Dengarkan artikel ini:
Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat. Ini kembali menegaskan pentingnya dua negara tersebut, sekaligus menjadi tanda tanya besar terkait arah politik luar negeri Prabowo.
Sejak dilantik sebagai Presiden Indonesia, Prabowo Subianto langsung menunjukkan agenda politik luar negerinya dengan melakukan kunjungan diplomatik yang mencuri perhatian. Ia memulai dengan kunjungan ke Tiongkok, yang kemudian disusul oleh perjalanan ke Amerika Serikat.
Dua kunjungan ini mencerminkan dilema geopolitik yang tengah dihadapi Prabowo: apakah ia akan memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat, yang secara historis memiliki hubungan panjang dengannya, atau justru lebih mendekat ke Tiongkok, negara yang kini memiliki pengaruh ekonomi sangat besar di kawasan Asia Tenggara.
Antara Tiongkok dan AS
Relasi Prabowo dengan Amerika Serikat telah dimulai sejak ia menempuh pendidikan militer di sana pada tahun 1980-an. Pengalaman pelatihan militer ini telah membentuk karakter Prabowo sebagai seorang jenderal, sekaligus menciptakan ikatan pribadi dan profesional yang kuat dengan Amerika.
Pada masa-masa karier militernya, Prabowo sering kali dipandang sebagai “anak emas” atau fair-haired boy bagi Amerika, sebuah sebutan yang mengindikasikan kedekatan dan dukungan politik. Bahkan dalam wawancaranya dengan Allan Nairn, seorang jurnalis yang sering mengkritik dirinya, Prabowo dengan bangga mengklaim status ini.
Namun, hubungan ini tidak selamanya harmonis. Setelah kerusuhan 1998 dan berbagai tuduhan pelanggaran HAM yang melibatkan Prabowo, Amerika Serikat menolak memberikan visa kepadanya selama bertahun-tahun. Baru pada 2020, ketika Prabowo menjabat sebagai Menteri Pertahanan Indonesia, Amerika akhirnya mencabut larangan tersebut.
Kedekatan pribadi Prabowo dengan lingkaran militer dan politik Amerika, termasuk obrolan teleponnya baru-baru ini dengan Presiden AS terpilih Donald Trump, mengindikasikan adanya relasi yang terjaga. Dalam percakapan tersebut, Prabowo bahkan mengatakan: “All my training are Americans,” yang menunjukkan bahwa kedekatan historis ini masih relevan dalam konteks diplomasi personal.
Di sisi lain, Prabowo juga tidak dapat mengabaikan kekuatan ekonomi Tiongkok yang kian mengukuhkan dominasinya di Asia Tenggara. Dalam kunjungannya ke Tiongkok, Prabowo berhasil mengamankan investasi senilai Rp157 triliun untuk proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan lainnya di Indonesia. Ini bukan sekadar angka, melainkan sinyal yang kuat bahwa Prabowo bersedia membuka pintu bagi investasi Tiongkok yang agresif.
Di era Presiden Joko Widodo, Indonesia menjadi salah satu mitra strategis Tiongkok dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI), dan tampaknya Prabowo berusaha mempertahankan dan bahkan memperkuat hubungan ini.
Alasan pragmatisnya jelas: Tiongkok menawarkan investasi dengan syarat yang lebih longgar dibandingkan Amerika Serikat, dan dana yang mereka kucurkan sering kali tidak disertai dengan tuntutan reformasi politik atau HAM yang ketat. Kedekatan Prabowo dengan Tiongkok tampaknya dipandu oleh prinsip realisme ekonomi, di mana kepentingan nasional diutamakan di atas ideologi politik.
Sebuah Dilema
Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah Prabowo dapat menyeimbangkan pengaruh kedua negara besar ini dalam kebijakan luar negerinya?
Dalam literatur politik luar negeri, konsep favouritism sering digunakan untuk menjelaskan kecenderungan sebuah negara untuk berpihak atau lebih dekat dengan negara lain karena adanya keuntungan yang diharapkan. Menurut para scholar seperti Kenneth Waltz dan Robert Keohane, favouritism dalam politik internasional sering didorong oleh keuntungan ekonomi atau keamanan yang diharapkan dari aliansi dengan negara yang dipilih.
Dalam konteks Prabowo, favouritism terhadap Amerika Serikat lebih didasarkan pada faktor sejarah dan kedekatan pribadi. Pelatihan militernya di AS dan dukungan beberapa tokoh politik di Washington menjadi alasan utama mengapa Prabowo masih memandang Amerika sebagai sekutu yang penting.
Namun, dari sisi kebijakan ekonomi, Tiongkok menawarkan keuntungan yang lebih nyata dan cepat terlihat. Investasi besar dari Tiongkok sangat dibutuhkan Prabowo untuk mendanai proyek infrastruktur yang ambisius dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka pendek.
Dengan demikian, mengelola hubungan dengan kedua kekuatan besar ini bukanlah tugas yang mudah. Prabowo dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia selama lima tahun ke depan. Jika terlalu dekat dengan Amerika, Indonesia mungkin akan kehilangan investasi dan dukungan ekonomi yang signifikan dari Tiongkok.
Sebaliknya, jika terlalu condong ke Tiongkok, Indonesia dapat kehilangan dukungan politik dan militer dari Amerika, yang mungkin menjadi vital dalam menjaga stabilitas kawasan di tengah ketegangan Laut Cina Selatan.
Dalam teori politik luar negeri, dilema seperti ini sering kali disebut sebagai balancing act. Scholar seperti Stephen Walt dalam teorinya tentang Balance of Threat menyatakan bahwa negara-negara akan cenderung menyeimbangkan diri terhadap ancaman yang lebih besar daripada mengikuti aliansi tradisional mereka. Dalam hal ini, Prabowo mungkin melihat ancaman ekonomi dan militer dari Tiongkok lebih besar, sehingga perlu ada upaya untuk tetap merangkul Amerika Serikat sebagai penyeimbang.
Namun, Prabowo tampaknya mengambil jalan pragmatis dengan memanfaatkan hubungan baik dengan kedua negara. Dalam pertemuan dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, dan pejabat tinggi Amerika, termasuk Donald Trump, Prabowo menekankan pentingnya hubungan bilateral yang saling menguntungkan.
Di satu sisi, Prabowo mendapatkan dukungan ekonomi dari Tiongkok; di sisi lain, ia mengamankan kerjasama militer dan politik dengan Amerika Serikat. Prabowo tampaknya ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa bermain di dua sisi tanpa harus terjebak pada satu kutub kekuatan saja.
Masihkah Fair-Haired Boy?
Prabowo memahami bahwa posisi strategis Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara memberikan leverage politik yang signifikan. Indonesia bisa menjadi penyeimbang antara pengaruh Amerika dan Tiongkok di kawasan ini. Dengan menempatkan dirinya sebagai mitra yang setara bagi kedua negara, Prabowo berusaha memaksimalkan keuntungan ekonomi dan keamanan yang bisa diperoleh dari keduanya.
Ini adalah strategi yang berisiko, namun potensial membawa keuntungan besar jika dimainkan dengan cermat. Jika kita merujuk pada teori two-level game dari Robert Putnam, kebijakan luar negeri yang diambil Prabowo ini bisa dilihat sebagai upaya untuk memainkan dua level negosiasi: level internasional dengan Amerika dan Tiongkok, serta level domestik dengan memastikan bahwa kebijakan luar negerinya mendukung agenda pembangunan ekonomi nasional dan memperoleh dukungan politik di dalam negeri.
Meski Prabowo terus menunjukkan kedekatannya dengan Amerika Serikat melalui pernyataan-pernyataannya dan hubungan pribadi dengan tokoh politik di Washington, realitas geopolitik yang dihadapinya memaksa Prabowo untuk lebih pragmatis. Investasi besar dari Tiongkok memberikan keuntungan ekonomi yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Meski demikian, ia tampaknya belum sepenuhnya melepaskan hubungan spesialnya dengan Amerika, terutama dalam konteks kerjasama militer dan keamanan.
Dalam konteks teori favouritism, Prabowo tampaknya berusaha bermain aman dengan tidak menunjukkan preferensi yang terlalu jelas antara Amerika dan Tiongkok. Ia mencoba memanfaatkan kedekatan sejarah dengan Amerika sebagai modal diplomasi, sementara pragmatisme ekonomi mendorongnya untuk merangkul Tiongkok. Dalam skenario ini, Prabowo bukan hanya seorang “fair-haired boy” bagi Amerika, tetapi juga mencoba menjadi “mitra strategis” bagi kedua negara besar ini.
Ke depan, tantangan bagi Prabowo adalah menjaga keseimbangan ini agar tidak terlalu condong pada salah satu pihak, yang bisa memicu ketidakstabilan politik dan ekonomi baik di dalam negeri maupun di kawasan Asia Tenggara. Hanya waktu yang akan menjawab apakah strategi “dua kaki” Prabowo ini akan berhasil, atau justru menempatkannya dalam posisi yang sulit antara dua kekuatan besar yang semakin bersaing secara geopolitik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)