HomeNalar PolitikMa’ruf, Vaksin, dan Politik Fatwa

Ma’ruf, Vaksin, dan Politik Fatwa

Wapres Ma’ruf Amin menggagas wacana perlunya fatwa MUI mengenai kewajiban vaksinasi Covid-19. Lantas sesungguhnya, seperti apa signifikansi MUI beserta fatwanya itu, termasuk pada konteks program vaksinasi pemerintah kelak?


PinterPolitik.com

Bersamaan dengan polemik diskursus penerapan sanksi berupa denda maupun pidana bagi mereka yang menolak vaksinasi Covid-19, pemerintah nyatanya juga disebut tengah mewacanakan sebuah instrumen lain untuk mendukung program nasional tersebut.

Datang dari Istana, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin menggagas perlunya sebuah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai kewajiban vaksin Covid-19. Hal tersebut diutarakan Ma’ruf kepada Komisi Fatwa MUI saat menerima laporan mengenai kehalalan Vaksin Sinovac pekan lalu.

Meskipun hal tersebut belum diputuskan, Juru Bicara (Jubir) Wapres Masduki Baidlowi menjelaskan bahwa kehadiran fatwa bertujuan agar semakin meyakinkan masyarakat untuk melakukan vaksinasi Covid-19, di samping imbauan dan sosialisasi pemerintah.

Berhembusnya gagasan itu di sisi lain menguak bahwasanya peran sebuah produk hukum agama yang berupa fatwa, sekali lagi, seolah menjadi instrumen yang begitu krusial dan tampak menjadi bagian dari kebijakan dalam konteks spesifik sebuah negara.

Dalam State and religion, a multidimensional relationship, Aernout Nieuwenhuis menjabarkan bahwa hubungan antara negara dan agama memang kerap menimbulkan konsekuensi multidimensi, termasuk aspek hukum.

Terutama ketika negara atas nama konstitusi juga mengurusi atau mencakup urusan agama dan kepercayaan, yang bahkan korelasinya dapat dilacak sejak era peradaban kuno sampai kerajaan pra-modern.

Sementara sosiolog Max Weber menjelaskan, hubungan sebuah kekuasaan yang baik adalah stabilisasi keteraturan sosial, yakni konsep legitimasi yang bersanding dalam relasi antara agama, negara, serta ekonomi yang baik. Tipologi yang lantas memadukan otoritas karismatik, tradisional, dan legal rasional.

Meskipun kemudian dalam perkembangannya terdapat paradigma sekularisme – yang memisahkan urusan kenegaraan dan agama – dianut sejumlah negara, korelasi dua hal itu nyatanya tak lantas dapat dipisahkan secara universal.

Arab Saudi, Iran, Pakistan, dan sebagainya merupakan sampel negara yang secara konstitusional menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sementara Jepang, Thailand dan Kamboja walau secara eksplisit tidak menyatakan Budha atau Konghuchu sebagai agama resmi negara, tetapi mereka meyakini raja mereka sebagai titisan suci dewa. Begitu pula Vatikan yang secara resmi menyatakan Katolik sebagai agama resmi negara.

Baca juga: Ma’ruf Dibungkam atau Tidak Diinginkan?

Di dalam menjalankan kehidupan bernegara serta roda pemerintahan dan kebijakannya, negara-negara tersebut juga tak dapat dipisahkan dari penanaman elemen-elemen religositas.

Meskipun Islam bukan agama resmi negara, pengaruh nilai-nilai keagamaan dalam demarkasi kebijakan kenegaraan tampaknya masih cukup besar di Indonesia.

Paling tidak kecenderungan itu terlihat dari bagaimana fatwa halal dari MUI seolah berdiri sejajar dengan rambu penggunaan darurat vaksin Covid-19 Sinovac dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Lantas, bagaimana pertautan dalam dimensi fatwa tersebut dapat terjadi di Indonesia? Serta apakah fatwa soal kewajiban vaksin ini punya dampak khusus dalam program vaksinasi Covid-19 pemerintah?

Esensi Fatwa

Waell Hallaq memberikan salah satu definisi dari fatwa secara umum dalam publikasinya yang berjudul From Fatwas to Furu, Growth Change in Islamic Substantive Law. Fatwa disebut merupakan penjelasan dari persoalan atau masalah hukum yang problematik atau penjelasan bagi suatu masalah yang baru timbul dan tidak ada hukum mengenai hal tersebut sebelumnya.

Setelah era Nabi Muhammad serta para Sahabatnya, dan peradaban plus masyarakat Islam kian berkembang, ketetapan hukum atas ihwal tertentu menjadi urgensi tersendiri dan direpresentasikan melalui fatwa yang ditasbihkan oleh para ulama dan cendekiawan, atau yang dikenal sebagai mufti.

Kemudian awal abad ke-11 di era Kekhalifahan Turki Usmani, mulailah terdapat sebuah lembaga yang diikutsertakan dalam menghasilkan fatwa. Hingga di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk, mufti dari setiap mazhab dilibatkan dalam proses pengadilan. Hal itu lantas menjadi momentum awal saat fatwa yang berbasis keagamaan berinteraksi dalam urusan kenegaraan.

Pada konteks Indonesia, kedudukan fatwa pun memiliki signifikansinya tersendiri. Perkembangan fatwa di tanah air setidaknya dapat ditelusuri sejak era kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan, ketika peran ulama menjadi sangat strategis.

Selain untuk menjawab persoalan sehari-hari, anjuran dan titah para ulama yang dapat secara efektif menyentuh akar rumput – termasuk yang tergolong fatwa – cukup vital dalam berbagai kepentingan pergerakan nasional demi kemerdekaan dan upaya mempertahankannya ketika itu.

Baca juga: Ma’ruf Jadi Wapres, MUI Menguat?

Lalu di era pasca kemerdekaan, perkembangan dan domain fatwa sendiri dapat dilihat sejak 26 Juli 1975, atau ketika MUI sebagai lembaga yang berisi para ulama serta cendekiwawan Muslim prominen secara resmi berdiri.

Organisasi Islam besar sebelumnya seperti Nahdlatul Ulama atau NU dengan Lajnah Bahsul Masail atau Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih nya, secara teknis dapat mengeluarkan fatwa masing-masing. Oleh karena itu, kehadiran MUI kemudian disebut menjadi jawaban dan solusi persoalan yang dihadapi umat Islam di Indonesia secara menyeluruh.

Bersinggungan dengan Politik?

Terlahir di era otoritarianisme Orde Baru (Orba), eksistensi MUI sebagai lembaga yang mendukung politik dan pemerintahan negara agaknya tidak dapat dilepaskan. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Jeremy Menchik dalam The Politics of the Fatwa, yang menjelaskan dinamika MUI dan kecenderungan singgungan politis tersebut.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Sejak berdiri pada 1975 hingga dekade 90-an, MUI disebut mengandalkan kombinasi kewenangan karismatik dan kewenangan ahli dalam aspek keagamaan yang diturunkan dari statusnya sebagai badan kuasi negara.

Menurut Menchik, MUI pada dasarnya adalah model korporatisme negara, yang dibuat oleh Soeharto untuk mengontrol ulama dengan cara serupa seperti Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) berperan sebagai kendaraan untuk mengontrol partai politik (parpol) Islam.

Pasca reformasi, MUI berkembang dan lebih menjadi pivot bagi sejumlah persoalan esensial seperti peran kontrol terhadap sertifikasi halal hingga perbankan Islam. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, MUI melalui sejumlah sosok karismatiknya dinilai kerap turut andil dalam mendefinisikan ihwal yang memiliki irisan politis.

Kasus Ahok pada 2016 misalnya ketika fatwa penistaan agama muncul dan melibatkan tokoh prominen MUI, salah satunya Ma’ruf Amin. Daniel Peterson dalam The Ahok Show Trial and Indonesia’s Politicisation of Religion mengatakan bahwa fatwa yang mendahului penyelidikan penegak hukum itu berdampak cukup hebat dalam dinamika sosial politik Indonesia, yang agaknya memang bahkan masih terasa hingga kini.

Belum lagi saat Ma’ruf Amin masuk ke dalam pemerintahan dan belakangan muncul isu bahwa kepengurusan baru MUI lekat dengan intervensi tertentu.

Serangkaian akumulasi variabel di atas yang kemudian jika ditarik pada gagasan fatwa kewajiban vaksinasi Covid-19, membuat esensi dan efektivitasnya kelak menjadi pertanyaan tersendiri.

Karena secara teknis saja, kedudukan fatwa di Indonesia bukan merupakan jenis aturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Fatwa MUI khususnya, juga tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di tanah air.

Terlebih lagi saat ini publik masih berpolemik mengenai keberadaan sanksi denda maupun pidana yang menanti bagi mereka yang enggan divaksinasi. Membuat keberadaan wacana fatwa kewajiban vaksinasi Covid-19 bukan tidak mungkin akan menambah distorsi psikologis tersendiri.

Kendati begitu, fatwa sendiri pada hakikatnya berasal dari keyakinan luhur manusia yang harus dihormati. MUI sebagai entitas yang selama ini dipercaya menelurkan fatwa, tampaknya masih memiliki pekerjaan besar untuk selalu relevan, namun sedapat mungkin tetap proporsional saat hadir menjawab persoalan umat Islam tanah air.

Pun dalam menempatkan diri sebagai sebuah lembaga independen yang tidak menimbulkan polemik atas kewenangan yang dimilikinya, apalagi bersinggungan dengan perkara-perkara yang bersifat politis. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga: Ma’ruf Amin Mulai Unjuk Gigi?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?