Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf Takut Sakiti Difabel

kaum difabel

Ma'ruf Amin bertemu komunitas difabel. (Foto: Istimewa)

“Saya mengklarifikasi bahwa pidato yang tidak mau mengakui adanya kenyataan pembangunan yang dilakukan Pak Jokowi, berbagai fasilitas kemaslahatan, kemanfaatan, saya menggunakan istilah yang tuli dan buta. Yang saya maksudkan bukan secara fisik, tapi pada soal hati,” Ma’ruf Amin


Pinterpolitik.com

[dropcap]M[/dropcap]a’ruf Amin tampaknya tidak bisa lepas dari polemik. Selepas dikejar-kejar soal peluncuran mobil Esemka, mantan Rais Aam PBNU itu kembali masuk berita. Kali ini pernyataannya tentang buta dan budeg yang menjadi soal. Ia menggunakan istilah itu untuk menyebut orang-orang yang tidak sadar dengan capaian pasangannya, Joko Widodo (Jokowi) saat memerintah. Pernyataan tersebut ternyata dianggap tidak sensitif dan merendahkan para penyandang difabel.

Ma’ruf sempat berkelit. Ia menyebut bahwa pernyataan tersebut tidak memiliki maksud untuk merendahkan kaum difabel. Selain itu, anggota tim kampanyenya juga ikut pasang badan untuk membela dan meluruskan pernyataan sang kiai.

Pada akhirnya, Ma’ruf mau meminta maaf kepada penyandang difabel. Di kediamannya, ia menerima kunjungan masyarakat dari golongan tersebut. Ia mengaku tidak ingin lagi ada polemik akibat kesalahpahaman dari ucapannya.

Dalam politik, kaum difabel memang seperti termarjinalisasi. Pernyataan Ma’ruf yang dianggap merendahkan kaum tersebut membuka kembali pertanyaan mengenai bagaimana aktor-aktor politik Indonesia memandang kaum tersebut. Lalu, seberapa signifikan isu ini bagi politisi seperti Ma’ruf?

Isu Tak Seksi

Secara umum, isu disabilitas memang kerap absen dalam urusan politik. Para politisi cenderung tidak banyak menaruh perhatian pada isu ini. Jika ukurannya kuantitas, boleh jadi para politisi ini memang tidak ingin banyak terpaku pada jumlah massa yang sedikit. Oleh karena itu, komentar tidak sensitif seperti yang dikeluarkan Ma’ruf lazim terjadi.

Jika dilihat secara kuantitatif, merujuk pada data BPS, populasi masyarakat difabel di Indonesia mencapai sekitar 8,56 persen dari keseluruhan rakyat Indonesia. Secara khusus, pada Pilkada 2018 lalu, total penyandang disabilitas yang terdaftar dalam DPT mencapai 556.754 orang.

Memang, dari segi tren, angka partisipasi kaum difabel mengalami kenaikan. Pada Pilkada 2017 lalu misalnya, angka partisipasi kaum ini melebihi 200 persen karena adanya perbedaan data. Meski begitu, secara jumlah, angka tersebut tergolong masih kecil jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok pemilih lain.

Berdasarkan angka tesebut, politisi boleh jadi enggan untuk membahas terlalu banyak isu ini. Menggarap pasar dengan jumlah pemilih yang tidak terlalu besar boleh jadi dianggap hanya buang-buang waktu dan energi. Oleh karena itu, wajar jika banyak politisi yang tidak menganggap serius isu ini.

Sebenarnya, ada beragam isu yang menjadi hak-hak dasar bagi kaum ini. Berbagai isu soal ketenagakerjaan, hak-hak kesehatan, hingga infrastruktur yang ramah disabilitas kerap absen dalam pembuatan kebijakan. Sejauh ini, memang sudah ada UU No. 8 Tahun 2016 yang diharapkan bisa menjadi solusi dari persoalan tersebut. Akan tetapi, pada praktiknya, kaum ini masih mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan.

Pernyataan Ma'ruf soal buta dan budeg tergolong ke dalam kampanye tidak hormat. Share on X

Jika menggunakan urusan politik sebagai ukuran misalnya, saat penyelenggaraan Pemilu, hak-hak kaum ini kerap kali terabaikan. Memang, sudah ada modul khusus dari KPU sebagai acuan untuk memenuhi hak-hak kaum difabel dalam menjankan hak politik mereka. Akan tetapi, dalam praktiknya, tidak semua penyelenggara Pemilu benar-benar paham dalam urusan ini.

Meski diskriminasi semacam itu sering terjadi, nyatanya politisi tidak juga melirik isu-isu hak kaum ini. Hak-hak kaum difabel baru ramai diperbincangkan ketika Ma’ruf hadir dengan pernyataan buta dan budeg-nya. Ironisnya, Ma’ruf sendiri tampak tidak memiliki sensitivitas terhadap isu tersebut.

Insentivitas Ma’ruf terhadap isu disabilitas membuat ia memakai istilah yang dekat dengan kaum tersebut untuk merendahkan orang lain. Alih-alih peduli dengan isu tersebut, ia justru malah menggunkannya untuk merendahkan pengritiknya. Hal ini membuatnya berada dalam posisi yang cukup problematik.

Tidak Hormat

Memang, jika kuantitas pemilih yang menjadi acuannya, menggarap isu disabilitas mungkin tidak akan berdampak besar bagi seorang kandidat. Akan tetapi, dalam isu tersebut ada unsur sensitivitas dan emosional yang dapat berpengaruh bagi pemilih.

Dalam konteks pernyataan Ma’ruf, pernyataan buta dan budeg mungkin tidak benar-benar banyak memberi pengaruh pada penurunan jumlah suara dari kelompok difabel. Akan tetapi, dari segi sensitivitas, Ma’ruf dapat dianggap sebagai orang yang merendahkan atau tidak menghormati kaum difabel.

Kampanye tidak hormat atau disrespectful ini bisa memiliki konsekuensi. Menurut Christina Molders, memang kampanye ini bisa bermanfaat jika dilakukan di waktu dan audiens yang tepat. Akan tetapi, ada pula pandangan masyarakat yang menganggap kampanye ini melanggar norma sosial dan tidak benar.

Yang jadi masalah, menurut Molders, kampanye tidak hormat ini tidak hanya berpengaruh pada target saja, tetapi juga pada orang-orang lain di sekitarnya. Dalam konteks politik, perilaku tidak hormat ini akan berdampak hingga ke beberapa aspek.

Gaya komunikasi tidak hormat ini misalnya bisa merusak reputasi orang yang mengeluarkan pernyataan. Selain itu, gaya tersebut dapat menurunkan kesukaan publik kepadanya. Hal ini juga dapat mengurangi pengaruh positif kepada audiens. Semua hal itu terjadi karena gaya komunikasi tidak hormat dianggap tidak sesuai dengan norma sosial saat berinteraksi dengan manusia.

Berdasarkan kondisi tersebut, saat Ma’ruf menggunakan istilah buta dan budeg, ada dampak politik yang cukup besar. Kesukaan publik kepadanya bisa saja berkurang akibat pernyataan tersebut. Ma’ruf dapat dipandang sebagai orang yang melanggar norma sosial yang ada di masyarakat.

Secara khusus, mungkin saja benar Ma’ruf tidak bermaksud merendahkan kaum difabel. Akan tetapi, sebagaimana disebut oleh Molders, pernyataan tidak hormat ini dapat berpengaruh pada orang-orang di sekitarnya. Pada titik ini, sang kiai berpotensi mengalami penurunan pemilih dari kaum difabel, tetapi juga dari orang-orang di sekitar kaum difabel itu sendiri, misalnya keluarga atau kerabat orang-orang tersebut.

Oleh karena itu, petaka isu disabilitas bagi Ma’ruf boleh jadi tidak bersumber dari keterpilihan pada massa kaum disabilitas saja. Jumlah kaum tersebut yang sedikit, mungkin tidak akan berdampak signifikan. Akan tetapi, sikap tidak hormat berpotensi ini bisa berdampak lebih luas ke orang-orang lain, sehingga kesukaan publik kepada sang kiai dapat menurun.

Meninjau Kampanye Sang Kiai

Dikarenakan pernyataan tersebut dapat dikategorikan sebagai kampanye tidak hormat, maka langkah Ma’ruf untuk meminta maaf boleh jadi adalah hal yang bijak. Jika isu tersebut dibiarkan liar, Ma’ruf bisa saja dianggap sebagai sosok yang tidak hormat kepada para penyandang disabilitas.

Terlepas dari permintaan maafnya, sikap tidak hormat dan tidak sensitif Ma’ruf ini membuat banyak orang mempertanyakan gaya kampanye dan komunikasi cawapres Jokowi tersebut. Pasalnya, bukan kali ini saja sang kiai membuat polemik di masyarakat.

Sebelum bikin geger dengan pernyataan tidak sensitif kaum difabel, Ma’ruf sempat membuat heboh dengan pernyataannya tentang peluncuran mobil Esemka. Hingga saat ini, pernyataan tersebut masih belum terbukti kebenarannya dan terus menjadi bahan gorengan buzzer kubu seberang.

Berdasarkan kondisi tersebut, evaluasi terhadap gaya kampanye sang kiai idealnya menjadi salah satu agenda penting bagi kamp pemenangan Jokowi-Ma’ruf. Bukan tidak mungkin ia akan keluar dengan pernyataan kontroversial lainnya. Lebih buruk, kampanye tidak hormat serupa dengan buta dan budeg ini atau dengan istilah lain bisa saja muncul kembali.

Kondisi tersebut terkait dengan pernyataan dari Jesper Strömbäck dan Spiro Kiousis yang menyebutkan bahwa kampanye Pemilu tidak lain hanyalah komunikasi politik. Berdasarkan pernyataan tersebut, kegagalan melakukan komunikasi politik boleh jadi berarti kegagalan kampanye itu sendiri. Kampanye tidak hormat yang tidak sensitif isu disabilitas bisa saja menjadi awal dari kegagalan tersebut.

Ma’ruf dan tim pemenangannya mungkin harus mencari cara agar gaya komunikasi tidak hormat itu tidak muncul lagi, apalagi jika berpotensi merendahkan kaum termarjinalisasi. Waktu kampanye masih cukup panjang, jadi mereka bisa saja masih punya waktu untuk tidak lagi membuat pernyataan serupa buta dan budeg. (H33)

Exit mobile version