Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf Amin Mulai Unjuk Gigi?

Ma'ruf Amin Mulai Unjuk Gigi?

Wapres KH Ma'ruf Amin (Foto: Istimewa)

Tak seperti biasanya, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mendadak rajin berkomentar terkait kehidupan berdemokrasi di dalam negeri. Beberapa waktu lalu, Wapres bahkan terang-terangan menyampaikan perbedaan pendapat dengan pemerintah terkait penundaan Pilkada. Apa motif yang melatarbelakangi pernyataan-pernyataan teranyar Wapres tersebut?


PinterPolitik.com

Kekecewaan mungkin saja dirasakan oleh sebagian besar simpatisan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kala Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menggandeng Ma’ruf Amin sebagai wakilnya di ajang Pilpres 2019 lalu. Bagaimana tidak, Ma’ruf saat masih menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), bisa dibilang menjadi salah satu tokoh kunci yang menyeret Ahok ke jeruji besi akibat kasus penistaan agama lewat fatwa yang Ia keluarkan. 

Bukan hanya bagi pendukung-pendukung Ahok, keputusan Jokowi kala itu tampaknya memang di luar perkiraan semua pihak. Sebab, saat itu santer tersiar kabar bahwa Ia melamar Mahfud MD sebagai pendampingnya. Namun nyatanya, opsi tersebut kemudian dianulir di detik-detik terakhir, hingga akhirnya keluarlah nama Ma’ruf Amin. 

Keputusan tersebut kemudian memantik berbagai spekulasi di kalangan publik. Sejumlah analis menilai pilihan tersebut diambil lantaran Jokowi membutuhkan sosok yang dapat menghalaunya dari serangan-serangan isu agama serta untuk menarik suara pemilih konservatif di Pulau Jawa.

Analisa tersebut nyatanya semakin mendapatkan afirmasinya kala akhirnya Jokowi-Ma’ruf berhasil memenangkan kontestasi elektoral tertinggi di negeri ini. Pasalnya, hingga satu tahun menjabat, signifikansi posisi Ma’ruf di kursi RI-2 kerap dipertanyakan lantaran dianggap tak pernah terlibat dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah. 

Survei terakhir yang dirilis oleh Indonesia Political Opinion (IPO) bahkan menyebut tingkat kepuasan publik terhadap Ma’ruf hanya berkisar di angka 33 persen saja. 

Namun tak seperti biasanya, belakangan ini, Ma’ruf mulai memberikan pernyataan-pernyataan yang cukup menyita perhatian publik. Ia yang biasanya hanya berkutat pada persoalan keuangan syariah dan sertifikasi halal, nyatanya kini mulai memberikan komentar terkait kehidupan berdemokrasi di Indonesia. 

Sambutannya dalam acara ‘Teropong Democracy Award 2020’ menggaris bawahi persoalan demokrasi dan hukum di Indonesia. Ia menyebut bahwa hukum tanpa demokrasi akan mengarah pada kesewenang-wenangan. Oleh karenanya, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum harus berjalan beriringan. 

Meski terkesan normatif, namun konteks pernyataan Ma’ruf tersebut menjadi menarik jika dikait-kaitkan dengan gelombang protes terhadap pemerintah terkait pengesahan Rancangan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Sebab beleid tersebut memang mendapatkan sentimen minor dikarenakan kurangnya partisipasi publik dalam proses pembahasan hingga pengesahannya. 

Tak lama sebelum pernyataannya soal demokrasi, Ma’ruf juga sempat mengakui bahwa dirinya lebih setuju jika penyelenggaraan Pilkada 2020 ditunda. Pernyataan tersebut juga bisa dilihat sebagai gelagat Sang Wapres yang kini tak lagi segan menyuarakan pendapat yang berseberangan dengan keputusan pemerintah yang memang “ngotot” tetap melaksanakan Pilkada di tengah pandemi Covid-19. 

Lantas, apa sebenarnya yang bisa dimaknai dari pernyataan-pernyataan teranyar Ma’ruf tersebut?

Ma’ruf Terjebak Kutukan Wapres?

Sebagai salah satu tokoh kunci yang berperan dalam bangkitnya gerakan 212 pada 2017 lalu, kekuatan seorang Ma’ruf Amin sudah selayaknya tak dianggap remeh. Greg Fealy dalam tulisannya yang berjudul Ma’ruf Amin: Jokowi’s Islamic Defender or Deadweight? bahkan menganggap sang kiai sepuh tersebut sebagai sosok ulama paling kuat di negeri ini. 

Fealy menyematkan gelar kehormatan tersebut dengan mempertimbangkan rekam jejak Ma’ruf yang pernah menduduki kursi pucuk pimpinan sejumlah organisasi besar, seperti Rais Aam Nadhdlatul Ulama (NU), yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, serta Ketua MUI, badan penting yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan putusan mengenai persoalan-persoalan keagamaan. Posisi-posisi tersebut, tandas Fealy, didapatkan berkat kelihaiannya sebagai politikus dari golongan religius  dan didukung keahliannya dalam hukum-hukum Islam.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Fealy menyebut sejumlah pihak sempat memprediksi bahwa Ma’ruf akan membawa kepentingan-kepentingan golongan konservatif ke pemerintahan, sebagaimana yang telah Ia lakukan selama menjabat sebagai Ketua MUI. 

Namun jauh panggang dari api, apa yang terjadi setelah Ma’ruf menjabat sebagai Wapres adalah 180 derajat kebalikannya. Ma’ruf justru kerap mendapatkan sentimen minor lantaran terlihat hampir tak pernah terlibat dalam proses pengambilan kebijakan dalam pemerintahan. 

Kendati Jokowi memang pernah menyebutkan bahwa dirinya menugaskan Ma’ruf untuk menangani persoalan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi, namun nyatanya signifikansi peran Ma’ruf dalam koridor-koridor tersebut tak begitu tampak. Ma’ruf lebih banyak berkomentar mengenai persoalan syariah, sementara selebihnya, Jokowi mempertontonkan gaya kepemimpinan one man show. 

Melempemnya sosok Ma’ruf Amin nyatanya tak hanya menjadi bahan gosip di ruang publik. Presiden Jokowi sekalipun tak pernah menutup-nutupi kala Ia lupa menyapa pendampingnya yang sudah duduk disampingnya. Getirnya, peristiwa tersebut tak hanya terjadi sekali, melainkan berulang kali. 

Kendati demikian, apa yang dialami Ma’ruf Amin ini sebenarnya merupakan fenomena yang cukup jamak terjadi. Fenomena ini bahkan memiliki istilahnya sendiri, yakni kutukan wakil presiden (the curse of vice presidency)

Michael Nelson dalam tulisannya di The American Prospect mengatakan konteks kutukan tersebut terjadi kala kekuatan politik seorang tokoh cenderung melemah ketika ia menjabat sebagai wakil presiden. Di banyak negara demokrasi, bahkan termasuk Amerika Serikat (AS), posisi wapres pada kenyataanya memang dianggap lemah

Nelson menyodorkan sepak terjang Albert Arnold Gore Jr. alias Al Gore, wakil presiden AS di era kepemimpinan Bill Clinton (1993-2001) sebagai contoh sempurna untuk menggambarkan fenomena ini. 

Al Gore, menurut Nelson, awalnya dianggap mempunyai kekuatan politik yang cukup signifikan untuk menjadikannya sebagai presiden pengganti Bill Clinton. Akan tetapi, ketika menjabat sebagai wapres, citra politik Al Gore dianggap turut terpengaruh oleh citra politik sang presiden yang dipenuhi skandal di akhir masa jabatannya. Alhasil, Ia pun gagal meraih kursi kekuasaan lantaran dikalahkan George W. Bush pada Pilpres tahun 2000. 

Dalam konteks Indonesia, apa yang menimpa Al Gore kala itu sepertinya saat ini juga tengah menimpa Ma’ruf Amin. Posisi Ma’ruf sebagai orang nomor dua Jokowi tentu sedikit banyak akan menggerus popularitasnya di kalangan golongan konservatif yang selama ini memang menganggap Presiden dan pendukung-pendukungnya sebagai musuh. Hal ini tentu merugikan Ma’ruf Amin lantaran golongan Islam konservatif tersebut merupakan salah satu sumber kekuatan politiknya. 

Lantas untuk meminimalisir menyusutnya kekuatan politiknya, maka menjadi wajar jika kini Ma’ruf akhirnya mulai buka suara terkait persoalan-persoalan demokrasi yang terjadi belakangan ini. Selain itu, langkahnya yang tak lagi segan menyatakan perbedaan sikap dengan pemerintah, seperti dalam konteks Pilkada, bisa dimaknai sebagai pembelaan diri Ma’ruf, bahwa dirinya tak selalu sejalan dengan keputusan-keputusan non-populis Presiden.  

Singkatnya bisa dikatakan bahwa Ma’ruf saat ini tengah berusaha untuk lepas dari kutukan wakil presiden. Lantas jika memang asumsi tersebut benar, akankah upaya Ma’ruf tersebut berhasil? Mungkinkah ini menjadi titik awal bagi Ma’ruf untuk mulai mensignifikankan kembali kekuatan politiknya?

Sulit Melarikan Diri?

Ketika melangkahkan kaki ke Istana Wakil Presiden, Ma’ruf memikul beban berat peninggalan pendahulunya yang begitu besar. Ya, Jusuf Kalla (JK), bisa dibilang menjadi salah satu wakil presiden terkuat yang pernah dimiliki Indonesia. 

M. Taufiqurrahman dalam tulisannya di The Jakarta Post menilai bahwa dorongan berbagai pihak yang meminta Ma’ruf untuk tampil lebih banyak di muka publik disebabkan karena JK telah menetapkan standar yang begitu tinggi bagi seorang wapres. Standar itu kiranya masih sulit dikejar Ma’ruf. 

Namun demikian, hambatan terbesar Ma’ruf untuk dapat mensignifikankan kekuatan politiknya agaknya datang dari Presiden Jokowi sendiri. Kemampuannya yang dinilai sejumlah pengamat berhasil menaklukan parlemen menunjukkan kekuatan Sang Presiden justru sedang dalam kondisi prima. 

Belum lagi, kecenderungan Presiden, yang diakuinya sendiri tak lagi memiliki beban meski harus mengambil kebijakan-kebijakan non-populis tentu sedikit banyak akan berimbas terhadap citra politik Ma’ruf Amin, kendati sekalipun Ia tak dilibatkan dalam prosesnya.

Menurut Nelsen, hal tersebut terjadi lantaran wakil presiden jarang mendapat pujian atas keberhasilan pemerintahan, karena kebijakan adalah buah hak prerogatif presiden. Namun sebaliknya, orang-orang nomor dua ini cenderung tak bisa melarikan diri dari sentimen minor publik atas gagalnya kebijakan pemerintah. 

Berangkat dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa Ma’ruf agaknya tak akan berhasil mensignifikankan kekuatan politiknya mengingat kekuatan sang presiden kadung tak terbendung lagi. Sebaliknya, kekuatan politik Ma’ruf justru akan semakin lemah jika Presiden terus menerus mengambil kebijakan anti populis yang menuai sentimen publik. 

Pada akhirnya, meski disandarkan pada teori-teori logis, namun sekelumit analisis di atas hanyalah asumsi yang belum tentu benar adanya. Bagaimanapun juga, kiprah Ma’ruf Amin yang lebih dominan tetaplah dinantikan oleh publik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version