Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyampaikan keberatan atas dilibatkannya Metro TV sebagai salah satu penyelenggara Debat Capres pada 30 Maret 2019 nanti. Keberatan itu didasari pada anggapan atas tidak berimbangnya stasiun televisi berita tersebut.
PinterPolitik.com
“Recollect your thoughts. Don’t get caught up in the mix ‘cause the media is full of dirty tricks,” – Tupac Shakur, penyanyi rap AS
[dropcap]J[/dropcap]uru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak membenarkan bahwa pihaknya telah melayangkan surat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai keberatan BPN atas posisi Metro TV yang menjadi salah satu penyelenggara debat ketiga Pilpres nanti.
Dahnil menjelaskan bahwa keberatan tersebut didasarkan pada anggapannya bahwa Metro TV merupakan media yang bias dalam Pemilu 2019 karena lebih dominan memberitakan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Dahnil pun mendasarkan anggapan tersebut pada evaluasi tahunan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Metro TV yang mengingatkan agar media tersebut tetap mengedepankan keberimbangan dan independensi.
Kami sudah melayangkan surat keberatan secara resmi terkait dengan Metrotv sbg salah satu media resmi penyelenggara Debat ke 4. Keberatan kami didasari surat KPI yg menyatakan ada potensi pelanggaran keadilan dan proporsionalitas pemberitaan terkait dengan Capres 01 dan 02.
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) March 21, 2019
KPU sendiri menyatakan telah menerima surat keberatan tersebut. Komisioner KPU Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa keberatan tersebut akan dibahas secara lebih lanjut dalam rapat.
Surat keberatan BPN tersebut juga ditanggapi oleh pihak Metro TV. Menurut Pemimpin Redaksi televisi berlambang kepala burung itu, Don Bosco, tuduhan biasnya media yang ia pimpin tidak benar karena pihaknya sudah berulang kali mengundang kubu BPN dalam program-program siarannya, tetapi sering kali tidak digubris.
Tentu pertanyaanya adalah mengapa kubu Prabowo-Sandi mengkritik dan menolak Metro TV untuk menyelenggarakan Debat Capres akhir Maret nanti? Lalu, apa dampak dari keberpihakan media dalam Pilpres 2019 nanti?
Biasnya Media
Isu biasnya media dalam politik media juga beberapa kali menjadi polemik, baik di Indonesia maupun negara-negara lain. Anggapan keberpihakan media dalam politik berangkat dari kepemilikan media-media di tangan tokoh atau kelompok yang punya kepentingan politik, seperti tokoh dalam partai politik atau yang berafiliasi dengan entitas politik tertentu. Konteks ini pun pada akhirnya sering berdampak pada bias pemberitaan jelang kontestasi elektoral.
Ross Tapsell dari Australian National University pernah menjelaskan mengenai penguasaan media oleh tokoh-tokoh politik di Indonesia dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s Media Oligarchy and the “Jokowi Phenomenon”.
Dalam tulisan tersebut, Tapsell menjelaskan bahwa kekuasaan oligarki masih berlanjut dengan penguasaan media-media di Indonesia, seperti Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh dari Partai Nasdem dan tvOne yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie dari Partai Golkar.
Nyatanya, konteks kepemilikan media yang dekat dengan tokoh dan partai politik ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara juga mengalami persoalan yang sama.
Malaysia, misalnya. Beberapa media di negara tetangga Indonesia itu dalam sejarahnya juga dimiliki oleh tokoh-tokoh partai politik, seperti Utusan Malaysia dan Kosmo yang memiliki hubungan dengan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), serta Berita Harian dan Harian Metro, The New Straits Times, TV3, 8TV, dan TV9 yang memiliki hubungan dengan Barisan Nasional (BN).
Dalam kontestasi politik, media yang bias dapat membantu politisi-politisi untuk memperoleh suara lebih banyak dalam Pemilu. Share on XSelain Malaysia, isu biasnya media juga pernah mencuat di India. Cobrapost – sebuah media non-profit investigatif – membongkar perusahaan-perusahaan media lain yang memiliki kedekatan dengan partai yang berkuasa di India, yaitu Partai Bharatiya Janata. Cobrapost pun menyerang media-media besar di India, seperti The Times of India, The New Indian Express, dan India Today Group yang dianggap memiliki kedekatan tersebut.
Di Nigeria yang baru saja melaksanakan Pilpres pada Februari lalu, terdapat juga narasi tuduhan biasnya media. Kandidat presiden Omoyele Sowore dari Partai Kongres Aksi Afrika (AAC) mempertanyakan media yang jarang membahas kegiatan-kegiatan kampanyenya.
Sowore pun menuduh media terlalu sering menghabiskan waktunya untuk membahas dua kandidat terpopuler lainnya, yaitu Muhammadu Buhari dari Partai Kongres Seluruh Orang Progresif (APC) dan Atiku Abubakar dari Partai Demokratis Rakyat (PDP).
Pendukung-pendukung Sowore pun pernah berdemonstrasi pada Channels TV – salah satu media di negara tersebut – akibat tidak dilibatkannya Sowore dalam Debat Capres di Nigeria oleh Nigeria Elections Debate Group (NEDG) dan Broadcasting Organisations of Nigeria (BON). Debat Capres tersebut hanya mengundang lima capres dari 78 kandidat yang ada.
Selain di Nigeria, salah satu media bias lain yang hingga saat ini masih ramai dibicarakan adalah Fox News di Amerika Serikat (AS). Media ini sering kali dianggap sebagai media yang sangat pro kepada Partai Republik AS dan kepada Presiden Donald Trump.
Dalam konteks Pemilu AS 2016, Fox News sering kali dianggap banyak menyudutkan Partai Demokrat dan Hillary Clinton – kandidat lawan Trump kala itu. Clinton pun sempat menyebut Fox News sebagai propaganda besar. Media milik perusahaan 20th Century Fox itu juga dianggap masih terus memberitakan Clinton meskipun telah kalah dalam Pemilu 2016.
Dengan demikian, jika berkaca dari contoh-contoh keberpihakan media di berbagai negara, bisa jadi keberatan kubu Prabowo-Sandi terhadap Metro TV merupakan hal yang wajar karena media sendiri memiliki pengaruh dalam menentukan preferensi pemilih dalam Pilpres. Dalam studi yang ditulis oleh Junze Sun, Arthur Schram, dan Randolph Sloof, dijelaskan bahwa bias media tentu memiliki dampak pada hasil jumlah suara dalam Pemilu.
Sisi Lain Bias Media
Persoalan hubungan kandidat dengan media dalam kasus BPN dan Metro TV ini sebenarnya bisa juga dilihat dari sisi sebaliknya. Di AS misalnya, Trump nyatanya juga sering mengkritik media lain dalam kampanye-kampanye politiknya.
Pria yang kini menjadi Presiden AS ke-45 itu pun berkali-kali menyebut berbagai pemberitaan media tentang dirinya sebagai berita palsu (fake news), musuh masyarakat, dan sumber yang tidak dapat dipercaya. CNN adalah salah satu media yang kerap dicap fake news oleh Trump.
Kritik Trump pun tidak hanya terbatas pada narasi. Beberapa kali, jurnalis-jurnalis media berita diusir dan tidak diperbolehkan masuk ke kegiatan-kegiatan kampanyenya, seperti yang terjadi dalam kampanyenya di Iowa pada Juli 2016.
Nyatanya, upaya Trump untuk menegasikan media berita yang sering kali memberitakan hal buruk tentang dirinya merupakan cara yang cukup efektif dalam kampanye. Tentunya, penegasian media ini cukup menguntungkan Trump.
Dalam polling yang dilakukan oleh CBS News, didapatkan sekitar 91 persen pendukung kuat Trump mengatakan bahwa kandidat dari Partai Republik itu memberi mereka informasi yang akurat. Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan Trump terhadap media dapat membuat pendukungnya imun terhadap berita-berita dari media yang mengkritiknya.
Kecenderungan pendukung Trump tersebut juga didukung oleh penjelasan Jack Shafer dalam tulisannya di Politico. Shafer menjelaskan bahwa penyerangan Trump terhadap media membuat media kesulitan untuk memberikan framing isu terhadap pendukung-pendukungnya.
Selain membuat pendukungnya imun terhadap berita-berita negatif, Trump juga mendapatkan panggung melalui kritik-kritiknya terhadap media dengan meningkatkan perhatian media itu sendiri kepada dirinya. Jonathan Stray dari Columbia University dalam tulisannya di NiemenLab, menjelaskan bahwa perhatian yang meningkat terhadap kandidat di media juga dapat meningkatkan jumlah dukungan suara. Stray melihat bahwa ketika ada peningkatan penyebutan Trump di media dan hasil polling Trump juga turut meningkat.
Selain itu, strategi Trump terhadap media ini juga menguntungkan dalam beberapa hal lain. Shafer menjelaskan bahwa kritik-kritik Trump terhadap media membuat perhatian media tidak terfokus pada substansi-substansi tertentu – seperti isu lingkungan, isu Laut Tiongkok Selatan, dan Perang Afghanistan – yang bukan merupakan medan elektoral yang ingin dijamah olehnya.
Jika kita kaitkan kembali dalam konteks Pilpres 2019 dengan berkaca pada strategi Trump, bisa jadi kubu Prabowo-Sandi menggunakan cara yang sama seperti Trump. Menciptakan citra media sebagai sumber yang tidak dapat dipercaya dapat membuat pendukung-pendukung kuat Prabowo-Sandi menjadi imun terhadap berita dari media-media tertentu, salah satunya Metro TV.
Media yang Seharusnya
Biasnya media mungkin dapat berdampak buruk bagi pemilih. Berdasarkan analisis dan penghitungan dalam tulisan Stephane Wolton yang berjudul Are Biased Media Bad for Democracy?, dijelaskan bahwa pemilih dalam Pemilu lebih mendapatkan informasi lengkap dalam lingkungan media yang tidak bias, sedangkan akan menjadi kurang informasi apabila berada dalam lingkungan media yang bias. Pemilih pun menjadi rentan terperangkap dalam manipulasi informasi di media.
Selain itu, biasnya media juga memiliki konsekuensi politik. Dalam kontestasi politik seperti Pilpres 2019, media yang bias dapat membantu politisi-politisi untuk memperoleh suara lebih banyak dalam Pemilu.
Mungkin, pengaruh media dalam Pemilu inilah yang menyebabkan kubu Prabowo-Sandi mengkritik Metro TV. Strategi kritik media milik Trump bisa saja digunakan juga oleh Prabowo-Sandi untuk melindungi basis suaranya dari berita-berita negatif di media-media yang kerap menyerang mereka.
Namun, kritik kubu Prabowo-Sandi ini bisa juga menjadi cara untuk mendapatkan perhatian media. Dengan banyaknya perhatian di media, Prabowo-Sandi dapat menaikkan suara untuk memenangkan Pilpres 2019 tanpa menghabiskan banyak biaya untuk iklan dan sejenisnya, meskipun petahana Jokowi memiliki dukungan dari berbagai media besar seperti Metro TV atau MNC Group milik Hary Tanoesoedibjo.
Mungkin, Metro TV perlu memutar otak kembali apabila ingin menghapus citra yang sudah terlanjur terbentuk. Cara lain yang bisa dilakukan mungkin dengan berhenti menjadi media bias agar tidak rentan terhadap strategi serang media ala Trump.
Bagi pemilih, mungkin benar juga apa yang dikatakan oleh legenda Hip-Hop Tupac Shakur di awal tulisan, bahwasannya di tengah-tengah biasnya media, ada baiknya akal sehat kita sebagai pemilih tidak terperangkap pada trik-trik kotor politisi di media. (A43)