Wacana pertemuan antara Wapres Ma’ruf Amin dengan Habib Rizieq Shihab mendapat sambutan positif. Akan tetapi, Jubir Wapres menegaskan belum ada agenda pertemuan tersebut. Lantas, apakah rencana pertemuan kedua tokoh akan urung terlaksana karena hambatan yang bersifat politis?
Sejak mengemuka pada akhir pekan lalu, wacana pertemuan antara Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin dan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi sesuatu yang diharapkan.
Rencana itu sendiri terlontar dari Juru Bicara (Jubir) Wapres, Masduki Baidlowi. Dirinya menyebut bahwa Ma’ruf terbuka atas gagasan pertemuan dengan Habib Rizieq. Ini setelah berbagai pihak, termasuk para pengamat politik melempar gagasan agar terjadi pertemuan antara kedua tokoh secara empat mata untuk membahas persoalan bangsa.
Gagasan tersebut dinilai cukup positif sebagai respons atas dinamika dan kegaduhan yang berkembang belakangan ini dan melibatkan HRS. Ekspektasi untuk meredam hiruk pikuk narasi yang saling silang pun seketika menyeruak.
Kemarin, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, misalnya, menilai bahwa jika dapat berlangsung, pertemuan itu adalah langkah yang baik. Mu’ti juga mendorong agar persoalan yang saat ini mengemuka sebaiknya diselesaikan secara dialog dan musyawarah.
Sementara ihwal senada diutarakan Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, yang mengatakan bahwa pertemuan RI-2 dan HRS sangat penting untuk menguatkan NKRI, plus agar bersama-sama dapat fokus menangani pandemi Covid-19.
Politisi PKS itu berharap pertemuan dua tokoh besar tersebut bisa melahirkan kebaikan. Peran Ma’ruf Amin sebagai Wapres sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebutnya bisa dijadikan sebagai penengah terkait polemik antara FPI dengan TNI saat ini.
Akan tetapi, pertemuan itu agaknya sulit terlaksana dalam waktu dekat ketika Jubir Wapres menegaskan jika Wapres belum memiliki rencana, agenda, maupun inisiatif untuk bertemu Imam Besar FPI.
Lantas, di balik narasi yang mengiringi wacana pertemuan itu sendiri, mengapa Ma’ruf Amin dianggap menjadi sosok yang pada konteks polemik HRS menjadi penting? Selain itu, apakah penegasan dari Jubir Wapres mengindikasikan adanya latar belakang politis dari kemungkinan terhalangnya pertemuan kedua tokoh?
Ma’ruf Paling Mengerti HRS?
Walaupun berada di kubu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang seringkali dikritisi Habib Rizieq, Ma’ruf Amin tampaknya menjadi satu-satunya sosok yang bisa berada dalam satu frekuensi dengan sang Imam Besar FPI.
Selain karakteristik inheren sebagai seorang ulama besar yang disegani, Ma’ruf Amin dinilai juga memiliki garis perjuangan yang serupa namun tak sama dengan HRS dalam sejumlah isu. Mengingat keduanya juga cukup lantang dan prominen dalam diskursus mengenai berbagai konteks politik nasional.
Menurut Greg Fealy, seorang Indonesianis dari Australian National University, Ma’ruf Amin adalah ulama paling kuat dan berpengaruh seantero negeri. Dalam Ma’ruf Amin: Jokowi’s Islamic defender or deadweight?, Ia menyebut bahwa Ma’ruf merupakan political ulama atau ulama politik, yang juga malang melintang pada sejumlah posisi penting di Nahdlatul Ulama (NU) maupun MUI.
Secara organisasi, kedua entitas tersebut tak jarang memiliki pandangan yang berbeda pada sejumlah kasus maupun isu.
Selain itu, Ma’ruf, di satu sisi memiliki paradigma Islam moderat yang identik dengan NU. Namun pada sisi berbeda, beliau juga dinilai merupakan sosok konservatif, yang sempat ditunjukkannya pada kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tahun 2016 silam.
Disitulah letak kekuatan dan pengaruh dari seorang Ma’ruf Amin. Sosok political ulama yang dapat masuk ke dua segmen berbeda, yakni konservatif serta moderat, dengan tetap mendapat respect yang tinggi.
Dari kekuatan itu, tampaknya dapat sedikit tersingkap benang merah dari urgensi pertemuan Ma’ruf dan Habib Rizieq yang menjadi begitu diharapkan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kasus “terpeleset lidah” Ahok dianggap menjadi momentum sinergi yang lebih erat bagi kedua tokoh.
Ma’ruf mewakili MUI, sementara Habib Rizieq mewakili FPI, sama-sama tak tinggal diam dan merapatkan barisan ketika mungkin menganggap terdapat common enemy yang disebut menodai nilai Islam.Baca Juga :Joko Widodo and the Order of The Government
Dalam keterangannya di pengadilan Ahok, Ma’ruf menguak hubungannya dan peran Habib Rizieq sebagai salah satu ahli MUI untuk membahas dan meneliti ucapan Ahok yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51.
Dari situ kemudian lahirlah sikap dan pendapat keagamaan MUI yang menyimpulkan bahwa ucapan Ahok mengandung penghinaan terhadap agama dan ulama, sekaligus secara tidak langsung mengimpresikan soliditas kedua tokoh.
Akan tetapi di luar kasus Ahok sendiri, Ma’ruf Amin dalam sebuah wawancara sebelum Pilpres 2019 menjelaskan bagaimana dirinya begitu mengenal Habib Rizieq. Eks anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu juga menyebut tidak pernah secara pribadi berbenturan dengan HRS.
Bahkan HRS dikatakan sempat mendukung dirinya dalam sikap membela Palestina yang diungkapkan secara langsung oleh Imam Besar FPI itu dari Arab Saudi. Meski memiliki tarekat atau metode berpikir yang berbeda, perjuangan keduanya Ia sebut tak jauh berbeda.
Hal ini diafirmasi pula dari sisi Habib Rizieq saat Sekretaris Umum DPP FPI, Munarman, yang mengatakan bahwa selama ini Habib Rizieq dengan Ma’ruf Amin memang kerap memiliki pandangan yang sama, bahkan saling bekerjasama.
Oleh karenanya, menjadi logis ketika harapan mengemuka bagi Ma’ruf Amin – yang merupakan perwakilan pemerintah – untuk dapat menunjukkan impresi pendekatan yang lebih sejuk dengan wacana pertemuannya dengan Habib Rizieq, di tengah dinamika, ketegangan, dan kegaduhan yang ada saat ini.
Tetapi jika dilihat pada elevasi berbeda bahwa pemerintah memiliki opsi pendekatan yang lebih tak membuat kegaduhan dalam menyikapi Habib Rizieq beserta polemiknya, mengapa pemerintah justru memilih pendekatan yang “keras”?
Konfrontasi Demi Kepentingan?
Ben Stanley dalam Confrontation by Default and Confrontation by Design mengatakan bahwa penggunaan strategy of confrontation atau pendekatan yang bersifat konfrontatif dapat menjadi satu-satunya jalan yang masuk akal secara politik sebagai default response terhadap aktor-aktor tertentu.
Seperti yang telah diketahui, perkara kerumunan massa plus polemik baliho Habib Rizieq dianggap mempertontonkan penggunaan pendekatan yang cukup keras dan cenderung konfrontatif dari pemerintah. Justifikasi penegakan aturan bahkan menjadi pengejawantahan turun gunungnya militer untuk turut terlibat mengatasi persoalan.
Ketika opsi yang lebih konstruktif seperti pertemuan antara Ma’ruf Amin dan HRS eksis, menjadi pertanyaan tersendiri ketika justru pemerintah melakukan pendekatan konfrontatif seperti yang dikemukakan Stanley.
Kiranya terdapat sejumlah probabilitas yang meliputi persoalan tersebut. Pertama, pemerintah dalam hal ini koalisi politik Presiden Jokowi kemungkinan memang ingin meredam sejak awal potensi tekanan yang bisa saja terbentuk dari narasi kritik yang secara berangsur-angsur dibangun Habib Rizieq.
Gejala yang menyiratkannya adalah, Presiden Jokowi sampai saat ini masih bungkam dan tak memberikan respons apapun pada polemik HRS, kerumunan massa, dan baliho secara langsung.
Ini yang juga disayangkan oleh pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, yang menilai suara Presiden Jokowi sesungguhnya sangat vital di tengah kegaduhan dan silang interpretasi saat ini.
Kedua, militer tampaknya juga sedang ingin menunjukkan sesuatu di atas “panggung” saat ini. Pada konteks baliho, pengamat militer Aris Santoso menilai bahwa TNI melakukan itu untuk menunjukkan bahwa HRS hanya sipil biasa.
Aris menilai jika Polri menganggap HRS “mahal” dengan memecat dua Kapolda. TNI tak menginginkan dan berlaku demikian. Selain itu, Aris berspekulasi bahwa hal tersebut juga merupakan “upaya pembersihan diri” sebab pendirian FPI didukung TNI AD melalui Wiranto di penghujung 90-an.
Ihwal ketiga, kemungkinan secara internal NU, tak ingin ada impresi bahwa Ma’ruf Amin “mendukung” Habib Rizieq. Hal ini mengingat sejumlah pihak di internal NU – yang notabene termasuk trah pendiri NU – dan mendukung HRS, juga lantang bersuara kritis kepada struktural NU yang dianggap melenceng dari marwah penghindaran politik praktis.
Probabilitas terakhir atas mengedepankan pendekatan konfrontatif dibandingkan opsi konstruktif seperti pertemuan Ma’ruf dan HRS ialah, kemungkinan adanya pihak yang memang menginginkan kegaduhan ini terpelihara untuk menutupi ihwal tertentu.
Bagaimanapun, di titik ini pemetaan secara politik tersebut hanya sebatas kemungkinan. Masih terbuka bagi Presiden Jokowi, yang belum bersikap lebih lanjut, untuk menghadirkan reaksi yang meneduhkan kegaduhan.
Lalu, akankah respons Presiden Jokowi berupa sokongan bagi pertemuan Ma’ruf Amin dan Habib Rizieq dapat teraktualisasi? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.