanya akan berakhir dengan seluruh dunia menjadi buta. Oleh karena itu, langkah penghukuman seperti ini kerap kali tidak disarankan.
Meski lebih lazim digunakan untuk membalas atau menghukum, pernyataan an eye for an eye sebenarnya bisa juga dimaknai dari sisi yang berbeda. Pandangan seperti ini diungkapkan misalnya oleh Michael Mamas dalam artikelnya di Huffington Post.
Mamas menyebut bahwa pernyataan tersebut dapat dimaknai dari sisi karma. Salah satu hal yang bisa menjadi dasar dari hal itu adalah hukum fisika yang diungkapkan Isaac Newton, yang menyebut bahwa untuk setiap tindakan, akan muncul reaksi setara yang berlawanan.
Mamas menyebut bahwa pernyataan Newton tersebut berlaku pada perilaku manusia. Ia menyebut bahwa jika manusia berbuat baik kepada orang lain, maka ia akan mendapatkan ganjaran yang baik pula. Sebaliknya, jika berbuat negatif, maka buah yang dipetik juga akan bersifat negatif.
Pada titik ini, pernyataan mata dibayar mata tidak melulu dapat dimaknai sebagai aksi pembalasan atau penghukuman. Terdapat karma yang merupakan sebuah konsekuensi dari sesuatu yang pernah dilakukan.
Kartu HAM
Berdasarkan kondisi tersebut, cuitan Andi Arief bisa saja dilihat dari perspektif berbeda. Cuitan tersebut bisa saja dimaknai sebagai keinginan untuk membalas sikap Jokowi yang seperti tak berdaya menghadapi kasus Novel. Di sisi yang lain, cuitan tersebut juga dapat dimaknai sebagai karma tersendiri bagi Jokowi.
Karma ini terutama terkait dengan persoalan hukum dan HAM yang melekat pada kubu Jokowi. Selama ini, kartu HAM merupakan salah satu kartu yang ampuh digunakan Jokowi dan kamp pemenangannya untuk menyerang lawannya, Prabowo Subianto.
Melalui kasus Novel, Jokowi seperti tertimpa karma bahwa ia sendiri memiliki beban dalam bidang hukum dan HAM. Terlepas dari soal intervensi, kasus Novel tetap menjadi potret muram dalam lima tahun pertama Jokowi sebagai presiden.
Pelanggaran HAM, yang sengaja atau yang dibiarkan, berhubungan dengan hal yang sama, yakni kebijakan otoritas negara.
Presiden bukan orang yang minta mata Novel dibuat buta. Namun bila ia tahu siapa dalang tapi membiarkan, maka Presiden menghalangi keadilan dan melanggar HAM.
— Rachland Nashidik (@RachlanNashidik) December 31, 2018
Seperti yang diungkapkan oleh Andi, komitmen Jokowi soal HAM menjadi sesuatu yang dipertanyakan. Di atas kertas, sulit bagi Jokowi dan tim pemenangannya terus berbicara tentang catatan HAM Prabowo sementara ada kasus Novel yang selama lebih dari setahun tak selesai di meja sang presiden.
Kondisi itu kian parah jika melihat catatan HAM lain yang terjadi di era Jokowi. Beragam kasus kekerasan yang terjadi di Papua misalnya, kerap menjadi nilai buruk bagi pemerintahannya. Belum lagi ada sosok Ma’ruf Amin yang kerap dituding diskriminatif, hingga jenderal-jenderal pendukung Jokowi yang catatan HAM-nya juga kerap dipertanyakan. Beragam kondisi itu seolah melengkapi catatan HAM selain kasus Novel.
Oleh karena itu, jika Jokowi ingin memainkan kartu HAM di Pilpres 2019 nanti, kasus Novel dapat menjadi tamparan keras baginya. Dalam kadar tertentu, tekanan HAM terhadap Prabowo menjadi tidak sekeras Pilpres 2014 karena Jokowi sendiri kini punya ganjalan serupa.
Andi Arief seperti menghidupkan kembali filosofi lama an eye for an eye Share on XYang membuatnya tambah pelik adalah, ada posisi berbeda dari Jokowi dan Prabowo dalam kasus hukum dan HAM tersebut. Isu HAM yang menyerang Prabowo terjadi ketika dia bertugas sebagai prajurit yang menerima instruksi dari pihak yang lebih tinggi. Sementara itu, kasus Novel – dan perkara hukum dan HAM lain – terjadi ketika Jokowi berada di puncak kekuasaan.
Berdasarkan kondisi tersebut, memainkan kartu HAM boleh jadi tidak lagi maksimal efektivitasnya jika dibandingkan Pilpres 2014. Kasus Novel Baswedan seolah menjadi karma bagi langkah Jokowi di Pilpres 2019. Pada titik ini, layaknya mata dibayar mata, permainan kartu HAM Jokowi di 2014 seperti dibalas melalui kasus Novel. (H33)