Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf-Sandi, Estafet Anak Muda

Sandi-Ma’ruf, Estafet Anak Muda

Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno bersalaman usai Debat Cawapres 2019. (Foto: Tirto)

Minggu malam kemarin, Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno saling berhadapan dalam rangkaian Debat Ketiga Pilpres 2019 dengan tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial & kebudayaan.


PinterPolitik.com

“There has never been a boy painter, nor can there be. The art requires a long apprenticeship, being mechanical, as well as intellectual.” – John Constable, seniman dan pelukis AS

[dropcap]D[/dropcap]alam debat yang dipandu oleh moderator Alfito Deannova dan Putri Ayuningtyas tersebut, Ma’ruf dan Sandi memulainya dengan mengajukan visi dan misi dari masing-masing kandidat. Kedua pihak pun mengajukan visi dan misi yang cukup berbeda.

Ma’ruf dalam visi dan misinya lebih menekankan pada kelanjutan program dan kebijakan yang telah dilakukan oleh petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di sisi lain, Sandi lebih menekankan pada penjabaran rencana program-program yang didasarkan pada pengalamannya keliling ke berbagai wilayah Indonesia.

Keduanya pun memiliki perbedaan arah kebijakan yang cukup mencolok, salah satunya dalam isu ketenagakerjaan dan pengangguran di Indonesia. Ma’ruf mengusulkan program-program pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan melalui pelatihan kerja dan kursus. Sementara Sandi lebih berfokus pada penyaluran kesempatan kerja melalui Rumah Siap Kerja bagi tenaga kerja muda, terutama lulusan-lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ironisnya – menurut Sandi – salah satu bagian terbesar dari kelompok yang menganggur tersebut.

Baik Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi masih perlu mengajukan rencana kebijakan detil yang dapat menyelesaikan permasalahan pengangguran dalam jangka panjang. Share on X

Perbedaan arah kebijakan dalam menangani pengangguran ini pun memunculkan pertanyaan mengenai pengaruhnya pada dinamika perolehan suara dalam Pilpres 2019.

Menjelang pemungutan suara nanti, pemilih mengambang (undecided voters) disebut-sebut sebagai penentu hasil akhir dan menariknya, sebagian besar berada pada kelompok usia muda.

Empat puluh lima persen pemilik suara dalam Pemilu 2019 berada pada rentang usia 17-36 tahun. Artinya, isu-isu seperti pendidikan dan ketenagakerjaan yang sering menjadi persoalan kelompok muda bisa jadi berpengaruh besar pada dinamika pemilih mengambang dalam Pilpres 2019.

Jika demikian, rencana kebijakan manakah yang lebih sesuai dengan persoalan pengangguran? Lalu, apakah narasi Debat Cawapres pada Minggu malam kemarin dapat memengaruhi kecenderungan pemilih muda?

Tantangan Kaum Muda

Dengan melihat fenomena pemilih mengambang, Debat Cawapres bisa jadi memiliki pengaruh terhadap preferensi dan kecenderungan para pemilih tersebut. Apalagi, terdapat juga kesesuaian isu antara tema Debat Cawapres kemarin dan isu yang berdampak bagi pemilih muda.

Mitchell S. McKinney dari University of Missouri, Colombia dan Diana B. Carlin dari University of Kansas dalam tulisannya pada Handbook of Political Communication Research menjelaskan bahwa debat elektoral yang disiarkan di televisi memiliki beberapa dampak terhadap preferensi pemilih, yaitu perilaku pemilih, dampak kognitif, evaluasi citra kandidat, dan dampak laten.

Terkait dampak debat elektoral terhadap perilaku pemilih, McKinney dan Carlin menambahkan bahwa pengaruh debat bisa mengubah kecenderungan pemilih mengambang.

Bila mencoba melihat kembali pada isu ketenagakerjaan dalam diskursus Pilpres 2019, kelompok muda memiliki tantangan yang cukup besar dalam beberapa dekade mendatang. Di tengah-tengah transisi demografi dan bertambahnya jumlah penduduk usia kerja, kelompok muda Indonesia semakin terhimpit antara ekspektasi pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia.

Ekonom Dradjad Wibowo dengan konsep dari risetnya terkait rasio penciptaan kerja, menjelaskan bahwa tingkat kesempatan kerja masih terbatas meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran lima hingga enam persen. Dradjad juga menambahkan bawah kemampuan ekonomi Indonesia untuk menciptakan pekerjaan masih di bawah normal.

Tingkat pengangguran di Indonesia pun sebagian besar didominasi oleh kelompok muda. Data per Februari 2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah pengangguran pada rentang usia 17-34 tahun berada pada angka 5.438.939 dari 6.871.264 pengangguran atau mencapai 79 persen. Kelompok milenial sendiri, yaitu rentang usia 20-34 tahun, mendominasi pengangguran di Indonesia sebesar 62 persen dengan jumlah mencapai 4.314.390.

Berangkat dari fakta adanya persoalan pengangguran di kalangan muda, sangat mungkin output Debat Cawapres kemarin dapat memengaruhi kecenderungan pemilih-pemilih mengambang yang didominasi oleh kelompok milenial dan generasi Z tersebut.

Apabila kita melihat kembali konten Debat Cawapres kemarin, kita dapat membandingkan dua perbedaan fokus kebijakan antara Ma’ruf dan Sandi. Ma’ruf mengusulkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan keterampilan kerja melalui pelatihan, sedangkan Sandi berfokus pada kebijakan yang menghubungkan kecakapan tenaga kerja dengan kesempatan kerja yang tersedia melalui Rumah Siap Kerja.

Pelatihan kerja yang diajukan Ma’ruf merupakan skema dari Kartu Pra-Kerja yang diberikan kepada pencari kerja. Kartu Pra-Kerja Jokowi-Ma’ruf menyalurkan kesempatan pelatihan magang bagi pencari kerja di perusahaan. Setelah pelatihan berakhir, pemilik kartu tersebut akan mencari kerja kembali dan diberikan subsidi sebesar Rp 1 juta hingga mendapatkan penghasilan yang tetap.

Di sisi lain, Rumah Siap Kerja yang diusulkan oleh Sandi merupakan pusat pelayanan di mana para pencari kerja dapat memperoleh informasi lowongan pekerjaan dan beasiswa, bimbingan karir dan beasiswa, pelatihan-pelatihan minat dan bakat, dan keadaan pasar kerja terkini. Pelatihan-pelatihan di Rumah Siap Kerja juga meliputi kewirausahaan dan keterampilan yang terkait, seperti teknik menjadi barista kopi, teknik pengemasan produk makanan, dan teknik pemasaran melalui media sosial. Sandi pun juga menawarkan konsep link-and-match yang ditujukan untuk menghubungkan permintaan pasar kerja dengan kesiapan kompetensi pekerja sejak di sekolah.

Dari dua usulan program tersebut, perlu kita tilik kembali persoalan pengangguran di kalangan muda guna mengetahui sejauh mana usulan-usulan solusi tersebut dapat berdampak.

Berdasarkan data dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), laju penurunan pengangguran melambat sejak tahun 2012 akibat kenaikan jumlah pengangguran pada kelompok angkatan kerja lulusan SMK dan perguruan tinggi (PT). Hasil yang kontras pun terlihat pada jumlah pengangguran kelompok angkatan kerja lulusan SD, SMP, dan SMA yang ternyata menurun.

Lantas, mengapa pengangguran tetap meningkat pada kelompok lulusan SMK dan PT? Nyatanya suplai tenaga kerja dengan latar belakang SMK dan PT disebut tidak dapat memenuhi permintaan pasar kerja meskipun telah dibekali oleh keterampilan khusus.

Berkaitan dengan permintaan pasar kerja, kelompok muda juga mendapatkan ancaman lain yang memungkinkan terjadinya pengurangan permintaan tenaga kerja dari perusahaan, yaitu tren otomatisasi – penggunaan mesin/robot sebagai pengganti manusia – di berbagai industri di banyak negara.

Studi dari International Labour Organization (ILO) menjelaskan bahwa 56 persen pekerjaan di Asia Tenggara terancam tergantikan oleh otomatisasi dalam dua dekade mendatang. Di Indonesia sendiri, 64 persen pekerja industri garmen dan tekstil terancam otomatisasi.

Saat ini pun, tren otomatisasi mulai terjadi di Indonesia. Massimo Grosso Geloso, kepala perwakilan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Jakarta, menjelaskan bahwa 9 persen lapangan pekerjaan telah tergantikan oleh otomatisasi.

Keterampilan Sekaligus Kesempatan?

Jika kita berbicara mengenai keterampilan, lulusan SMK dan PT telah memiliki keterampilan dan skill yang telah dipelajari sesuai dengan bidang khusus masing-masing. Artinya, kebijakan yang berfokus pada keterampilan kerja tidak akan memberi dampak besar pada jumlah pengangguran di Indonesia ke depannya.

Bila melihat kembali pada program pelatihan kerja Jokowi-Ma’ruf, pelaksanaannya pun belum jelas secara detil. Implikasi dari pelatihan kerja kemungkinan dapat mengarah pada dua hal, yaitu untuk menggeser keterampilan lulusan SMK dan PT agar dapat sesuai dengan permintaan pasar kerja atau hanya akan menjadi kebijakan yang tidak efisien karena kesempatan kerja nyatanya tetap tidak tersedia.

Bila pelatihan kerja yang diusung Jokowi-Ma’ruf memang bertujuan untuk menggeser keterampilan khusus bagi lulusan SMK dan PT, tentu hal tersebut akan menjadi tidak populer bagi pemilih mengambang muda dengan permasalahan pengangguran. Pelatihan kerja terkesan seperti mengulang sekolah lagi dan akan memerlukan tambahan waktu lagi – dan mungkin juga biaya – agar lulusan-lulusan ini dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai.

Lalu, apakah Rumah Siap Kerja yang diusung Prabowo-Sandiaga dapat mendukung penyelesaian permasalahan pengangguran di Indonesia?

Program tersebut mungkin dapat membantu pencari kerja untuk menemukan pekerjaan yang sesuai atau melahirkan lapangan pekerjaan baru dengan berwirausaha. Namun, penurunan pengangguran belum bisa dipastikan terjadi secara signifikan karena tentunya terdapat banyak faktor lain yang dapat memengaruhi kesulitan lulusan SMK dan PT dalam menemukan kesempatan kerja yang sesuai, misalnya karena menjadi wirausaha juga bukanlah hal yang mudah meski berketerampilan unik.

Walapun demikian, untuk saat ini, kebijakan Rumah Siap Kerja yang digaungkan oleh Prabowo-Sandi mungkin lebih memiliki resonansi dengan persoalan yang dihadapi oleh pemilih muda. Namun, baik Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi masih perlu mengajukan rencana kebijakan detil yang dapat menyelesaikan permasalahan pengangguran dalam jangka panjang.

Mungkin, kedua pasangan capres-cawapres perlu mencoba solusi yang telah digunakan Jerman, yaitu  dual apprenticeship (program magang ganda). Program magang model Jerman yang mulai ditiru oleh Amerika Serikat (AS) ini dilakukan dengan pelatihan vokasional yang menyesuaikan kebutuhan perusahaan dengan menambahkan rangkaian dari berbagai keterampilan terkait otomatisasi. Peserta pelatihan tersebut pun dibayar dalam masa pelatihan dan, ketika program selesai, diberikan sertifikat dan tawaran pekerjaan tetap di perusahaan tersebut.

Model kebijakan ini dianggap berhasil dalam menurunkan pengangguran kelompok muda di Jerman. Bahkan, Jerman menjadi salah satu negara dengan tingkat pengangguran kaum muda yang terendah di dunia. Kebutuhan tenaga kerja yang sesuai dengan permintaan pasar dianggap terpenuhi melalui pelatihan kerja dalam program magang ganda.

Apakah model magang ini yang dimaksud dengan pelatihan kerja yang diusung Ma’ruf? Ataukah model magang ini juga yang dimaksud dengan kolaborasi link-and-match – menghubungkan lulusan dengan lapangan kerja – yang diajukan Sandi?

Keduanya pun tidak menjelaskan secara rinci mengenai bagaimana rencana-rencana kebijakan tersebut dapat menyeselesaikan persoalan pengangguran. Yang jelas, ancaman pengangguran bagi kelompok muda akan semakin besar dan hal ini mungkin masih luput dari fokus utama kedua pasangan capres-cawapres Pilpres 2019. Pilihan kawan-kawan muda nantinya pun akan kembali ke preferensi masing-masing. (A43)

Exit mobile version