Sejak Covid-19 masuk di Indonesia pada Maret lalu, berbagai kebijakan yang ditelurkan pemerintah dinilai belum memperlihatkan signifikansi keberhasilan. Alih-alih menurunkan kurva, kasus positif justru meningkat setiap harinya. Lantas, apa akar masalah ini?
PinterPolitik.com
Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri. Peribahasa ini kerap digunakan untuk menggambarkan “rasa iri” dalam melihat pihak lain karena dinilai lebih baik. Peribahasa ini boleh jadi tepat kita gunakan ketika melihat gelagat warganet yang kerap membandingkan penanganan pandemi virus Corona (Covid-19) di Indonesia dengan negara lain. Katakanlah dengan Vietnam ataupun Tiongkok.
Melihat keberhasilan Vietnam dalam memerangi pandemi Covid-19, tidak sedikit membuat kita bertanya, apakah Indonesia harus meniru kebijakan tegas yang dijalankan di sana agar masyarakat disiplin mematuhi protokol kesehatan?
Pun begitu dengan Tiongkok. Di luar kontroversinya, dengan sistem politik otoriternya, negara yang dipimpin oleh Xi jinping ini juga dinilai berhasil dalam menangani pandemi ataupun mendisiplinkan masyarakatnya.
Banyak pula yang takjub dengan kemampuan negeri Tirai Bambu dalam membangun Rumah Sakit Covid-19 di Wuhan yang hanya membutuhkan waktu satu minggu. Selain itu, Tiongkok juga diketahui mengirimkan sejumlah tenaga medisnya untuk menangani kasus Covid-19 di sejumlah negara.
Tentu banyak dari kita menyadari, kedisiplinan masyarakat seperti di Vietnam ataupun Tiongkok tidak terjadi di Indonesia. Harus diakui memang, persoalan kedisiplinan ini adalah masalah akut yang membuat protokol kesehatan tidak dijalankan dengan baik. Seperti yang jamak diketahui, kebijakan otoriter memang memiliki sifat memaksa yang membuat kepatuhan menjadi lebih mungkin terjadi.
Lantas, apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus meniru kebijakan otoriter ala Vietnam ataupun Tiongkok untuk menciptakan kedisiplinan di Indonesia?
Jadi Pak Menkes masuk kategori menteri kesayangan Pak @jokowi sehingga nggak mungkin direshuffle? #politik #pinterpolitik #infografishttps://t.co/0mQplyCj6O pic.twitter.com/VLOJQcaecw
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 14, 2020
Bukan Soal Sistem Politik
Dalam sebuah wawancara di CNN beberapa waktu lalu, penjabaran penulis buku Trust Francis Fukuyama sepertinya dapat menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Pada saat itu, Fareed Zakaria memberikan pertanyaan sederhana kepada Fukuyama, “Rezim seperti apa yang menangani pandemi dengan lebih baik?”.
Di sini, Zakaria hendak menanyakan apakah rezim demokrasi atau otoritarian yang lebih baik dalam menangani pandemi Covid-19. Di sisi demokrasi, terdapat contoh Korea Selatan, Jerman, ataupun Taiwan. Sedangkan di sisi otoritarian, terdapat Tiongkok.
Menariknya, Fukuyama justru menyebutkan ini bukan soal rezim atau sistem politik yang diterapkan, melainkan berpangkal pada trust atau kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya. Jika kepercayaan ada, itu akan membuat masyarakat mengikuti arahan dari pemerintah, misalnya dengan menggunakan masker, ataupun tidak protes dengan lockdown yang dilakukan selama tiga bulan.
Menurut Fukuyama, terdapat aspek historis mendalam yang dapat memicu distrust atau ketidakpercayaan di tengah masyarakat terhadap pemerintah. Amerika Serikat (AS) adalah contoh paling nyatanya. Kendati negara ini dapat disebut sebagai negara yang begitu tinggi menjunjung asas-asas demokrasi, seperti kebebasan berpendapat, nyatanya masyarakat AS memiliki surplus ketidakpercayaan terhadap pemerintahan.
Itu misalnya terlihat dengan demo yang dilakukan di New York untuk menuntut pembukaan lockdown. Tudingan Covid-19 adalah kebohongan ataupun konspirasi, juga turut menjadi alasan untuk menolak mengikuti protokol kesehatan yang ada. Alhasil, saat ini negeri Paman Sam menjadi episentrum Covid-19 dunia. Per 15 Juli, kasusnya telah mencapai 3.545.257, dengan 139.145 kematian.
Fukuyama melihat, distrust masyarakat AS terhadap pemerintah telah terpupuk sedari dulu. Ini misalnya dapat dilihat sejak abad ke-18 dengan berkibarnya bendera Don’t Tread on Me.
Dalam kajian antropologi, berkembangnya liberalisme ataupun libertarianisme di AS jamak disimpulkan sebagai konsekuensi dari masyarakatnya yang memang berkarakteristik individualis. Ini kemudian membuat kebencian terhadap otoritarianisme menjadi pemahaman umum di negeri Paman Sam.
Menurut Fukuyama, alasan historis yang mendalam tersebut tidak terdapat di negara-negara Asia. Lanjutnya, terdapat variabel unik di Asia yang membuat penanganan Covid-19 lebih baik dari AS. Itu adalah filsafat Konfusius.
Gimana pandangan kalian soal wacana Pak @jokowi bubarkan 96 lembaga dengan OJK dan BI mau digabungin loh? #politik #pinterpolitik #infografis https://t.co/gddSbMNQNy pic.twitter.com/qREFQrIJBp
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 15, 2020
Sebagaimana diketahui, bagi negara-negara yang menganut filsafat ini, masyarakatnya memiliki rasa hormat tersendiri terhadap otoritas, yakni pemerintah yang berkuasa. Konfusius sendiri benar-benar menjunjung trust karena variabel ini dinilai sebagai aspek paling fundamental dalam pemerintahan.
Shaohua Hu dalam tulisannya Confucianism and Contemporary Chinese Politics menyebutkan bahwa filsafat Konfusius masih relevan dan berlaku di Tiongkok saat ini. Filsafat ini bahkan disebut sebagai faktor yang mendorong kemajuan negeri Tirai Bambu.
Sedangkan di AS, tidak hanya secara historis terbentuk distrust atau rasa curiga berlebih terhadap pemerintah, melainkan juga terdapat faktor polarisasi masyarakat yang terus tumbuh di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, yang menurut Fukuyama turut memperparah penanganan Covid-19.
Sama dengan Masalah Jokowi?
Sedikit tidaknya, kita dapat melihat bahwa terdapat faktor-faktor yang sama antara Indonesia dengan AS, yang membuat penanganan pandemi Covid-19 di kedua negara tersebut bermasalah. Di AS, kita menjumpai faktor distrust dan polarisasi masyarakat. Di Indonesia, kedua faktor tersebut tampaknya juga ada.
Terkait faktor distrust, hal ini pernah disinggung oleh tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian dalam acara Indonesia Lawyes Club (ILC) pada 5 Februari 2019 lalu. Tuturnya, dengan fakta Indonesia telah mengalami rezim yang begitu otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun, itu membuat masyarakat mengalami trauma politik dan surplus kecurigaan terhadap kekuasaan.
Ya, kecurigaan tersebut tampaknya terus memupuk sampai saat ini. ini juga diperparah dengan sosok-sosok di Orde Baru nyatanya masih bercokol di lingkaran Istana. Sebut saja Wiranto dan Hendropriyono. Bukti kuat lain atas trauma ini juga dapat kita lihat dari ditolak kerasnya dwifungsi TNI/Polri, misalnya yang terjadi di BUMN.
Konteks adanya sentimen negatif terhadap pelibatan militer tersebut dapat kita pahami melalui tulisan Alina Tugend yang berjudul Praise Is Fleeting, but Brickbats We Recall. Mengutip temuan Roy F. Baumeister, seorang profesor psikologi sosial dari Florida State University, Tugend menyebutkan bahwa manusia secara alamiah memang lebih mengingat kenangan buruk daripada kenangan baik.
Menurut Profesor Baumeister, hal tersebut merupakan bagian dari adaptasi manusia dalam bertahan hidup karena mengingat pengalaman buruk dapat memperbesar peluang manusia dalam menghindari bahaya.
Mengacu pada tulisan Tugend, kenangan kelam berbagai tindakan koersif pada era Orde Baru karena terjadinya dwifungsi ABRI, boleh jadi telah bersarang di benak publik, khususnya mereka yang mengalami peristiwa tersebut secara langsung.
Pak @mohmahfudmd kalau jadi detective keren juga Pak. 😁 👏Setidaknya dari ulasan di @temponewsroom masyarakat jadi tahu yang bermasalah di kasus Djoko Tjandra itu ada di mana. #politik #pinterpolitik #posteredithttps://t.co/gddSbMNQNy pic.twitter.com/JV0PHCDP9L
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 15, 2020
Kemudian, pada faktor polarisasi, tentu jamak diketahui, Pilpres 2019 telah melahirkan pembelahan atau polarisasi ekstrem di tengah masyarakat. Bahkan sampai saat ini, perdebatan yang berakar pada pelabelan cebong dan kampret masih menjadi pergunjingan umum.
Salah satu orang kepercayaan Prabowo Subianto, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga mengakui hal tersebut ketika berbicara di podcast Deddy Corbuzier pada 14 Juli lalu. Tegasnya, kendati Prabowo telah bergabung ke dalam pemerintahan, nyatanya polarisasi masih terjadi di tengah masyarakat.
Suka atau tidak, kedua faktor tersebut memang telah memupuk ketidakpercayaan di tengah masyarakat terhadap pemerintah. Ini pula yang menyebabkan masyarakat tidak patuh terhadap protokol kesehatan. Bahkan tidak sedikit yang lebih memilih memercayai teori konspirasi yang menyebutkan Covid-19 tidaklah berbahaya sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Dalam survei yang dilakukan oleh Nanyang Technological University (NTU) Singapura terkait persepsi warga Jakarta terhadap Covid-19 juga memperlihatkan hasil yang mengejutkan. Bagaimana tidak? Sebesar 77 persen responden ternyata percaya bahwa risiko mereka tertular Covid-19 sangatlah kecil. Ini tentu adalah indikasi kuat bahwa wanti-wanti pemerintah selama ini terkait Covid-19 tampaknya tidak begitu didengarkan.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa belum maksimalnya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia tampaknya disebabkan oleh persoalan yang begitu halus, yakni belum terbentuknya trust di tengah masyarakat terhadap pemerintah. Pun begitu dengan polarisasi yang masih terjadi.
Ini tentu menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi pemerintah untuk menumbuhkan trust ini. Jangan sampai pemerintahan Presiden Jokowi mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan koersif, di mana ini dapat menciptakan resistensi publik sehingga distrust semakin memupuk.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.