Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf, High Sparrow Politik Fatwa

Ma’ruf, High Sparrow Politik Fatwa

Foto : Kompas.com

Calon wakil presiden nomor urut 02, Ma’ruf Amin kerap kali menggunakan dalil di setiap kesempatan tampil di muka publik. Yang terbaru, ia menyebut pembohong dan penyebar hoaks adalah calon penghuni neraka. Apa mungkin sang kiai akan selalu mengandalkan ayat-ayat suci untuk meraih kekuasaan?


PinterPolitik.com

“Together we announce a new age of harmony. A holy alliance between the Crown and the Faith” ~ High Sparrow, Game of Thrones

[dropcap]B[/dropcap]agi para penggemar serial Game of Thrones, pasti sudah tak asing lagi dengan tokoh yang terkenal dengan sebutan High Sparrow, yang menjadi pemimpin The Sparrows – sebuah lembaga religius yang muncul di  season 5 serial produksi HBO tersebut.

Dalam serial ini, High Sparrow berperan sebagai rohaniawan yang bisa dibilang cukup berpengaruh bagi perubahan peran agama dalam masyarakat di Kings Landing. Dikisahkan bahwa semenjak terbentuknya The Sparrows, kehidupan religius rakyat Kings Landing menjadi bergantung pada hukum agama yang dibuat olehnya.

Ma'ruf Amin makelar fatwa? Share on X

Bahkan High Sparrow jadi punya kuasa untuk menghukum sang Ratu Westeros, Cersei Lannister, atas tuduhan perzinahan dengan saudara kandungnya, Jaime Lannister.

Tak main-main, sang ratu pun akhirnya harus menjalani hukuman rajam dengan cara diarak telanjang dan dilempari batu oleh kerumunan rakyat Kings Landing.

Dari cerita tersebut, tergambar bahwa kuasa High Sparrow sebagai “polisi agama” di Kings Landing teramat besar dan berpengaruh.

Apa yang terjadi di Kings Landing nyatanya mirip dengan yang terjadi di Indonesia beberapa waktu belakangan, di mana agama memiliki kuasa dalam kehidupan sosial hingga politik jelang Pilpres 2019.

Dalam konteks politik, kemunculan para ulama dengan seruan politiknya kerap kali menjadi kunci bagi popularitas bahkan elektabilitas kandidat yang bersaing.

Salah satunya adalah Ma’ruf Amin yang dipercaya oleh pasangan duetnya, calon petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi calon wakil Presiden. Sang kiai diharapkan mampu berperan menjadi sosok High Sparrow, yang pesona agamanya bisa menggaet pemilih utamanya dikalangan muslim.

Belakangan, Ma’ruf Amin memang tak henti-hentinya menebar sensasi jelang hari pencoblosan yang semakin dekat.  Dalam kunjungannya ke Makassar, ia kembali menyinggung soal bahaya menyebarkan hoaks dan fitnah, serta menyebut orang yang tukang bohong sebagai calon penghuni neraka.

Pernyataan Ma’ruf tersebut cukup menarik di mana ia menggunakan pendasaran kitab suci dalam menanggapi adanya fenomena hoaks.

Cukup pantas memang Ma’ruf menggunakan narasi ayat suci mengingat statusnya adalah seorang kiai. Namun dalam politik, apakah fatwa sang kiai kini masih memiliki tuah kesaktian?

Ma’ruf Amin dan Ayat Suci

Ma’ruf Amin, sang kiai “raja” ayat suci. Mungkin begitulah gelar yang cocok disandang mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini. Dilansir dari berbagai pemberitaan, tercatat tak hanya sekali kiai asal Banten ini menggunakan “petuah langit” dalam setiap momentum pidato politiknya.

Sebut saja pada saat debat pertama Pilpres yang digelar beberapa waktu lalu. Kala itu, dalam menanggapi isu terorisme, Ma’ruf membawa nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengeluarkan fatwa bahwa terorisme bukanlah jihad.

Ia lalu mengutip terjemahan ayat Alquran dalam surat Al-Araf, yang berbunyi: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik“.

Ia juga pernah menyinggung ayat surat Al-Kafirun terkait dukungan di Pilpres 2019 dalam rangka menanggapi kehadiran Prabowo Subianto di acara Haul Kubro Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad atau Mbah Priok, di Jakarta Utara beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan itu ia berkata: “Lakum capresikum (bagimu capresmu), walana capresuna (bagi kami capres kami)” yang dikaitkan dengan ayat: “Lakum dinukum waliyadin, bagimu agamamu, bagi kami agama kami”.

Ia juga tak lupa mengutip ayat tentang polemik buta dan budek yang sempat menghebohkan jagat maya. Sang kiai menjelaskan pernyataannya yang menyebut bahwa orang yang tak bisa mengakui kinerja Presiden Jokowi sebagai ”orang buta” dan “orang budek”, sudah lazim digunakan dalam Alquran.

Ia mengutip surat Al-Baqarah ayat 18 yang berbunyi:  “Shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun“, yang berarti: “Mereka pekak, bisu, buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)”.

Sementara dalam kasus video ucapan selamat Natal beberapa waktu kemudian yang lagi-lagi menuai kontroversi, ia juga kembali berkilah bahwa apa yang diucapkannya adalah sah mengacu pada surat Al-Mumtahanah ayat 8 yang menyinggung tentang interaksi sosial.

Kini, dalam kunjungannya ke Makassar, ia menyinggung tukang bohong dan penyebar hoaks sebagai calon penghuni neraka. Ma’ruf juga menyebut bahwa salah satu sifat yang tercela adalah menyebarkan hoaks dan fitnah ke masyarakat.

Bahkan, meski seseorang tersebut memiliki niat yang baik, tetapi jalan yang ditempuhnya salah, maka hal itu juga tidak boleh.

Apa yang ditampilkan oleh Ma’ruf ini menunjukkan bahwa di Indonesia, peran agama, utamanya Islam, memang cukup krusial dalam politik. Oleh karenanya, ayat-ayat suci disebut masih menjadi senjata politik terbaik untuk power gaining atau meraih dukungan dan kekuasaan dengan konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

The Economist mencatat fenomena ini sebagai hal yang menguat di negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam.

Sementara dalam konteks Pilpres, tantangan terbesarnya adalah dengan adanya ulama di semua kubu yang bertarung, konteks perpecahan sangat mungkin terjadi.

Konteks penggunaan ayat untuk tujuan politik, hal ini juga bisa dilihat dalam kasus penistaan agama yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang berawal dari kepleset lidah ayat suci Al-Maidah ayat 51.

Kejadian tersebut menumbangkan kepemimpinannya di ibu kota dan bahkan menjebloskannya ke penjara selama hampir 2 tahun. Menariknya, Ma’ruf-lah salah satu tokoh yang ikut mempengaruhi berjalannya kasus ini.

Politik Fatwa Masih Sakti?

Apa yang disampaikan Ma’ruf Amin tentang pembohong yang masuk neraka sesungguhnya merupakan upaya sang kiai mempertontonkan kesalehan dalam ruang publik secara konsisten dengan harapan dapat memunculkan kesalehan sosial secara koletif.

Selain itu, dengan latar politisi, Ma’ruf juga berharap ada dampak bagi citranya dalam konteks politik elektoral.

Dalam konteks tersebut, jika melihat background sang kiai sebagai pimpinan MUI yang seringkali membuat dan mengeluarkan fatwa, serta posisinya sebagai mantan Rais Aam PBNU – ormas keagamaan independen terbesar di dunia – wajar jika narasi yang dikuasai Ma’ruf adalah narasi agama.

Oleh karenanya, gaya politik Ma’ruf Amin dalam gelaran Pilpres kali ini cenderung mempolitisir ayat-ayat Alquran melalui berbagai pernyataan yang mirip-mirip dengan fatwa.

Jeremy Menchik, profesor politik dari Boston University mengatakan bahwa narasi agama yang terbalut dalam apa yang disebut “fatwa” – yang memiliki otoritas yang pada kadar tertentu – dapat digunakan sebagai alat politik.

Lebih spesifik, dalam tulisannya yang berjudul The Politization of Fatwa, ia menyebutkan bahwa otoritas politik fatwa memang bukan perkara yang main-main dalam politik.

Dalam konteks politik Indonesia, Menchik mencontohkan bagaimana MUI sebagai  lembaga keagamaan memiliki kuasa menggunakan fatwa dalam merespon berbagai persoalan sosial politik.

Bahkan sejak 2005, otoritas fatwa yang dikeluarkan MUI memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik dan mempengaruhi beberapa kebijakan pemerintah, seperti hukum penistaan agama, pluralisme, hak minoritas, hingga pornografi.

Fatwa sendiri merupakan sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang ahli agama Islam atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap suatu keadaan atau pun kondisi.

Dari pengertian tersebut, sesungguhnya fatwa bukan hanya persoalan hukum Islam semata yang dikeluarkan oleh otoritas keagamaan, tapi juga seruan-seruan dari ulama yang berlandaskan pada penggunaan dalil-dalil agama yang bersumber dari kitab suci. Dalam konteks Islam, bisa bersumber dari Alquran dan Al-Hadist.

Lalu masihkan dalil Ma’ruf Amin sakti? Jawabannya sepertinya tidak akan mudah.

Pasalnya sosok Ma’ruf Amin selama ini secara politik tak cukup populer di kalangan pemilih. Hal ini terlihat dari beberapa hasil survei elektabilitas yang menyebutkan bahwa keberadaan sang kiai justru tak begitu memberi dampak elektoral bagi pasangan duetnya, Jokowi.

Hal ini dapat terjadi karena sosok Jokowi dipandang sebagai seorang nasionalis dan ada di kutub politik yang berseberangan dengan sikap-sikap Ma’ruf, termasuk lewat sejarah fatwa-fatwa sang kiai.

Pada survei yang dirilis LSI Dennny JA misalnya, suara Jokowi malah mengalami penurunan sebanyak 1,4 persen setelah dipasangkan dengan Ma’ruf Amin.

Oleh karenanya meskipun tidak dapat dipungkiri statusnya sebagai seorang ulama besar, mungkin saja kini sang kiai tengah kehilangan kharismanya sebagai seorang ulama.

Menurut Menchik yang mengutip teori otoritas Max Weber, kharisma adalah salah satu elemen penting yang harus dimiliki seorang ulama ataupun otoritas agama jika fatwa yang dikeluarkan ingin diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat.

Dalam konteks Ma’ruf Amin, kharismanya sebagai seorang kiai dapat dikatakan telah luntur karena ia kini dicap sebagai ulama politisi. Jejak karir perpolitikan Ma’ruf memang menunjukkan bahwa ia merupakan sosok politisi yang cukup oportunis yang oleh Shannon Teoh dalam tulisannya di The Straits Time disebut sebagai political chameleon atau politisi bunglon, termasuk dalam sikap politiknya terhadap kalangan minoritas.

Menurut laporan Human Rights Watch (HRW) Indonesia,  Ma’ruf adalah arsitek di balik beberapa fatwa yang berbau intoleran terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti beberapa penganut aliran maupun kelompok seksual minoritas.

Sehingga, apa yang disampaikannya di berbagai kesempatan pidato politik maupun pernyataan pers dengan mengutip ayat Alquran sesungguhnya tak mencerminkan kesalehannya sebagai ulama, tapi justru sebagai politisi.

Mungkin petuah langit Ma’ruf Amin hanya berdampak di lingkungan pengikutnya saja. Apalagi dalam konteks penyebaran hoaks di Indonesia, hasil riset DailySocial.id saja menunjukkan bahwa 44 persen masyarakat Indonesia tidak bisa mendeteksi hoaks yang banyak disebarkan lewat media sosial. Bisa disimpulkan, ancaman api neraka saja tak cukup menghentikan hoaks beredar di masyarakat.

Pada akhirnya, politisasi fatwa ala Ma’ruf Amin sesungguhnya sangat beresiko bagi petahana Jokowi menjelang Pilpres kali ini. Hal ini juga menyangkut kapabilitasnya sebagai cawapres dan sebagai negarawan.

Idealnya sang kiai tidak melulu mempertontonkan kesalehan sosial dan fokus pada hal-hal yang lebih strategis, misalnya saja dalam konteks kebijakan publik yang didasarkan pada kajian ilmiah. Jika begini, Jokowi bisa saja ditinggalkan oleh para rational voters yang tidak mendasarkan pilihan politik pada fanatisme agama.

Karena politik merupakan seni untuk mempengaruhi dan memobilisasi baik melalui tindakan maupun retorika, maka Ma’ruf sang High Sparrow tak bisa hanya mengandalkan fatwa dan dalil untuk bertahta di kursi RI 2. Menarik untuk ditunggu bagaimana kiprah sang High Sparrow itu di waktu mendatang. (M39)

Exit mobile version