Setelah menjabat lebih dari 3 bulan, kritikan datang kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang dianggap banyak pihak tidak menonjol dan tidak banyak berperan di pemerintahan. Bahkan beberapa pihak menyebut masyarakat tak merasakan kinerja dari seorang wapres dalam diri Ma’ruf. Dalam nuansa yang satire, pengamat politik Rocky Gerung menyebutkan bahwa dirinya lupa dengan nama Ma’ruf Amin – sebuah kritik tak langsung yang kemudian mendatangkan reaksi dari GP Ansor yang menyebutnya sebagai penghinaan. Faktanya, memang ada semacam “kutukan” yang menimpa jabatan wakil presiden dan cukup sering dijumpai di negara demokrasi di dunia.
PinterPolitik.com
“Secretary of state is far superior to vice president, because it’s involved in continuously solving problems and making policy and not being on standby”.
:: Gloria Steinem, feminis dan aktivis sosial politik asal Amerika Serikat ::
Keberadaan sosok kedua yang penting dalam sebuah pemerintahan punya sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia. Ibaratnya seperti sosok macam Marcus Vipsanius Agrippa yang menjadi tangan kanan Julius Caesar di era Kekaisaran Romawi, sosok kedua dalam pemerintahan sering kali menjadi tokoh penting di balik kejayaan para pemimpin besar.
Hingga saat ini, sosok kedua itu punya berbagai macam bentuk dan sebutan, salah satunya adalah wakil presiden. Indonesia punya sosok wakil presiden yang besar dalam diri Mohammad Hatta. Dianggap sebagai salah satu bapak demokrasi Indonesia, Hatta adalah sosok penting di balik keluarnya Maklumat 3 November 1945 yang menjadi tonggak pembentukan partai-partai politik di Indonesia.
Nuansa peran sosok kedua dalam pemerintahan ini yang kini tengah diarahkan pada Wapres Ma’ruf Amin. Pasalnya, setelah 100 hari lebih bertugas, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin kini mendapatkan evaluasi dari masyarakat.
Tak sedikit kritik yang mengarah pada pemerintahan keduanya, terutama dalam konteks HAM dan pemberantasan korupsi. Bukan tanpa alasan, dalam 3 bulan terakhir nuansa pelemahan KPK misalnya, menjadi pemberitaan yang muncul di berbagai media massa dan menjadi kritik terbesar bagi pemerintahan Jokowi.
Namun, salah satu hal yang mendapatkan sorotan besar adalah terkait peranan Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden alias sosok kedua dalam pemerintahan, yang dianggap belum sepenuhnya terlihat. Bahkan, beberapa pihak menyebutkan bahwa peran Ma’ruf seolah tak dirasakan oleh masyarakat selama menduduki Istana Wakil Presiden.
Kritik tersebut salah satunya disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin. Menurutnya belum ada hal yang menonjol dari sosok Ma’ruf selama 100 hari kerjanya.
Tak heran muncul kekhawatiran bahwa Ma’ruf Amin akan tenggelam dalam pemerintahan periode kedua Jokowi. Ia yang misalnya dianggap bisa berperan besar dalam membendung radikalisme, justru lebih banyak diambil perannya oleh menteri-menteri di bawahnya, katakanlah oleh Kementerian Agama.
Dalam konteks hubungan internasional dengan negara-negara Islam, Ma’ruf juga dianggap tak banyak berperan. Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas menyoroti tak hadirnya Ma’ruf dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Kuala Lumpur pada 2019.
Terlepas dari isu seputaran konflik di KTT tersebut, yang jelas publik tentu belum menyaksikan peran Ma’ruf yang adalah ulama paling powerful di Indonesia saat ini – demikian meminjam istilah Greg Fealy dari Australian National University (ANU) – di tingkatan negara-negara Islam.
Tak heran, banyak pihak kemudian menunjuk hal ini sebagai pembenaran atas tuduhan bahwa Ma’ruf memang hanya dijadikan sebagai simbol dan alat politik dalam pertarungan di Pilpres 2019 lalu. Benarkah demikian?
Sebuah Kutukan, Ma’ruf Hanya Simbol?
Saking “menghilangnya” Ma’ruf Amin, pengamat politik Rocky Gerung sampai menyebut dirinya lupa pada nama sang kiai. Dalam salah satu kesempatan, ia menyebut nama Ma’ruf sebagai “Mafluf” – yang sangat mungkin memang sengaja diucapkan demikian olehnya.
Rocky berdalih bahwa ia salah menyebutkan nama Ma’ruf karena sang kiai jarang muncul dan diberitakan. Ia juga mengkritik Ma’ruf yang disebutnya jadi “tukang evaluasi” Jokowi. Apalagi, evaluasi yang diberikan semuanya baik.
Hal lain yang juga disorot adalah soal konteks berbagi tugas antara presiden dan wapres. Konteks ini memang mencuat setelah muncul selentingan yang menyebutkan bahwa jangan-jangan memang tak banyak porsi tugas yang diberikan kepada sang wapres.
Pada November 2019 lalu, Jokowi memang pernah menyebutkan bahwa dirinya memberikan tugas pada Ma’ruf untuk mengurusi bidang pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan urusan ekonomi. Hal-hal spesifik seperti stunting atau terhambatnya tumbuh kembang anak, kemiskinan, kebencanaan dan pendidikan juga disebut menjadi tanggung jawab Ma’ruf.
Namun, sepertinya tak banyak hal signifikan yang tampak kepada publik dari pembagian tugas tersebut. Ma’ruf hanya tercatat cukup banyak berkomentar soal sertifikasi perkawinan yang menurutnya menjadi jalan untuk mengatasi stunting.
Maka, tak heran kritikan pun kemudian berdatangan kepada sang kiai. Ma’ruf sendiri beralasan bahwa dirinya tak ingin dianggap dominan. Sebab, jika ia dominan, maka dirinya dan Jokowi akan terlihat sebagai “dua matahari”.
Konteks dua matahari atau matahari kembar ini mengingatkan publik pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Kuatnya posisi JK kala itu memang membuat terminologi matahari kembar itu sempat mencuat ke hadapan publik.
Walaupun demikian, di banyak negara demokrasi di dunia, posisi wakil presiden memang dianggap cenderung lemah. Profesor ilmu politik dari Rhodes College di Memphis, Tennessee, Michael Nelson bahkan menyebutkan ada semacam “kutukan” terhadap wakil presiden.
Konteks kutukan tersebut bisa dilihat dari posisi politik seorang tokoh yang dianggap cenderung melemah justru ketika ia menjabat sebagai wakil presiden. Ia mencontohkan Albert Arnold Gore Jr. alias Al Gore, wakil presiden AS di era kepemimpinan Bill Clinton (1993-2001).
Al Gore awalnya dianggap punya kekuatan politik yang memadai untuk mampu menjadikannya sebagai presiden selanjutnya. Namun, ketika ia dipilih oleh Clinton sebagai wapres, citra politik Al Gore dianggap turut terpengaruh citra politik sang presiden yang di akhir-akhir masa jabatannya memang dipenuhi skandal. Ia pun gagal meraih kursi kekuasaan, sekalipun hasil Pilpres melawan George W. Bush di tahun 2000 adalah salah satu yang paling ketat dalam sejarah AS.
Tanpa karakter politik yang kuat dari sang wakil presiden, maka bisa dipastikan kutukan wakil presiden ini menjadi hal yang akan selalu terjadi.
Gloria Steinem, feminis dan aktivis sosial politik asal AS, bahkan pernah menyebutkan bahwa posisi Menteri Luar Negeri (Menlu) jauh lebih superior dibandingkan wakil presiden karena selalu berdinamika dalam penyelesaian berbagai persoalan negara. Sementara, posisi wakil presiden cenderung statis dan ada dalam mode stand by.
Artinya, boleh jadi kondisi tersebut memang yang kini tengah dialami oleh Ma’ruf Amin. Karena sifatnya yang menjadi “pengganti” presiden, maka hal tersebut dengan sendirinya meredupkan peran wakil presiden. Konteksnya akan makin terasa ketika sang presiden adalah orang dengan citra kuat seperti Jokowi.
Menanti Pion Sang Kiai
Sejarawan AS, Arthur Schlesinger Jr. dalam salah satu tulisannya di Majalah Atlantic edisi Mei 1974 mempertanyakan penting atau tidaknya posisi wakil presiden tersebut. Ia bahkan secara agak sarkastik menyebutkan bahwa satu hal serius – jika bukan satu-satunya – yang harus dilakukan oleh seorang wakil presiden adalah menunggu mangkatnya sang presiden.
Apa pun itu, yang jelas Ma’ruf Amin boleh jadi tengah mengalami hal yang sama alias sedang terkena kutukan wakil presiden tersebut. Konteksnya makin parah mengingat usianya yang sudah cukup sepuh, ditambah pendekatan politiknya yang tidak sefrontal sosok seperti JK yang terkenal vokal saat menjabat wakil presiden.
Publik tentu menanti kiprah Ma’ruf yang lebih dominan, minimal mendekati apa yang dilakukan oleh JK di periode sebelumnya.
Kesan yang saat ini didapat oleh masyarakat adalah dominannya peran sosok lain, misalnya Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang justru terlihat mengambil banyak peran JK di periode sebelumnya. Tak heran, banyak juga yang justru menyebutkan bahwa Luhut-lah yang sebetulnya menjalankan peran sebagai wapres.
Bagaimanapun juga, tuduhan bahwa Ma’ruf hanya menjadi simbol dan alat politik Jokowi untuk mendapatkan simpati masyarakat dari komunitas muslim di Pilpres 2019 kini semakin mendapatkan pembenarannya.
Bagi Jokowi, boleh jadi hal ini menguntungkannya secara politik. Ia tak perlu terusik dengan keberadaan kekuatan politik lain di pemerintahannya. Mungkinkah itu berarti justru Jokowi yang ingin dan sengaja membuat Ma’ruf tak terlalu dominan?
Tak ada yang tahu pasti. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.