Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf Amin Melemah Hadapi Kumbo?

Ma’ruf Amin Melemah Hadapi Kumbo

Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin ketika berpidato di depan warga usai pengumuman hasil rekapitulasi KPU. (Foto: Setpres)

Wakil Presiden terpilih Ma’ruf Amin dinilai kurang terlibat dalam penentuan susunan kabinet Joko Widodo (Jokowi) 2.0. Apakah pengaruh Ma’ruf terhadap Jokowi melemah?


PinterPolitik.com

“The caterpillar sees the butterfly as weak and figures out a way to pimp it to his own benefits” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Kontestasi politik pasca-Pemilu 2019 tampaknya semakin memanas. Layaknya kompetisi di antara para rapper untuk tampil di sampul XXL Freshman, masing-masing pihak dan kelompok mulai menawarkan sosok-sosok yang dianggap pantas.

Belum lagi, beberapa partai yang sebelumnya menjadi lawan politik bagi Joko Widodo (Jokowi) – seperti Gerindra dan PAN – kini dikabarkan akan merapat ke koalisi pemerintah dan mendapatkan beberapa jatah posisi strategis.

Di tengah-tengah dinamika yang memanas tersebut, Wakil Presiden terpilih Ma’ruf lebih memilih untuk menunggu dan tidak ikut campur dalam proses bagi-bagi “kue” politik. Bagi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut, pembagian jatah-jatah kabinet itu merupakan hak prerogatif milik presiden.

Pernyataan Ma’ruf pun menuai tanggapan dari beberapa pihak. Salah satunya datang dari Hidayat Nur Wahid (HNW). Menurut Wakil Ketua Majelis Syuro PKS tersebut, Ma’ruf memiliki andil besar bagi terpilihnya Jokowi sehingga berhak untuk berpartisipasi dalam proses penentuan bagi-bagi “kue” tersebut.

Pertanyaannya adalah seberapa besar kontribusi Ma’ruf bagi kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu. Lalu, apakah kontribusi tersebut masih dapat memengaruhi pembagian kabinet Jokowi 2.0?

Kontribusi Elektoral

Kehadiran Ma’ruf sebagai cawapres Jokowi dalam Pilpres lalu bisa jadi memberikan kontribusi besar bagi perolehan suara kandidat tersebut. Sebagai ulama, Ma’ruf disebut-sebut memiliki pengaruh yang besar.

Pengaruh Ma’ruf yang besar ini dapat dilihat dari jabatan-jabatan yang dipegangnya. Sebagai ketua MUI, sang kiai memiliki pengaruh yang luas di antara para ulama.

Greg Fealy dari Australian National University (ANU) dalam tulisannya di New Mandala menjelaskan bahwa Ma’ruf merupakan salah satu ulama yang terkuat di Indonesia. Fealy juga menjelaskan bahwa pengetahuan sang kiai yang mendalam terkait hukum Islam menjadi titik awal bagi kuatnya pengaruh Ma’ruf.

Pengetahuannya yang turut menguatkan pengaruhnya ini dapat dijelaskan menggunakan konsep modal spiritual yang berakar dari pemikiran filsuf Pierre Bourdieu mengenai modal sosial dan kultural. Bradford Verter dalam tulisannya yang berjudul Spiritual Capital menjelaskan bahwa konsep modal spiritual ini memiliki tiga bentuk, yaitu modal yang dimiliki secara personal (embodied), modal yang disalurkan (objectified), dan modal institusional (institutionalized).

Dari modal personal yang dimilikinya, Ma’ruf telah menyalurkannya dalam bentuk objectified dan institusional. Salah satu contohnya adalah fatwa yang dikeluarkannya sebagai ketua MUI yang dijadikan legitimasi bagi Aksi 212 yang menjatuhkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok atau BTP).

Modal spiritual inilah yang turut membawanya berperan banyak di organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai salah satu tokoh di NU, Ma’ruf memiliki modal institusional dalam organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Kombinasi modal-modal politiknya bisa jadi membuat kontribusi Ma’ruf besar bagi kemenangan Jokowi. Share on X

Dalam politik, modal institusional tersebut juga dapat digunakan untuk memperluas pengaruh sang kiai. Hal ini terbukti dari bagaimana sang kiai – menurut Fealy – menggunakan pola-pola distribusi patronase dengan menyalurkan sumber-sumber yang dimilikinya pada pendukung-pendukungnya dalam perkembangan kariernya di NU.

Kombinasi modal-modal tersebut lah yang bisa jadi membuat kontribusi Ma’ruf besar bagi kemenangan Jokowi, terutama terkait kedekatannya dengan NU. Naila Shofia dan Tom Pepinsky menyebut kontribusi ini sebagai NU Effect.

Dalam tulisannya di New Mandala, Shofia dan Pepinsky berusaha mengukur seberapa besar efek tersebut. Tulisan tersebut menyimpulkan bahwa Ma’ruf memiliki kontribusi elektoral cukup besar sebagai cawapres di kalangan NU.

Meskipun begitu, Shofia dan Pepinsky berpendapat bahwa kehadiran Ma’ruf sebagai cawapres bukanlah menjadi kelebihan Jokowi, melainkan menutup kekurangan sang presiden di kalangan Nahdliyin. Hal ini terlihat dari bagaimana pesantren-pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang sebelumnya mendukung Prabowo Subianto pada tahun 2014 berubah mendukung Jokowi-Ma’ruf.

Pertanyaan selanjutnya pun muncul. Dengan kontribusi NU yang telah diberikan oleh Ma’ruf tersebut, mengapa sang kiai tidak terlalu dilibatkan dalam proses pemilihan kabinet Jokowi 2.0?

Beda Konteks?

Tidak dilibatkannya Ma’ruf dalam penentuan siapa-siapa yang duduk di kursi-kursi kabinet bisa jadi disebabkan oleh persoalan pemilihan cawapres di masa lalu. Selain itu, dinamika politik yang terjadi kini juga bisa saja melemahkan posisi Ma’ruf.

Jika ditilik kembali pada tahun 2018, sosok yang disebut-sebut menjadi pilihan utama Jokowi sebagai cawapres pada mulanya adalah profesor hukum Mohammad Mahfud (Mahfud MD). Namun, partai-partai pendukung Jokowi pada saat itu lebih menginginkan Ma’ruf untuk menjadi cawapres.

Terpilihnya Ma’ruf sebagai cawapres disinyalir didorong oleh Pengurus Besar NU, PKB, dan PPP. Menurut Mahfud, pihak-pihak ini mengancam akan mencabut dukungan kelompok Nahdliyin kala itu apabila tidak menunjuk cawapres dari NU.

Melihat bagaimana NU berkontribusi besar dalam penjelasan Shofia dan Pepinsky, pilihan cawapres Jokowi yang akhirnya jatuh pada Ma’ruf bisa jadi merupakan langkah yang tepat baginya. Meskipun tepat, situasi pasca-Pilpres 2019 menyajikan peta kekuatan yang berbeda.

Jika sebelumnya Jokowi harus berfokus untuk memperoleh suara guna memenangkan Pilpres, kini sang presiden tampaknya lebih memilih mengalihkan fokusnya guna menjaga stabilitas pemerintahannya hingga 2024 mendatang. Dalam hal ini, sang presiden perlu memperhitungkan dan menggandeng kekuatan-kekuatan partai politik yang ada di parlemen.

Di sinilah pengaruh Ma’ruf terhadap Jokowi menjadi melemah. Dengan politik kumpul kebo (kumbo) yang tengah dilakukan oleh Jokowi-Prabowo semakin mengecilkan kekuatan Ma’ruf dan partai-partai politik berbasis NU – PKB dan PPP.

Pasalnya, bila upaya kumbo benar-benar terjadi, sang presiden bisa jadi telah mengamankan kekuasaannya dengan paket kekuasaan antara PDIP dan Gerindra. Belum lagi, Golkar yang akan memilih ketum juga disebut-sebut akan banyak dipengaruhi oleh Jokowi – boleh jadi membuat partai berlambang pohon beringin ini masuk ke dalam politik kumbo.

Oleh sebab itu, menjadi masuk akal apabila Ma’ruf menyatakan bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam pemilihan kabinet Jokowi 2.0. Dengan adanya kumbo, pengaruh Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo yang baru saja bertemu kemarin bisa jadi juga lebih diperhitungkan dibandingkan Ma’ruf.

Pada akhirnya, terpilihnya Ma’ruf sebagai cawapres dalam Pilpres 2019 memang memberikan kontribusi besar bagi kemenangan Jokowi. Lumbung suara kelompok NU yang dikantongi Ma’ruf mampu menutupi kelemahan mantan Wali Kota Solo tersebut dalam Pilpres lalu.

Namun, konteks politik kali ini berbeda. Upaya kumbo yang tengah dilakukan antara Jokowi, Prabowo, dan Megawati bisa jadi membuat Ma’ruf tidak lagi berpengaruh dalam penentuan kabinet jilid kedua.

Mungkin, dinamika hubungan Jokowi-Ma’ruf ini dapat tergambarkan melalui lirik rapper Kendrick Lamar di awal tulisan. Sang kupu-kupu bisa jadi bermanfaat bagi si ulat, entah bagaimana peran kupu-kupu tersebut selanjutnya di masa mendatang. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version