Seri pemikiran Fareed Zakaria #15
Presiden Joko Widodo (Jokowi) diagendakan berpidato untuk pertama kalinya di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-75 pada tengah pekan ini, di mana salah satunya akan membahas penanganan pandemi Covid-19. Lantas, apakah signifikansi pidato perdana Presiden Jokowi tersebut bagi Indonesia?
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan panggung monumental bagi para pemimpin dunia dalam berinteraksi, berbagi, dan menyampaikan perspektif atas berbagai tantangan global kekinian.
Khusus pada tahun ini yang juga bertepatan dengan peringatan 75 tahun berdirinya organisasi multilateral negara-negara sejagad, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya “turun gunung” untuk berpidato pada agenda Sidang Umum yang dijadwalkan berlangsung secara virtual pada 23 September lusa.
Tentu menjadi pertanyaan tersendiri mengapa Presiden Jokowi pada akhirnya tampil secara personal untuk merepresentasikan Indonesia jika mengacu pada fakta bahwa eks Gubernur DKI Jakarta tersebut tak pernah nongol sekalipun di agenda Sidang Umum yang diselenggarakan PBB sebelumnya?
Berdasarkan dokumentasi yang dihimpun PBB, mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) merupakan satu-satunya nama yang muncul sebagai perwakilan Indonesia yang berbicara di sepanjang lima agenda Sidang Umum yang berlangsung sejak Jokowi memimpin republik.
Meski tak secara spesifik menyebutkan mengapa, peneliti Lowy Institute Benjamin Bland dalam karya menarik terkininya berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia, mengatakan bahwa absennya Presiden Jokowi dalam setiap Sidang Umum PBB mengindikasikan bahwa sang RI 1 memiliki sedikit minat atau perhatian terhadap pertunjukan diplomatik.
Bertitik-tolak dari dua poin tersebut, tampilnya Jokowi pada agenda PBB tersebut tampaknya bukan hanya sebatas momentum “cantik” 75 tahun usia republik yang serupa dengan hari jadi PBB.
Salah satu kemungkinannya dinilai terkait dengan tiadanya lagi simbol eksekutif tertinggi negara yang dapat didelegasikan kepala negara, yang bersifat representatif dan relevan pada panggung global seperti Jusuf Kalla.
Wapres Ma’ruf Amin memang bukanlah sosok sembarangan dan kalibernya pun tak bisa dipandang sebelah mata. Akan tetapi, kiprah Wapres sejauh ini agaknya membuat publik pun tentu dapat menilai dengan objektif garis pembeda antara JK dan Ma’ruf yang dinilai turut membuat Presiden Jokowi akhirnya berinisiatif tampil di PBB.
Selain itu, Presiden Jokowi juga tampaknya lebih senang tampil secara langsung pada forum internasional bergenre ekonomi yang mendukung visi politik domestiknya, seperti pidato internasional pertama presiden kala Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC November 2014, sejumlah KTT G20, ataupun pada pertemuan tahunan IMF-World Bank pada 2018.
Lalu, mengapa pidato Presiden Jokowi pada Sidang Umum PBB esok lusa menjadi penting? Serta apakah yang mungkin sang RI 1 akan tunjukkan sekaligus refleksikan dari debutnya tersebut?
Pergaulan Baru, Ubah Paradigma?
Apapun alasannya, yang jelas Presiden Jokowi telah membuat satu langkah berbeda atas inisiatif pidatonya di Sidang Umum PBB yang diharapkan tak hanya menunjukkan sikap Indonesia di mata internasinoal, tetapi juga dapat menjadi refleksi positif secara konkret pada kebijakan domestik atas interaksinya pada pertemuan monumental itu.
Apalagi, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi telah memastikan bahwa konteks pidato Presiden ialah mengenai pandemi Covid-19 yang notabene konteks tersebut juga sedang dalam titik kritisnya di dalam negeri.
Pemaknaan dari momen orasi pertama seorang kepala negara di PBB diamati oleh Fareed Zakaria dalam The Global Public Square (GPS) CNN. Pada September 2017 silam, Zakaria menyoroti bagaimana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan sebuah pidato yang benar-benar merefleksikan tindak-tanduknya sampai sejauh ini.
Dengan isu global akan pentingnya kerja sama yang lebih kohesif kala itu, Trump justru dengan bangga mempromosikan America First dalam setiap kebijakannya, baik dalam maupun luar negeri. Sesuatu yang menjadi cikal bakal nasib Amerika dan kelak oleh Jeremy Konyndyk dikategorikan sebagai sebuah mentalitas exceptionalism seorang Trump.
Ya, definisi exceptionalism di mana di bawah kendali Trump, AS seolah tidak tertarik dengan cara negara lain bertingkah laku dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Termasuk pada konteks berbagai interaksi Trump di PBB sejak pidato pertamanya tiga tahun silam, serta berbagai kebijakan domestik yang dapat tercermin dari mentalitasnya itu.
Itulah mengapa gestur apapun yang tercermin dari debut Presiden Jokowi pada Sidang Umum PBB esok lusa dinilai dapat mendefinisikan dua hal, yakni karakteristik sang kepala negara, serta apa ihwal yang berpotensi diambil dari interaksinya di panggung monumental tersebut, khususnya bagi kebijakan dalam negeri.
Khusus dalam konteks pandemi Covid-19 yang tentu akan menjadi domain utama diskursus pada Sidang Umum PBB mendatang, sebuah tulisan terbaru Fareed Zakaria yang berjudul What Sets Apart Countries That Successfully Handled the Pandemic? Failure, mencoba menganalisa mengapa terdapat negara-negara yang sampai sejauh ini dapat menangani pagebluk dengan baik, sementara yang lain tidak.
Secara tersirat, Zakaria menyebut negara-negara yang setidaknya lebih baik dalam penanganan pandemi Covid-19 seperti Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Australia, Kanada, hingga Tiongkok dipimpin oleh sosok yang memiliki kemampuan adaptasi tantangan global yang brilian atau value of looking outward.
Tak hanya beradaptasi atas pengalaman pandemi SARS tahun 2003, negara-negara tersebut secara dinamis mempelajari keunggulan satu sama lain dan mengadopsinya secara cepat dalam kebijakan domestik masing-masing.
Sementara sebaliknya, dengan mengutip Antropolog Martha Lincoln, Zakaria menyebut negara seperti AS, Inggris, Brazil, hingga Chile justru enggan mencari dan menetapkan praktik-praktik terbaik dari negara lain dalam penanganan pandemi yang membuat pandemi bertransformasi menjadi bencana yang jauh lebih buruk.
Seperti yang disebutkan oleh Konyndyk, Zakaria pun menilai bahwa hal itu berpangkal dari mentalitas exceptionalism tiap negara dalam pendekatan filosofis penanganan pandemi Covid-19.
Oleh karenanya, menjadi penting kiranya untuk mengetahui karakteristik dan benefit seperti apa yang sesungguhnya Presiden Jokowi dapat rengkuh dalam pidato serta interaksinya pada Sidang Umum PBB mendatang, khususnya pada konteks penanganan pandemi di tanah air.
Saatnya Jokowi “Semakin” Sadar?
Bagaimanapun harus diakui, terdapat sejumlah presumsi yang menganggap bahwa sebuah pidato hanya bernuansa normatif belaka dan acapkali tak dipengaruhi dan berpengaruh pada definisi sosok dan perilakunya.
Namun, hal itu agaknya tak berlaku pada dimensi Sidang Umum PBB yang oleh Joshua Keating dalam tulisannya di Foreign Policy. Menurutnya, pemimpin-pemimpin negara mulai dari d Hugo Chavez, Mahmoud Ahmadinejad, hingga mendiang Muammar Qaddafi justru adalah sosok yang membuat makna dari sebuah pidato dan interaksi di New York yang dapat dipengaruhi dan berpengaruh dalam dinamika kebijakan dalam dan luar negerinya masing-masing.
Oleh karenanya, pidato yang disampaikan di Sidang Umum PBB dapat disebutkan pula sebagai bentuk refleksi atas karakter dan visi seorang pemimpin.
Lantas bagaimana dengan Presiden Jokowi?
Masih dalam Man of Contradiction, selain tak memiliki minat di platform multilateral seperti PBB, Bland menyebutkan bahwa selama ini Presiden Jokowi hanya antusias membuka kerja sama luar negeri yang memiliki keuntungan praktis terbesar demi kepentingan spesifik, yakni tujuan ekonomi domestiknya.
Selain itu, pada konteks berbeda, sejak awal pandemi menghantam tanah air, Presiden Jokowi cenderung mengedepankan strategi “kearifan lokal”, dibanding merefleksikan cara negara-negara yang menangani wabah dengan positif.
Namun dua kecenderungan itu tak lantas membuat eks Wali Kota Solo dapat dikatakan memiliki mentalitas exceptionalism seperti Trump di kancah global. Akan tetapi, tendensi tersebut tentu harus menjadi perhatian dan dihindari oleh Presiden Jokowi dalam debutnya esok lusa, terlebih konteks prioritas yang dikedepankan ialah mengenai pandemi Covid-19.
Seperti Zakaria sebutkan sebelumnya, Presiden Jokowi sebaiknya menekankan pentingnya value of looking outward dalam momentum pidato Sidang Umum PBB mendatang.
Tak hanya menyampaikan sikap Indonesia, tetapi juga sebagai refleksi filosofis dari keberhasilan negara-negara anggota PBB lain yang berhasil mengelola pandemi dengan baik.
Dengan kata lain, esensi pidato serta kehadirannya kelak juga dinilai akan menjadi salah satu tolok ukur kemungkinan kebijakan seperti apa yang akan diterapkan sekaligus diadopsi oleh Presiden Jokowi, mengingat kapasitas kekuatan medis yang kian kehabisan energi belakangan ini.
Yang jelas, debut PBB Presiden Jokowi diharapkan tidak sekadar normatif belaka tanpa ada adanya sikap, nilai, dan pelajaran yang dapat diambil dari inisiatifnya tersebut. Artinya substansi serta esensi konkret dari pidato itulah yang dinantikan oleh publik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.