Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf Amin Kunci Anulir Ciptaker?

Ma’ruf Amin Kunci Anulir Ciptaker

Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin. (Foto: Antara)

Salah satu organisasi keagamaan terbesar tanah air, PBNU turut menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR. Dengan keberadaan tokoh karismatik organisasi tersebut, yakni Ma’ruf Amin di pemerintahan sebagai Wakil Presiden (Wapres), akankah hal tersebut berkorelasi positif sebagai salah satu jalan keluar atas persoalan yang ada?


PinterPolitik.com

Regulasi sapu jagat Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang kontroversial nyatanya juga menimbulkan gelombang resistensi dari berbagai “jagat” masyarakat yang menilai urusan hidupnya turut terdampak.

Setelah buruh dan para pekerja, belakangan elemen masyarakat dari kelompok keagamaan juga turut bersuara dan menyatakan sikap penolakan terhadap sejumlah poin spesifik dalam Omnibus Law Ciptaker yang mengusik hajat mereka.

Tokoh agama lintas kepercayaan misalnya, yang mendesak pemerintah dan DPR kembali membuka ruang partisipasi publik dengan menggalang petisi bertajuk ‘Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik’ di di situs change.org yang hampir mencapai satu setengah juta dukungan.

Mereka yang terdiri dari sosok-sosok seperti Busryo Muqodas, Pendeta Merry Kolimon, Ulil Abshar Abdalla, Engkus Rusana, Roy Murtadho hingga Pendeta Penrad Sagian menyebut dari aspek hak beragama, Undang-undang (UU) baru tersebut dianggap akan menimbulkan berbagai masalah dan konflik kepercayaan, mengancam kelompok minoritas agama, dan merampas ruang hidup rakyat kecil.

Secara spesifik, Pendeta Merry Kolimon menyebutkan betapa pentingnya momentum saat ini bagi para pemuka agama berdiri bersama elemen masyarakat sipil lain untuk mengkritisi UU Ciptaker.

Dua organisasi masyarakat (ormas) Islam, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) pun tak ketinggalan menyatakan sikap penolakannya masing-masing. Muhammadiyah menilai UU Ciptaker bertabrakan dengan ideologi Pancasila, serta mengandung pemikiran atau konsep yang mencerminkan pembangkangan konstitusional.

Sementara NU melalui Ketua Umum KH Said Aqil Siroj memandang bahwa UU Ciptaker hanya menguntungkan konglomerat serta investor, namun menindas kepentingan dan nasib para buruh, petani, dan rakyat kecil.

Lebih lanjut, Said Aqil menyerukan agar warga NU harus memiliki sikap tegas dalam merespon regulasi yang kontroversial itu demi sebuah jalan keluar yang baik.

Khusus seruan dari Said Aqil di atas, menarik agaknya ketika pernyataan tersebut disandingkan dengan realita bahwa sesungguhnya terdapat satu sosok karismatik NU yang saat ini memiliki posisi vital di pemerintahan yang sesungguhnya dinilai dapat memberikan salah satu jalan keluar permasalahan yang ada.

Sosok itu tak lain ialah Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin yang dengan posisinya saat ini tentu dapat memberikan sikap dan respons konstruktif atas keresahan publik maupun kelompok agama, termasuk dari NU atas kontroversi UU Ciptaker.

Tentu yang paling konkret ialah melalui komunikasi dan lobi ranah eksekutif atas masih terbukanya opsi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Lantas, apakah memang seruan “sikap tegas” dari Said Aqil tersebut juga secara tak langsung ditujukan kepada sosok Ma’ruf Amin dengan relevansi relasi dan jabatannya? Dan sejauh mana kiranya Ma’ruf Amin mampu mengaktualisasikan relevansinya tersebut saat ini?

Ma’ruf Wakili Siapa?

Eksistensi hubungan dua arah yang berkesinambungan antara NU dan Ma’ruf Amin setelah menjabat sebagai Wapres memang dinilai cukup samar akibat berbagai macam faktor, baik interaksi politik maupun mekanisme birokrasi eksekutif.

Akan tetapi, korelasi jabatan sebagai Rais ‘Aam PBNU – yang notabene merupakan posisi nomor wahid dalam kepengurusan NU – sejak tahun 2015 hingga 2018, yang dinilai secara tidak langsung turut mengantarkan Ma’ruf ke kursi RI-2 tak lantas dapat dikesampingkan begitu saja.

Terlebih bukan rahasia lagi saat tawar menawar politik antara NU dengan basis massa besarnya menyeruak ke permukaan dalam proses pencalonan sosok pendamping Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 lalu.

Oleh karena itu, menjadi lumrah kiranya jika tetap ada semacam ekspektasi terhadap Ma’ruf Amin sebagai Wapres dan keterwakilan NU dalam berbagai isu maupun kepentingan yang berhubungan dengan jalannya pemerintahan, termasuk dalam isu kekinian yakni UU Ciptaker.

Namun, kekuatan dan pengaruh Ma’ruf saat masih berada di luar kekuasaan dinilai tak semujarab saat dirinya telah duduk di singgasana Istana saat ini.

Seperti yang jamak diketahui, selain sebagai Rais ‘Aam PBNU, Ma’ruf Amin juga merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2015-2019 yang menjadikan sosoknya tak hanya prominen di lingkup NU saja, tetapi juga segmen dan kelompok religius Islam lainnya.

Daniel Peterson dalam What Is Ma’ruf Amin Doing? mencoba menganalisa tendensi perubahan yang terjadi pada sosok Ma’ruf Amin pasca menjabat sebagai Wapres sejak Oktober 2019 lalu.

Perubahan yang dikatakan menjadikan Ma’ruf tak lagi secara aktif mendorong berbagai urgensi konservatisme Islamnya yang dahulu cukup kental, dalam tatanan praktis, baik terhadap proses politik maupun kebijakan tertentu.

Peterson menyebutkan terdapat dua kemungkinan yang menjadi pangkal perubahan dari sosok yang juga pernah menjadi wakil rakyat di Senayan pada 1999 hingga 2004 itu.

Pertama, Ma’ruf kini secara sadar memilih menempatkan diri sebagai sosok yang cenderung simbolis daripada memiliki otoritas aktif. Kedua, Peterson melihat faktor usia yang telah cukup lanjut membuat Ma’ruf merasa dia hanya akan menjabat satu kali sebagai wakil presiden dan lebih peduli dengan apa yang dia lihat sebagai warisannya.

Konsekuensinya, Ma’ruf justru menjadi terlihat “melemah” dan terkesan “bungkam” meski mengampu jabatan eksekutif, dan pada saat yang sama membuat tingkat prominen personalnya di depan kelompok religius Islam, bahkan NU sendiri dinilai kian memudar.

Maka dari itu, kemungkinan pengaruh dan aktualisasi Ma’ruf yang dinilai cukup minim saat ini, tampaknya membuat ekspektasi agar sang Wapres mengakomodasi penolakan berbagai kelompok religius Islam pada konteks UU Ciptaker tak menemui relevansinya.

Dan harapan Said Aqil agar segenap insan NU tegas mengambil sikap atas kontroversi UU Ciptaker pun pada titik ini dinilai memiliki tendensi pengecualian pada konteks Ma’ruf Amin.

Lantas, jika secara kasat mata hubungan konstruktif antara NU dan Ma’ruf Amin tak bisa terlalu diharapkan dalam konteks UU Ciptaker, dampak seperti apa kiranya yang mungkin eksis terhadap sosok seperti Ma’ruf Amin sebagai tokoh karismatik religius dalam pemerintahan?

Spiritual Betrayal?

Tak bisa dipungkiri ketika Ma’ruf Amin berhasil menjadi Wapres, terdapat segelintir harapan bahwa sosoknya dapat senantiasa merepresentasikan nilai-nilai luhur dan kepentingan kalangan religius Islam dalam pemerintahan.

Namun, ketika harapan tersebut tak menemui hajatnya dampak kontraproduktif bagi citra maupun preseden lainnya yang jauh lebih luas tampaknya tak bisa dihindari.

Dalam publikasi berjudul Deconversion from Religious Movements: An Analysis of Charismatic Bonding and Spiritual Commitment, Janet Jacobs mengemukakan ihwal mengenai spiritual idealism, yang salah satunya terkait dengan eksistensi inheren atas harapan-harapan positif kepada para pemimpin atau tokoh karismatik religius untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai yang melekat padanya.

Dan ketika spiritual idealism tersebut tak tercapai seperti yang seharusnya, kondisi yang disebut Jacobs sebagai spiritual betrayal tercipta. Spiritual betrayal sendiri bukan persoalan sepele karena kontradiksi atas kesalehan ideal dan realitas tindakan pemimpin atau tokoh karismatik religius terkait erat dengan trust atau kepercayaan.

Kendati demikian, spiritual betrayal tersebut diharapkan tidak terjadi dan terimpresikan dari sosok Ma’ruf Amin, terlebih pada dinamika penolakan UU Ciptaker saat ini.

Hal ini dikarenakan, sampai saat ini masih terbuka peluang bagi semua pihak, termasuk sang Wapres untuk mengakomodasi penolakan tersebut dengan kewenangannya sebagai orang nomor dua di republik.

Tentu untuk mengakomodasi pula kalangan yang semestinya memang terwakilkan dari sosoknya sebagai tokoh karismatik Islam di mana saat ini berbagai kelompok religius muslim tanah air sendiri semakin lantang dan masif menyuarakan resistensi pada UU Ciptaker.

Jika memang Ma’ruf lebih peduli pada warisan apa yang akan ditinggalkannya seperti yang dikatakan Peterson, perhatian dan pengakomodasian penolakan UU Ciptaker tampaknya akan meninggalkan kemaslahatan dan legacy terbaik.

Tak hanya bagi kepentingan kelompok religius Islam tetapi juga kepentingan masyarakat yang lebih luas. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version