Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf, Ban Serep (Tak) Terlupakan

Ma’ruf, Ban Serep (Tak) Terlupakan

Wakil Presiden Ma'ruf Amin (Foto: Warta Ekonomi)

Mar’uf Amin dikenal sebagai Wapres yang pasif karena jejak dan kinerjanya tidak terlalu terlihat di publik. Eksistensi Mar’uf yang ada dan tiada dianalogikan seperti ban serep yang muncul jika dibutuhkan oleh Jubir Wapres.  Jika selama ini aktivitas presidensial baik-baik saja tanpa Mar’uf, apakah Mar’uf Amin masih relevan?


PinterPolitik.com

Indonesia Political Opinion (IPO) merilis survei yang menunjukkan tingkat kepuasan publik antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin yang terlampau jomplang. Survei yang melibatkan 1.200 responden ini menunjukkan kepuasan publik terhadap Jokowi berada pada angka 56 persen, sedangkan Ma’ruf hanya 36 persen. 

Salah satu faktor penyebabnya adalah Ma’ruf yang dinilai jarang muncul di publik dan kurang berkontribusi dalam pembuatan kebijakan. Menanggapi hal tersebut, Ma’ruf mengatakan tidak ingin ada dua matahari, artinya Presiden memang sudah sewajarnya lebih menonjol daripada Wapres. 

Juru Bicara Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi mengatakan tidak ambil pusing dengan hasil survei IPO. Ia berpendapat terkadang survei hanya digunakan sebagai citra belaka.

Perihal Ma’ruf yang dinilai pasif, Masduki mengatakan setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Menurutnya, hal yang wajar jika tingkat kepuasan publik terhadap Presiden lebih tinggi daripada Wapres. Selain itu, Masduki menganalogikan posisi Ma’ruf sebagai Wapres seperti ban serep yang kadang digunakan dan tak digunakan. 

Pernyataan Masduki ini tentu menuai sorotan. Pasalnya, Masduki sebagai Juru Bicara Wapres menganalogikan orang kedua di pemerintah sebagai ban serep. Apakah mungkin pernyataan dari Masduki ini memiliki pesan tersirat? 

Filosofi Ban Serep dan Medium Bersuara

Tindakan Masduki dapat dikatakan cukup berani karena telah menyamai Wapres Ma’ruf dengan ban serep. Secara sekilas, ban serep sendiri cenderung tidak memiliki arti yang positif jika dibandingkan dengan ban utama yang mungkin dianggap lebih berguna. 

Secara filosofi, ban serep merupakan ban cadangan untuk ban utama. Ban serep jarang terlihat karena disimpan di bagian belakang mobil sampai akhirnya dibutuhkan. 

Filosofi ban serep sama halnya dengan posisi Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Dirasa-rasa Masduki menggunakan analogi yang tepat karena ban serep memang menggambarkan Ma’ruf yang jarang terlihat di publik. 

Baca Juga: Ada Agenda Penenggelaman Ma’ruf Amin?

Pada Agustus hingga Oktober 2020, misalnya, agenda Wapres didominasi oleh aktivitas rekaman video. Video tersebut beragam, seperti menyampaikan kata sambutan pada rapat antar lembaga, ucapan ulang tahun dan menjadi pembicara dalam berbagai acara universitas. Agenda kedua adalah menghadiri konferensi virtual dan agenda ketiga didominasi aktivitas rapat terbatas. 

Agenda Ma’ruf yang didominasi dengan aktivitas rekaman video sekiranya menunjukkan Ma’ruf tidak banyak aktif dalam kegiatan proses pembuatan keputusan dan kebijakan. Beberapa kali, Ma’ruf bahkan disebut tidak dilibatkan. Seperti ketika Ma’ruf tidak tahu-menahu soal penerbitan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 terkait investasi minuman keras (miras) karena tidak dilibatkan dalam penyusunannya. 

Ma’ruf yang jarang muncul selama setahun menjadi Wapres, semakin “hilang” pada masa pandemi. Terlihat pada siaran resmi Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) bahwa adanya kekosongan aktivitas Ma’ruf selama empat bulan, yakni pertengahan Juni hingga Agustus 2020. 

Ma’ruf mengatakan dirinya sudah bekerja sesuai mandat Presiden dan Wapres sudah selayaknya membantu kerja-kerja Presiden. Berangkat dari pernyataan itu, mungkin saja Presiden sebenarnya tidak terlalu membutuhkan bantuan Ma’ruf sehingga mengarahkannya bekerja kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial. Alhasil Presiden terlihat membatasi pergerakan Ma’ruf dalam memimpin dan berkontribusi dalam membuat keputusan. 

Mungkin saja istilah ban serep dari Masduki bukan hasil dari pemikiran Masduki itu sendiri, mengingat pernyataan itu terlalu kontroversial untuk dikatakan seorang jubir. Istilah ban serep bisa jadi muncul dari hasil refleksi Ma’ruf itu sendiri yang menginginkan dirinya untuk lebih sering muncul di publik dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.  

Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar memperkenalkan istilah “kontak sosial sekunder tak langsung” yang merupakan bagian dari kontak sosial. Kontak sosial sekunder tak langsung menjelaskan bahwa seseorang menggunakan pihak ketiga untuk menyampaikan suatu pesan. 

Menggunakan konsep dari Soekanto, bisa jadi Ma’ruf menggunakan Masduki untuk menyampaikan keluh kesahnya sebagai Wapres yang pergerakannya terbatas bagai ban serep. Analogi ban serep itu sendiri merupakan kritik yang cukup keras dalam menggambarkan Ma’ruf sebagai Wapres yang tidak banyak melakukan pekerjaan eksekutif.

Di beberapa kesempatan juga ketika dihadapkan pada pertanyaan keberadaan Ma’ruf Amin yang jarang muncul, Ma’ruf sering kali tidak menyangkalnya. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak menginginkan ada dua matahari dalam pemerintahan dan memang sudah sewajarnya Presiden lebih menonjol dari Wapres.

Jika pergerakan Ma’ruf sebagai Wapres dibatasi, maka apa fungsi Wapres saat ini di bawah pemerintahan Jokowi? Apakah absensi Ma’ruf dalam berbagai aktivitas presidensial menunjukkan eksistensinya tidak dibutuhkan? 

Ma’ruf Masih Relevan?

Walaupun ban serep secara sekilas terlihat kurang penting, namun keberadaannya tetap dibutuhkan. Meskipun Ma’ruf Amin terlihat kurang banyak berkontribusi dalam membuat keputusan publik dan kebijakan, namun eksistensinya tetap berkontribusi dalam politik. 

Fungsi Wapres bukan hanya melakukan pekerjaan eksekutif, seperti yang tertulis dalam konstitusi. Aryn Subhawong dalam tulisannya A Realistic Look at the Vice Presidencymengatakanwapres memiliki fungsi untuk memberikan saran kepada presiden, melakukan aktivitas eksekutif dan sebagainya. 

Namun, itu bukanlah fungsi utama dari wapres. Subhawong mengatakan tujuan utama dari wapres adalah memastikan orang yang tepat menjadi presiden dalam pemilu. 

Baca Juga: MUI Kritik SKB, Manuver Tersirat Ma’ruf Amin?

Berangkat dari Subhawong, Mar’uf Amin sebenarnya telah menjalankan fungsi utamanya sebagai Wapres, yakni memegang peran penting atas kemenangan Jokowi pada pemilu 2019. 

Menjelang pemilu, Jokowi memang bisa menjawab permasalahan ekonomi, namun ia dinilai kesulitan menjawab tudingan kubu lawan yang mengatakan Jokowi anti-Islam. Serangan ini disebut-sebut membawa kekhawatiran bagi kubu Jokowi sehingga pada akhirnya memilih Ma’ruf Amin sebagai pasangan. Ini pernah disinggung secara oleh Mahfud MD di acara Indonesia lawyers Club (ILC). 

Terpilihnya Ma’ruf, jamak disebut sebagai strategi politik identitas. Saeful Mujab dalam tulisannya Komunikasi Politik Identitas KH Ma’ruf Amin Sebagai Strategi Depolarisasi Agama pada Kontestasi Demokrasi Pilpres 2019 di Indonesia juga membahas hal ini. Ia mengutip bahwa identitas, seperti agama, dapat dijadikan kekuatan politik yang bisa digunakan untuk kepentingan situasional para elite politik. Agama bisa menjadi alat untuk memanipulasi dan mobilisasi sosial demi kekuasaan. 

Berangkat dari tulisan Mujab, Mar’uf Amin dapat disebut sebagai pilihan yang tepat bagi Jokowi. Ma’ruf yang posisinya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan punya dukungan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga dapat merangkul kelompok Islam. Jokowi-Ma’ruf kemudian membentuk formasi nasionalis-religius yang memperoleh banyak suara sehingga Jokowi memenangkan pemilu. 

Pada akhirnya, bisa ditarik kesimpulan bahwa Ma’ruf Amin dikritik karena memiliki gaya kepemimpinan yang pasif dan dinilai kurang berkontribusi dalam kerja eksekutif. Namun, mengacu pada Subhawong, Ma’ruf sebenarnya telah berhasil menjalankan perannya.

Terkait pernyataan kontroversial Masduki, itu tampaknya mengafirmasi desas-desus selama ini bahwa Ma’ruf tidak diberikan porsi penugasan yang proporsional di pemerintahan. Itu juga dapat dibaca sebagai pesan dari Ma’ruf bahwa dirinya mungkin lebih ingin dilibatkan dalam kerja eksekutif. 

Pasalnya, jika benar Wakil Presiden hanyalah posisi ban serep, analogi tersebut benar-benar tidak terlihat ketika Jusuf Kalla (JK) menjadi RI-2. Baik di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maupun di pemerintahan Jokowi. (R66) 

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version