Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf Terjebak “Strategi Machiavelli” JK?

Ma’ruf Terjebak “Strategi Machiavelli” JK?

Wakil Presiden Ma’ruf Amin bersama dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Foto: Kompas)

Baru-baru ini, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menjelaskan situasi mengapa Ma’ruf Amin sulit terlihat berperan signifikan di pemerintahan. Menurutnya, sampai saat ini masih terdapat orang-orang Jusuf Kalla (JK) bercokol di pemerintahan. Lantas, mungkinkah JK telah menerapkan strategi mempertahankan kekuasaan ala Niccolo Machiavelli?


PinterPolitik.com

Kesukaran mempertahankan negara-negara yang diperintah oleh penguasa yang berasal dari satu keluarga lebih kecil daripada negara-negara kerajaan baru” – Niccolo Machiavelli dalam Il Prince

Sejak awal terpilih sebagai pasangan Joko Widodo (Jokowi) di gelaran Pilpres 2019, berbagai pandangan sinis sudah mengelilingi Ma’ruf Amin. Pun setelah terpilih, sosoknya masih lekat dengan pandangan sinis karena dinilai tidak berperan signifikan dalam pemerintahan. Di berbagai lini media sosial, tudingan Ma’ruf tengah AFK (away from keyboard) bahkan mudah ditemukan.

Tidak hanya diduga tidak berperan signifikan, berbagai desas-desus negatif juga senantiasa berputar. Beberapa waktu yang lalu misalnya, terdapat narasi bahwa posisi Ma’ruf sebagai wakil presiden (wapres) akan digantikan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.

Kemudian, melihat seliweran tudingan AFK di berbagai lini media sosial, ini terlihat kontras dengan Ma’ruf yang sebenarnya kerap mengeluarkan pernyataan. Berita atas pernyataan-pernyataan Ma’ruf bahkan mudah untuk ditemukan. Atas dasar ini, ada pula dugaan yang menyebutkan, sepertinya terdapat agenda penenggelaman nama Ma’ruf.

Baru-baru ini, pernyataan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane memberikan penjelasan situasi yang sepertinya menjawab mengapa Ma’ruf terlihat tidak berperan signifikan di pemerintahan. Tuturnya, ternyata selama ini orang-orang wapres sebelumnya, Jusuf Kalla (JK) masih bercokol di pemerintahan.

Bahkan menurutnya, sejak terpilih sebagai wapres, baru pada 20 Agustus 2020, para pendukung Ma’ruf baru bisa menemui dan berdialog dengan sang kiai.

Usulan untuk mengganti orang-orang JK dengan orang-orang Ma’ruf sebenarnya telah lama dikeluarkan. Namun, sampai saat ini tidak terdapat tanggapan berarti atas usulan tersebut. Tidak heran kemudian, para pendukung menyebut Ma’ruf dijadikan seperti “burung dalam sangkar emas”.

Neta juga menyebutkan bahwa peran Ma’ruf begitu minim karena tidak dilibatkan dalam penentuan kabinet ataupun pembahasan reshuffle.

Menanggapi pernyataan Neta, mantan Juru Bicara (Jubir) JK, Husain Abdullah menegaskan bahwa saat ini tidak ada lagi staf khusus JK di Istana Wapres.

Jika Husain Abdullah membantah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah tampak memberikan afirmasi, namun tidak dalam artian memojokkan JK. Tandasnya, secara fakta, JK memang sudah tidak lagi berkuasa. Oleh karenanya, perkara orang-orang JK masih berada di Istana Wapres, itu murni karena Ma’ruf menilai kehadiran mereka masih dibutuhkan.

Di luar perdebatan yang ada, jika benar orang-orang JK masih bercokol di pemerintahan, mungkinkah itu adalah “strategi Machiavelli” JK untuk tetap berkuasa?

Mempertahankan Kekuasaan ala Machiavelli

Niccolo Machiavelli, khususnya dalam bukunya Il Prince atau Sang Penguasa, telah dinobatkan sebagai “Buku Pedoman Para Diktator” oleh Michael H. Hart. Diktator besar seperti Adolf Hitler, Benito Mussolini, Lenin, hingga Stalin pun diketahui begitu memuja Il Prince. Napoleon Bonaparte bahkan disebut selalu tidur dengan buku ini di balik bantalnya.

Apa yang begitu mengerikan dari Il Prince adalah, buku ini begitu jujur dan gamblang dalam menjelaskan bagaimana cara mempertahankan ataupun merebut kekuasaan. Berbeda dengan buku politik lainnya yang bersifat normatif, Il Prince bahkan tidak segan menyebut pembunuhan sebagai hal yang lumrah demi tujuan tersebut.

Dalam pembahasannya mengenai “Kerajaan-kerajaan Turunan”, Machiavelli menjelaskan penguasa yang berasal dari penguasa-penguasa baru, akan lebih sulit mempertahankan kekuasaannya daripada penguasa yang berasal dari satu keluarga.

Machiavelli mencontohkan hal ini pada kasus Duke Ferrara di Italia yang mampu bertahan dari serangan-serangan Venesia pada tahun 1484 dan serangan Paus Julius pada tahun 1510. Menurutnya, keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keluarga Ferrara yang memang memegang kekuasaan dari dahulu kala. Oleh karenanya, ini membuat friksi kepentingan yang berakibat pada runtuhnya soliditas tidak banyak terjadi.

Dalam pembahasannya mengenai “Kerajaan-kerajaan Campuran”, Machiavelli bahkan memberikan saran yang begitu sadis. Menurutnya, penguasa baru  yang berhasil menduduki daerah-derah jajahan dan berharap mempertahankan kekuasaannya, maka sang penguasa baru harus memusnahkan semua darah keturunan sang penguasa lama.

Alasannya saran tersebut tentu mudah dipahami. Jika itu tidak dilakukan, para keturunan penguasa lama yang menaruh dendam mestilah akan merencanakan perebutan kekuasaan. Oleh karenanya, untuk meminimalisir potensi tersebut, mereka semua harus dimusnahkan.

Kendati teks tersebut ditulis Machiavelli pada tahun 1513, di mana pemerintahan masih berbentuk kerajaan. Pernyataan-pernyataan Machiavelli nyatanya masih berlaku dan ditemukan relevansinya sampai saat ini – dan mungkin sampai seterusnya.

Saat ini, demi tetap mempertahankan kekuasaan meskipun sudah tidak lagi bercokol di kursi kekuasaan, penguasa sebelumnya kerap menempatkan orang-orang kepercayaannya agar masih dapat melakukan kontrol ataupun mengintervensi kebijakan. Dengan lumrahnya praktik ini, tidak heran kemudian, strategi “bersih-bersih kursi”, alias mengganti orang-orang penguasa lama kerap dilakukan oleh penguasa baru.

Meskipun terdengar seperti melanggengkan praktik nepotisme, praktik ini nyatanya memang mesti dilakukan agar penguasa baru tidak terjebak atau mendapatkan intervensi berlebih dari penguasa sebelumnya.       

Di Indonesia, secara gamblang strategi ala Machiavelli ini pernah terjadi di tubuh militer. Setelah tersingkir dari jajaran orang kepercayaan Presiden Soeharto, orang-orang yang disebut dekat dengan Leonardus Benyamin Moerdani, mulai disingkirkan dengan tidak mendapat jabatan strategis di ABRI. Fenomena ini bahkan dikenal dengan sebutan “de-Benny-isasi”.

Lantas pertanyaannya, jika pernyataan Neta benar, mungkinkah JK tengah menerapkan strategi ala Machiavelli tersebut?

Sangat Mungkin bagi JK?

Bagi mereka yang mengikuti sepak terjang JK di pemerintahan, mungkin tidak akan begitu terkejut mendengar pernyataan Neta tersebut. Pada April 2009 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan pernah memberi penegasan bahwa tidak terdapat “matahari kembar” atau “dua matahari” dalam 4,5 tahun pemerintahan berjalan.

Isu itu sendiri mencuat karena berbagai pihak menilai JK terlalu berperan signifikan dalam pemerintahan, meskipun posisinya hanya sebagai wapres. Pada saat itu, JK memang berperan sebagai kepala staf kabinet yang bertugas melakukan koordinasi dan sinkronisasi di antara menteri-menteri kabinet. Politikus senior Golkar ini juga diperankan untuk lebih menangani bidang-bidang tertentu, seperti pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, hingga percepatan pembangunan kawasan timur Indonesia.

Pada saat itu, SBY menampik dengan menyebut peran itu memang by design, atau memang merupakan kesepakatan dengan sang wapres. JK sendiri juga telah mengafirmasi hal ini. Menimbang pada mencuatnya isu tersebut berdekatan dengan Pilpres 2009, mudah untuk menyebutkan bahwa isu tersebut hanyalah strategi untuk menjatuhkan nama SBY.

Namun menariknya, isu ini kembali mencuat pada April 2014. Kala itu, berbagai pihak menilai akan muncul “matahari kembar” di pemerintahan apabila Jokowi-JK menang di Pilpres 2014. Kendati berbagai pihak melihat peran JK tidak sebesar ketika mendampingi SBY, peran JK tetap dilihat cukup besar di era Jokowi, khususnya dalam urusan diplomasi, baik dalam dan luar negeri.

Terkhusus persoalan diplomasi, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago bahkan menilai bahwa Ma’ruf sepertinya tidak akan mampu menandingi kapasitas JK dalam urusan tersebut. Di konteks ini, pernyataan Dedi Kurnia Syah bahwa Ma’ruf memang membutuhkan orang-orang JK tampaknya mendapatkan afirmasi. Pasalnya, mereka mestilah dapat memberikan saran dan masukan yang dibutuhkan.

Melihat pada besarnya pengaruh JK, baik sebagai politisi ataupun pebisnis, tentu mudah bagi JK untuk menempatkan orang-orang kepercayaannya di pemerintahan. Akan tetapi, benar tidaknya hal ini tentunya sukar untuk dibuktikan.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin juga terlihat membantah pernyataan Neta. Menurutnya, dengan Ma’ruf yang saat ini berkuasa, tentu mudah baginya untuk menyingkirkan orang-orang lama. Ujang juga menegaskan bahwa terdapat pola, di mana wapres baru akan mengganti orang-orang lama dengan orang-orangnya.

Pada akhirnya, pernyataan Neta tentu akan menimbulkan berbagai respons tersendiri. Pada titik ini, kita hanya dapat meraba terkait benar tidaknya pernyataan tersebut. Di luar itu semua, tentu kita berharap agar Ma’ruf dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik ke depannya. Terkhusus pandemi Covid-19, duet Jokowi-Ma’ruf harus kita dukung agar pandemi ini lekas berlalu. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version