“Kan abah (panggilan akrab Ma’ruf Amin) belum bergerak, belum kampanye. Kalau nanti Abah kampanye, wuih,” Erick Thohir, Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]ampanye memang menjadi jantung dalam setiap momen-momen politik layaknya pesta demokrasi lima tahunan. Oleh karenanya, kampanye pada kadar tertentu menjadi faktor dominan yang menentukan popularitas dan keterpilihan seorang kandidat.
Persoalan kampanye ini tidak hanya menjadi tanggung jawab tim pemenangan, namun juga bagi kandidat yang akan bertarung. Di masa-masa kampanye menjelang Pilpres, performa kandidat menjadi penting demi memaksimalkan suara pemilih.
Dalam konteks politik Indonesia menjelang Pilpres 2019, hal ini terungkap ketika Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Erick Thohir, menyebut stagnasi elektabilitas Jokowi-Ma’ruf Amin karena sang Cawapres belum melakukan kampanye.
Namun, apa yang dituduhkan Erick kemudian dibaca oleh kubu oposisi sebagai bentuk kekhawatiran tersendiri. Hal ini diungkap oleh Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, Ferdinand Hutahaean yang menyebut pernyataan ketua TKN soal Ma’ruf Amin tersebut sebagai bentuk tanda-tanda kekalahan.
Mungkinkah Jokowi terjebak oleh pilihannya sendiri? Share on XMenarik untuk membahas cuitan Ferdinand ini ketika dibenturkan dengan sosok Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden yang idealnya memiliki dampak sigifikan terhadap elektabilitas sang petahana. Dalam konteks tersebut, mungkinkah Ma’ruf Amin memang tak memiliki pesona dan performa secara politik untuk membantu naiknya elektabilitas petahana?
Rajin Berkampanye
Kritik muncul dari kubu oposisi terkait peran Ma’ruf selama ini yang dianggap telah all out. Melalui Ferdinand Hutahaean, Kiai sepuh mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu, bahkan sudah mengunjungi desa-desa yang jauh dari ibu kota.
Jika memang demikian, namun mengapa justru elektabilitas Jokowi mengalami stagnasi?
Jika dilihat dari performa Ma’ruf, memang ia rajin berkampanye. Namun sayangnya, kampanye ini sebagian besar dilakukan di lingkungan pesantren.
Pemain cadangan siap siap di pinggir lapangan…. https://t.co/nU4us51krZ
— 8. Ir. M. Adamsyah WH, M.Si. (@DonAdam08) December 10, 2018
Contohnya ia sempat mengunjungi dua pondok pesantren di Yogyakarta yakni Pondok Pesantren Ali Maksum dan Pondok Pesantren Al Munawwir. Sementara itu, di Jawa Timur, ia juga memaksimalkan jadwal kampanyenya hanya dengan mengunjungi beberapa pesantren. Mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu telah mengunjungi beberapa Pondok Pesantren yang tersebar di Jember, Probolinggo, Pasuruan dan Sidoarjo, Mojokerto, dan Madura.
Kondisi tersebut yang pada akhirnya yang memunculkan spekulasi bahwa Ma’ruf selama ini hanya terbatas dikenal di kalangan muslim, itupun juga tak semua muslim.
Hal tersebut selaras dengan apa yang sempat diramalkan oleh Greg Fealy, Indonesianis asal negeri kangguru dalam tulisannya berjudul Ma’ruf Amin: Jokowi’s Islamic defender or deadweight? yang menyebut bahwa Ma’ruf akan menjadi wakil presiden dengan wewenang terbatas karena memiliki pengetahuan yang terbatas tentang pemerintahan dan sedikit keahlian kebijakan selain menyoal Islam dan masalah ekonomi berbasis syariah.
Kondisi tersebut pada akhirnya mengeksklusi sosok Ma’ruf dari kalangan luas. Terlebih, posisinya sebagai wakil presiden harusnya lebih krusial dan lebih inklusif dalam melakukan kampanye politik.
Lalu mungkinkah ada faktor penting yang menyebabkan Ma’ruf tak bisa begitu impresif dalam berkampanye?
Usia dan Kesehatan, Dua Isu Penting
Pemilihan sosok Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi petahana memang telah diramalkan problematis sejak awal. Tak sedikit pula yang kecewa dan pesimis dengan keputusan politik tersebut.
Selain meragukan kapabilitas sosok Ma’ruf Amin secara profesional, nampaknya keputusan menggandeng Ma’ruf hanya sebatas perhitungan politik jangka pendek saja.
Dalam konteks ini, terdapat dua isu penting yang menyebabkan Ma’ruf setidaknya sulit untuk dieksplorasi sumber daya politiknya selain ketokohannya sebagai ulama yang diyakini mampu meredam gejolak resistensi dari kelompok islam konservatif.
Yang pertama terkait dengan kesehatan sang ulama. Kesehatan Ma’ruf Amin menjadi sorotan publik ketika hal tersebut menjdi batu sandungan yang menyebabkannya absen di sejumlah acara kampanye di daerah.
Kyai Maruf Amin dah keluar masuk pesantren dan minta dukungan sana sini masih dibilang belum kampanye ama @erickthohir ! Tega!
Apa Pak Kyai suruh jingkrak-jingkrak kek @sandiuno gtu?kan keliatanya gak mungkin!
Duhhhh ngenes mbah! ?#2019GantiPresiden
— ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ (@RajaPurwa) December 10, 2018
Seperti d kutip CNN Indonesia, memang Ma’ruf coba menyiasati kampanye dengan menggelar acara di kediaman pribadinya. Namun, sejak jadwal terakhirnya berkunjung ke Provinsi Lampung, tercatat sudah 12 hari Ma’ruf tak kampanye bertemu masyarakat di luar kediamannya.
Dalam politik, kesehatan merupakan persoalan penting yang tak boleh dianggap remeh, karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap performa seorang kandidat.
Robert S. Robins dan Jerrold Post dalam bukunya berjudul When Illness Strikes the Leader menyebut bahwa isu kesehatan seorang pemimpin politik juga dapat memiliki dampak politik yang juga cukup signifikan.
Ia mencontohkan ketika sosok Lenin menjadi terlalu lemah karena penyakitnya, ia kehilangan momentum untuk menyingkirkan Stalin dari kekuasaan.
Ia juga mencontohkan ketika Syah Iran yang menderita kanker dan pada suatu saat akan berdampak pada kekuasaan politiknya.
Hingga pecahnya revolusi Islam, Ayatollah Khomeini berhasil membongkar kelemahan rezim sebelumnya karena penyakitnya, dan konsekuensi politiknya sangat monumental, yakni berakhirnya kekuasaan Syah Iran.
Dalam konteks Ma’ruf Amin, tentu hal serupa juga berpotensi menjadi batu ganjalan bagi Ma’ruf ketika kelemahannya diketahui oleh publik, terutama pemilihnya.
Sedangkan isu kedua merupakan usia. Seperti diketahui, Ma’ruf Amin bisa dikatakan salah satu politisi tertua yang masih memiliki hasrat untuk berkuasa menjadi wakil presiden. Ma’ruf yang saat ini telah berumur 75 tahun, tentu akan semakin sulit untuk mengeksplorasi daya tariknya sendiri.
Hal ini sejalan dengan pendapat Rolfe Daus Peterson dan Carl L. Palmer dalam Effects of physical Attractiveness on Political Beliefs yang menyebut bahwa daya tarik fisik merupakan faktor politik yang penting. Dalam konteks ini, kandidat politik yang lebih menarik secara fisik lebih mungkin untuk memunculkan ketertarikan pemilih.
Oleh karenanya, dua faktor yakni kesehatan dan usia seorang politisi akan sangat mendeterminasi daya tarik politisi. Lalu dalam waktu sisa kampanye yang tinggal menghitung bulan ini, mungkinkah Ma’ruf berhasil menaikkan elektabilitas Jokowi secara signifikan?
Kampanye 2019, Ma’ruf Kewalahan ?
Setelah mengeluarkan pernyataan blunder terkait Ma’ruf Amin, Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi – Ma’ruf Amin, Erick Thohir menyampaikan bahwa kampanye calon wakil presiden Ma’ruf Amin akan dijadwalkan masif mulai awal tahun 2019.Ia bahkan mengklaim bahwa sang kiai akan memberikan kejutan-kejutan.
Benarkah bahwa sang kiai akan memunculkan kejutan-kejutan politik? Mungkinkah Ma’ruf akan mampu tampil all out di sepanjang bulan-bulan mendekati pilpres nanti?
Bung Erick tampak perkasa bahkan mendominasi posisi pak Cawapres.
Sy koq iba dgn pak Kyai Maaruf sprt ini. Di tuding ngga kampanye, didatangi dgn cara sprt bos datangi staff.
Semoga anak bangsa melihat ini semua..!!https://t.co/ie7agtk68S
— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) December 10, 2018
Nampaknya menciptakan Ma’ruf Amin effect tak akan semudah menyaingi popularitas Sandiaga effect. Dapat diramalkan bahwa sang kiai akan kewalahan menghadapi jadwal berbagai kampanye di tahun depan. Tentu saja alasannya terdapat pada dua hal yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni faktor usia dan kesehatan.
Dalam konteks ini, pada kadar tertentu, faktor usia dan kesehatan akan sangat berpengaruh terhadap performa seorang kandidat secara politik.
John Corner dalam jurnalnya Mediated Persona and Political Culture: Dimensions of Structure and Process menyebut performa politik sangat dipengaruhi oleh tiga hal antara lain iconic, vocal and kinetic.
Dalam konteks ini, iconic adalah bagian dari ‘kepribadian politik’ yang lekat dengan popularitas seorang politisi. Sementara dalam konteks vocal, adalah indikator bagaimana retorika seorang politisi mampu mempengaruhi atensi publik dan menghasilkan dukungan.
Yang terakhir adalah faktor kinetic yakni kemampuan politisi dalam berinteraksi dengan melakukan safari politik dan kampanye door to door.
Dari semua indikator, nampaknya sulit bagi politisi berumur sekelas Ma’ruf Amin untuk merealisasikannya di kampanye mendatang. Mengingat bahwa ia tak memiliki identitas kemudaan maupun sosok politisi yang populer.
Selain itu, ia juga tak cukup prima secara kesehatan dengan jadwal kampanye yang idealnya padat dan memerlukan energi yang cukup besar.
Apalagi, jika pun pada akhirnya Ma’ruf berkampanye seperti dijanjikan Erick, pengaruh elektabilitasnya masih dipertanyakan. Pada survei yang dirilis LSI Dennny JA misalnya, suara Jokowi mengalami penurunan sebanyak 1,4 persen setelah dipasangkan dengan Ma’ruf Amin.
Selain itu, tampilnya Ma’ruf di depan publik sering kali berbuah blunder. Mantan Rais Aam PBNU ini misalnya pernah menyebut mobil Esemka akan segera diproduksi massal.
Padahal hal ini belum juga terlaksana. Hal serupa berlaku ketika ia menggunakan istilah buta dan budeg yang memicu kontroversi karena dianggap tidak sensitif pada penyandang disabilitas.
Pada akhirnya, kemampuan fisik Ma’ruf akan menjadi hambatan serius bagi petahana. Bisa saja sinyal yang dilontarkan oleh oposisi terkait mandegnya elektabilitas Jokowi menjadi peringatan besar bagi Tim Kampanye Nasional. Jika memang demikian, mungkinkah Jokowi terjebak oleh pilihannya sendiri? (M39)