Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf Amin Dukung Anies 2024?

maruf amin dukung anies 2024

Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin (kanan) menerima kunjungan dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kiri) di rumah dinas Wapres beberapa waktu lalu. (Foto: VOI)

Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin dalam beberapa kesempatan – baik sebagai Wapres maupun Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) – menegaskan bahwa dirinya akan tetap netral dalam politik elektoral menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mungkinkah justru dukungan Ma’ruf bisa mengarah ke Anies Baswedan yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta?


PinterPolitik.com

“Akhirnya datang juga!”

Pernah membayangkan tidak bahwa diri kalian menjadi orang yang justru ditunggu-tunggu? Mungkin, itulah yang dirasakan ketika mengikuti sketsa-sketsa komedi yang tidak bisa diprediksi semacam Akhirnya Datang Juga! (2007-2008).

Cara kerja sketsa komedi ini cukup menarik. Bila Anda seorang figur publik atau artis, mungkin saja Anda akan diundang ke sketsa ini. 

Nah, saat Anda tiba di set (latar) yang telah disediakan, para pemeran lainnya langsung memberikan pernyataan sambutan, “Akhirnya datang juga!” Tentu, bagi bintang tamu, ini akan menjadi hal yang sangat membingungkan.

Para pemeran lainnya akan langsung memainkan peran dan karakter masing-masing – sejalan dengan latar yang telah disiapkan. Sementara, sang bintang tamu harus meraba-raba soal peran dan latar belakang (background) dari karakter yang dimainkannya – seakan-akan karakter itulah yang paling dinanti dalam kisah tersebut.

Namun, bagaimana sketsa bagaikan Akhirnya Datang Juga ini terjadi di dunia nyata – katakanlah dalam dinamika politik elektoral menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Pasalnya, tidak dipungkiri bahwa akan ada banyak “karakter” yang sedang dinanti-nanti kedatangannya dalam mempengaruhi jalannya “set” dan “sketsa” Pemilu 2024 – khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, menjadi pembahasan publik dan media karena dianggap bisa mengambil peran sebagai king maker (pengusung) bagi salah satu calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) potensial. Kelompok-kelompok relawan Jokowi, contohnya, disebut ingin mengusung nama-nama seperti Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo di tahun 2024.

Tidak hanya nama Jokowi yang ditunggu-tunggu kedatangannya, melainkan juga ada nama Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin. Bagaimana tidak? Dalam beberapa kesempatan, Ma’ruf tampaknya ditunggu-tunggu oleh media soal capres-cawapres siapa yang akan didukung.

Menanggapi ini, Ma’ruf sendiri akhirnya angkat bicara. Sebagai Wapres dan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf mengatakan akan tetap bersikap netral dalam dinamika politik elektoral menuju tahun 2024.

Terlepas dari sikap netral yang ditunjukkannya, nama Ma’ruf tentu ditunggu-tunggu “kedatangannya” di “sketsa” politik ini. Tentu saja, sejumlah pertanyaan pun muncul mengenai “kedatangan” Ma’ruf yang diharap-harapkan.

Mengapa dukungan politik Ma’ruf masih diharap-harapkan – meski kini kerap dianggap lemah secara politik di pemerintahan Jokowi? Kekuatan dan pengaruh politik seperti apa yang sebenarnya dimiliki oleh Ma’ruf?

Spiritual Capital ala Ma’ruf

Bila benar seseorang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya, bukan tidak mungkin orang tersebut memiliki manfaat yang bisa saja diberikan kepada pihak atau orang lain. Terkait pertanyaan di atas, tentu Ma’ruf bisa saja memiliki manfaat tersebut.

Sebagai seorang Wapres dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Ma’ruf secara tidak langsung memiliki posisi yang penting. Bukan tidak mungkin, dukungan politiknya di tahun 2024 nanti bisa menjadi poin tambahan yang akhirnya membawa sang penerima dukungan kepada keunggulan tertentu.

Sederhananya, Ma’ruf memiliki modal yang belum tentu aktor-aktor politik lainnya juga punya, yakni modal spiritual (spiritual capital). Berakar dari konsep-konsep modal sosial (social capital) dan modal kultural (cultural capital) dari Pierre Bourdieu, Bradford Verter berusaha menjelaskan konsep itu melalui tulisannya yang berjudul Spiritual Capital.

Layaknya modal dalam ekonomi, modal-modal seperti ini juga bisa ditransformasikan menjadi sebuah ‘keuntungan’, yakni pengaruh dalam dimensi sosial dan politik. Modal spiritual, misalnya, bisa ditransformasikan menjadi pengaruh dan otoritas dalam hal keagamaan.

Dalam tulisannya tersebut, Verter pun menjelaskan bahwa modal spiritual dapat terejawantahkan dalam tiga bentuk, yakni bentuk modal yang telah dimiliki (embodied state), modal yang disalurkan dalam objek (objectified state), dan modal yang disalurkan dalam institusi (institutionalized state).

Ketiganya pun bisa saja telah dimiliki Ma’ruf. Dalam bentuk embodied state, misalnya, sang Wapres sendiri telah menjadi seorang ulama karena memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam.

Dalam bentuk objectified state, apa yang dimiliki Ma’ruf sebagai embodied state bisa disalurkan dalam bentuk objek – yakni dokumen keagamaan yang berisikan hukum keagamaan seperti fatwa. Terakhir, dalam bentuk institutionalized state, Ma’ruf masih memiliki andil yang cukup besar dalam organisasi keagamaan esensial di Indonesia, yakni MUI – sebuah organisasi yang selama ini memegang kendali soal hukum keagamaan di negara kepulauan ini.

Contoh paling nyata dari hasil transformasi modal spiritual Ma’ruf adalah pengaruh politiknya yang terlihat jelas dalam mempengaruhi jalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Kala itu, muncul calon gubernur (cagub) yang dinilai berlawanan dengan identitas Islam, yakni Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok.

Dengan persoalan identitas yang eksis, Ma’ruf sebagai Ketua MUI merilis sebuah fatwa mengenai Ahok. Cagub yang berdarah Tionghoa itu pada akhirnya juga dianggap telah melakukan penistaan agama – disebut-sebut sebagai salah satu faktor terbesar yang menyebabkan kekalahannya pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017.

Lantas, bila memiliki modal sedemikian besar, mengapa Ma’ruf memilih untuk tetap netral secara politik – katakanlah dalam diskursus menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang? Apa yang membuat sang Wapres perlu berpikir dua kali untuk mentransformasikan modalnya tersebut – misal mendukung sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang disebut-sebut menjadi capres yang potensial untuk didukung oleh kelompok Muslim?

Jalan Buntu untuk Ma’ruf?

Bukan tidak mungkin, Ma’ruf perlu mempertimbangkan lagi sejumlah alasan dan hambatan bagi dirinya untuk menyalurkan modalnya tersebut. Apalagi, sebagai tokoh agama, Ma’ruf masih punya andil besar di masyarakat.

Pertama, Ma’ruf bisa saja mempertimbangkan narasi yang kini beredar di kalangan elite politik, yakni upaya untuk menghindari munculnya kembali polarisasi politik seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019.

Mengacu pada penjelasan Greg Fealy, Sally White, dan Burhanuddin Muhtadi dalam tulisan mereka yang berjudul Counter-polarisation and Political Expediency, terdapat sebuah narasi di antara elite-elite politik bahwa polarisasi politik yang sangat parah telah menjadi ancaman bersama bagi Indonesia – meskipun hal ini tidak benar-benar diyakini ada di kalangan masyarakat umum. 

Kedua, usia juga bisa saja mempengaruhi hasrat politik Ma’ruf. Setidaknya, ini bisa jadi pertimbangan Ma’ruf untuk menentukan langkah-langkah politik yang akan diambilnya.

Mengacu pada penjelasan Paul L. Hain dalam tulisannya yang berjudul Age, Ambitions, and Political Careers, usia seorang politisi bisa mempengaruh ambisi politik yang dimilikinya. Semakin tua seorang politikus, semakin kecil juga ambisi karier politik yang dimilikinya.

Dan, ketiga, Ma’ruf bisa saja kini tidak lagi memiliki saluran politik yang memadai untuk mentransformasikan modal spiritual yang dimilikinya. Bagaimana pun juga, Ma’ruf kini dilihat sebagai sosok yang tidak memiliki pengaruh cukup besar di pemerintahan Jokowi – dengan munculnya istilah-istilah seperti “ban serep”.

Ada salah satu kemungkinan yang menyebabkan Ma’ruf dianggap demikian, yakni Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin atau Gus AMI. Tidak dapat dipungkiri bahwa Cak Imin disebut memiliki andil besar dalam menjadikan Ma’ruf cawapres Jokowi pada Pilpres 2019 silam.

Cak Imin bisa saja memiliki modal sosial – seperti relasi sosial bila mengacu pada tulisan Kimberly Casey yang berjudul Defining Politial Capital – yang justru membuat modal spiritual Ma’ruf lebih mendapatkan ‘keuntungan’ (return) yang optimal. Namun, dengan ambisinya sendiri, Cak Imin bukan tidak mungkin tidak melihat Ma’ruf sebagai sosok yang bisa diandalkan.

Bila tiga faktor ini benar adanya, alhasil, Ma’ruf kini hanya menemui jalan buntu untuk agar benar-benar bisa mentransformasikan modal spiritual yang dimilikinya. 

Pada akhirnya, Ma’ruf pun kesulitan untuk bisa benar-benar datang dan membuka pintu menuju “sketsa” Pilpres 2024. Mungkin, pemeran-pemeran “sketsa” lainnya hanya bisa menunggu tanpa kepastian untuk mengucapkan line yang berbunyi, “Akhirnya datang juga!” (A43)


Exit mobile version