Sebagai tokoh yang karier politiknya menjulang di era Reformasi, membuat Amien Rais sulit dilupakan dalam panggung politik Indonesia. Sebagai oposan dengan berbagai kritik tajam terhadap pemerintah. Terbaru, Amien meminta agar Luhut B. Pandjaitan sesegera mungkin didepak dari kabinet. Lantas, timbul pertanyaan, apakah Amien Rais masih punya taring dalam kancah politik saat ini?
Amien Rais merupakan salah satu tokoh yang pernah menjadi macan di panggung Reformasi tahun 1998. Dan di tengah riuh isu-isu politik yang memanas saat ini, ia turut menarik perhatian publik dengan memberikan pernyataan-pernyataan kritisnya kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebagai Ketua Dewan Syuro Partai Ummat, Amien Rais memberikan peringatan bahwa masa jabatan Jokowi akan selesai tidak lama lagi. Oleh karena itu, ia meminta agar Presiden Jokowi dalam masa penghujung ini tidak lagi menambah utang negara.
Apalagi jika utang tersebut adalah upaya untuk merealisasikan proyek pemindahan ibu kota negara (IKN). Maka bagi Amien, proyek tersebut lebih baik jangan dipaksakan, sangat tidak realistis baginya di tengah kesulitan melaksanakan proyek yang butuh dana besar.
Jika kita lihat data, sampai akhir Februari 2022, utang Indonesia sebesar Rp7.014,58 triliun atau setara 40,17 persen dari produk domestik bruto (PDB). Terdapat lonjakan total utang pemerintah seiring dengan penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman pada bulan Februari 2022.
Posisi utang yang semakin meningkat pada periode kedua pemerintah Jokowi, dimulai dari tahun 2019 dengan Rp4.779,28 triliun kemudian naik pada 2020 menjadi Rp6.074,56 triliun. Selanjutnya pada 2021 sebesar Rp6.908,87 triliun. Banyak yang spekulasi bahwa nasib Indonesia kemungkinan akan seperti Sri Lanka yang mengalami gagal bayar utang.
Dalam kondisi seperti ini, Amien menyarankan beberapa hal. Pertama, Jokowi lebih baik saat ini untuk pro terhadap kepentingan masyarakat. Kedua, minta Jokowi tegas mengeluarkan pernyataan menolak perpanjangan masa jabatan presiden.
Ketiga, Amien meminta agar Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mundur dari jabatannya. Dia menganggap masyarakat sudah menilai buruk figur maupun kinerjanya sebagai menteri. Oleh karena itu, Amien meminta Luhut untuk mengundurkan diri. Semakin cepat Luhut minggat dari jabatannya, maka semakin bagus.
Semua tuntutan Amien ini merupakan bagian dari desakan politik yang diberikan kepada Jokowi. Lantas, apakah tuntutan ini akan didengar oleh Jokowi?
Mengenal Bapak Reformasi
Lahir dengan nama asli Muhammad Amien Rais, ia lebih dikenal dengan panggilan Amien Rais. Tokoh Muhammadiyah kelahiran Surakarta, Jawa Tengah pada 26 April 1944 ini adalah anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Syuhud Rais dan Sudalmiyah.
Amien dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang aktif di organisasi Muhammadiyah. Kedua orang tuanya aktivis Muhammadiyah cabang Surakarta, Jawa Tengah. Kebiasaan berorganisasi orang tuanya pun mengalir dalam darah Amien.
Firdaus Syam dalam bukunya Amien Rais: Politisi Yang Merakyat dan Intelektual Yang Shaleh, mengungkapkan, gejolak dalam hati Amien melihat kondisi Indonesia yang terpuruk, membuatnya tidak hanya duduk manis di kampus.
Amien pun keluar kampus dan bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Muhammadiyah, dan beberapa organisasi lainnya. Sikap kritis membuatnya terpental dari jabatan ketua Dewan Pakar ICMI, organisasi yang dibentuk era Orde Baru.
Setelah dari ICMI, Amien konsentrasi di Muhammadiyah karena terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah pada tahun 1995. Amien terus menerus berteriak soal eksploitasi alam Indonesia.
Amien Rais dalam bukunya Melangkah Karena Dipaksa Sejarah, mengungkapkan perjuangannya sebenarnya berasal dari sikap perlawanan terhadap praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di tubuh birokrasi pada pemerintahan Orde Baru.
Amien dan tokoh-tokoh lainnya berhasil menumbangkan pemerintah Orde Baru dengan lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998. Dan sebagai upaya mengagregasikan kepentingan politiknya, pada tahun yang sama, Amien mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) dan sekaligus menjabat sebagai Ketua Umum DPP PAN yang pertama.
Amien kemudian terpilih menjadi Ketua MPR RI 1999-2004. Sihir Reformasi Amien masih terlihat berkuasa dan membuatnya berhasil mengusung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden ke-4 RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri.
Bahkan kekuatan sihir Amien Rais kembali terjadi. banyak pihak menyebutnya sebagai salahs atu aktor di balik pemakzulan Gus Dur dan otomatis membuat Wakil Presiden Megawati menjadi Presiden ke-5 RI dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001.
Saat itu, Amien Rais dijuluki sang king maker. Namun, kekuatan king maker-nya mulai memudar dengan berjalannya waktu. Pemilu demi pemilu dilewati oleh Amien dan PAN saat era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden selama dua periode.
Dan bahkan pada periode pertama Presiden Jokowi, daya magis yang pernah dimiliki oleh Amien mulai sirna dalam panggung politik. Alih-alih beristirahat dari dunia politik, Amien belakangan gencar mengkritik pemerintahan Jokowi.
Dany Garjito dalam tulisannya Profil Amien Rais, Politikus Senior yang Vokal Terhadap Rezim Pemerintah, mengatakan Presiden Jokowi terjebak dalam mentalitas “koncoisme”. Jokowi dianggap pilih kasih dalam menegakkan demokrasi.
Demi melawan itu, jelang Pilpres 2019 lalu, Amien ingin juga bertarung sebagai calon presiden 2019-2024. Salah satu alasannya karena terinspirasi oleh kemenangan Mahathir Mohamad di pemilu Malaysia.
Optimistis ini beralasan karena Mahathir yang telah berumur 92 tahun kembali menjadi Perdana Menteri (PM) Malaysia mengalahkan petahana Najib Razak. Peristiwa ini melecut semangat Amien Rais yang saat ini genap berusia 74 tahun.
Meski wacana tersebut berlalu dalam kesunyian, tapi melihat sosok Amien yang diasosiasikan dengan Mahathir menjadi perbincangan yang menarik. Lantas, seperti apa melihat perbandingan kedua tokoh yang sama-sama telah “berusia” dalam kancah politik?
Amien Bukan Mahathir?
Kisah Mahathir yang menjadi PM Malaysia di usia 92 tahun, membukukan dirinya sebagai pemimpin tertua di dunia. The Guardian, media Inggris berpengaruh, menyebut peristiwa ini dengan kebangkitan kembali Bapak Malaysia Modern.
Kembalinya seseorang ke panggung politik bukanlah tidak biasa. Tapi yang terjadi pada Mahathir yang sebelumnya berkuasa selama 22 tahun, mulai dari 1981 hingga pensiun tahun 2003, merupakan keajaiban dalam panggung politik.
Uniknya, Mahatir naik ketika dia justru memimpin oposisi yang semula dibentuk untuk menentang kekuasaan otokratiknya sendiri. Mahathir berubah menjadi juru selamat, melawan UMNO yang telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaannya.
Senada dengan kebangkitan Mahathir, sebagian orang melihat sosok Amien merupakan duplikasi serupa yang saat ini berada di Indonesia. Pernah menjadi tokoh yang di elu-elukan saat Reformasi, bahkan sempat menjadi Ketua MPR RI.
Ramalan dan harapan itu berkelindan dalam diri Amien, di mana pertanyaan yang muncul adalah mampukah Amien kembali ke puncak kekuasaan ketika usianya sudah lanjut? Apakah momentum yang sama pada Mahathir berlaku pada Amien?
Nyarwi Ahmad, Direktur Centre for Presidential Studies-Decode Universitas Gadjah Mada, mengatakan, meski kemenangan Mahathir bisa menjadi penyemangat bagi oposisi, kondisi di Malaysia sulit dikomparasikan dengan Indonesia.
Kondisi politik di Malaysia dan Indonesia, meskipun kejadiannya dianggap mirip, tidak bisa serta-merta dijadikan perbandingan dalam satu level analisis. Misalnya, karakter pemilih Malaysia dan Indonesia berbeda. Lingkungan dan perkembangan wacana politik yang berputar juga berbeda.
Bagi Nyarwi, politik Indonesia jauh lebih kompleks. Tak sekadar Indonesia bersistem pemerintahan presidensial, tapi juga kerumitan pemilu hingga konteks naik-turun popularitas tokoh yang berkontestasi.
Pada 26 April 2022 mendatang, Amien sudah berusia 78 tahun. Amien rasanya tidak akan termakan rayuan para pendukungnya yang menyamakan ia dengan Mahathir. Dan bahkan lebih realistis jika saat ini dengan partai barunya, yaitu Partai Ummat lebih fokus pada kontestasi di 2024.
Sebagai sosok yang dinobatkan sebagai Bapak Reformasi, wajar jika kritik Amien dilontarkan kepada pemimpin negeri ini. Hal itu sebagai tanggung jawab yang diembannya sebagai salah satu tokoh bangsa.
Oleh karena itu, aktivitas politik Amien rasanya tidak bisa langsung ditafsirkan sebagai upayanya untuk kembali berselancar dalam dunia politik lagi. Taring politik Amien saat ini tampaknya tinggal sejarah. Bijak sekiranya bukan lagi Amien yang berada di depan panggung, melainkan kaum muda yang merupakan penerus estafet visi perjuangan beliau. (I76)