Diskursus dan survei elektabilitas calon wakil presiden (cawapres) 2024 mulai mengemuka. Lalu, apakah preseden penunjukan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dapat merepresentasikan taktik operasi intelijen politik di edisi 2024?
Sejauh ini, sosok calon presiden (capres) menjadi perbincangan hangat jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang semakin dekat.
Bersamaan dengan itu, pembahasan dan jajak pendapat sosok cawapres dari sudut pandang à la carte atau terpisah dari konteks pasangan calon (paslon) juga mulai mengemuka dalam beberapa waktu terakhir.
Teranyar, Charta Politika merilis hasil survei cawapres terfavorit di tiga provinsi di Pulau Sumatera, yakni Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Sumatera Utara.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno tercatat menjadi cawapres dengan elektabilitas nomor wahid di tiga provinsi tersebut. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil bersaing ketat di belakang Sandi.
Diskursus cawapres sendiri tampaknya akan terus memikat. Apalagi, belakangan terdapat beberapa kisah yang menguak bahwa sejumlah tokoh prominen nyatanya hampir menjadi kandidat wakil presiden (wapres).
Salah satunya datang dari sebuah buku berjudul Panda Nababan, Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran kekuasaan, yang menyebut Luhut Binsar Pandjaitan nyaris menjadi duet Joko Widodo (Jokowi) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Hasrat Luhut cukup serius kala itu ketika membentuk Tim Bravo 5 yang terdiri dari abiturien AKABRI ’70, angkatan Luhut. Namun, pada akhirnya sosok yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) itu urung dan memfokuskan Bravo 5 untuk menyokong Jokowi.
Sebelumnya, Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik juga telah merilis kandidat cawapres meskipun dalam format pasangan calon. Tercatat ada nama AHY, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Erick Thohir, Ridwan Kamil, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Habib Luthfi bin Yahya, serta putra sulung Megawati Soekarnoputri, yakni Mohammad Rizky Pratama atau Tatam.
Dua nama terakhir mungkin cukup menarik karena sangat jarang masuk dalam bursa cawapres. Akan tetapi, baik Habib Luthfi maupun Tatam punya peluang untuk mengulangi kejutan terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi pada Pilpres 2019.
Intrik di menit akhir yang melibatkan kandidat kuat lain yaitu Mahfud MD ketika itu membuat esensi cawapres memiliki lebih banyak ruang untuk ditelaah pada pilpres edisi mendatang.
Itu agaknya akan menambah variabel “pemanas” dalam diskursus dan survei cawapres secara spesifik yang terus mengemuka.
Lantas, mengapa sosok cawapres menjadi penting? Apakah preseden intrik pencalonan Ma’ruf Amin plus kinerjanya saat ini akan memengaruhi Pilpres 2024?
Bukan Sekadar Pelengkap?
Di atas kertas, karakteristik cawapres tampak memiliki nilai lebih, baik di hadapan konstituen, partai politik, serta capres itu sendiri.
Hal itu sebagaimana dijabarkan Christopher J. Devine dan Kyle C. Kopko dalam buku berjudul Do Running Mates Matter?: The Influence of Vice Presidential Candidates in Presidential Elections.
Devine dan Kopko menjelaskan esensi cawapres sebagai running mate effects yang dianggap cukup vital dalam upaya pemenangan calon kepala negara.
Pertama, dari sudut pandang sang capres. Sosok wakil dikatakan cenderung merepresentasikan keyakinan bahwa mereka dapat memperoleh suara, atau bahkan memenangkan pemilihan, berdasarkan pilihan pasangan yang tepat.
Itu mengacu pada tujuan komplementer akumulasi kapital politik, serta meningkatkan daya tarik kepada pemilih, termasuk target pemilih dalam kelompok geografis, demografis, atau ideologis tertentu.
Kedua, dilihat dari perspektif pemilih, cawapres akan dihantui tanda tanya apakah dapat merepresentasikan mereka secara politik dan memiliki kecocokan atau chemistry dengan capres.
Ditambah, dalam konteks sistem multipartai Indonesia, kesepakatan parpol dalam “jatah” cawapres kiranya dapat menjadi esensi ketiga di luar apa yang disebutkan Devine dan Kopko.
Dalam buku tersebut, keduanya juga memberikan gelaran Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 sebagai sampel analisis akan pentingnya sosok cawapres.
Mike Pence yang menjadi wakil Donald Trump dan Tim Kaine yang menjadi pendamping Hillary Clinton disebut punya karakteristik signifikan yang menentukan hasil akhir pertarungan menuju Gedung Putih.
Impresi debat cawapres dikatakan memiliki pengaruh dalam menentukan arah undecided voters atau pemilih yang belum menentukan sikap sejak awal.
Secara personal, masing-masing juga punya kontribusi dalam dimensi yang berbeda. Pence dianggap punya andil merangkul koneksi kuat, yakni para donor besar yang berpengaruh secara politik.
Sementara di sudut seberang, meski kalah dari Trump, Kaine dianggap membantu Hillary memenangkan suara di negara bagian Virginia, penganut Katolik, serta masyarakat keturunan Latin.
Kembali ke Indonesia, peneliti politik dari Universitas Airlangga, Suko Widodo turut menyatakan hal serupa. Bahkan, menurutnya peranan cawapres cukup penting dan signifikan dalam mendokrak suara dalam pertarungan yang diprediksi akan berlangsung sengit.
Lebih lanjut, Suko menyebut Pilpres 2024 akan ditentukan oleh suara kalangan muda, termasuk korelasinya dengan impresi cawapres.
Jika mengacu pada komposisi pemilih, segmen milenial dan generasi Z diperkirakan akan mencakup 60 persen dari total suara konstituen di pesta demokrasi 2024. Dengan kata lain, kesan pemilih muda akan sosok cawapres boleh jadi akan turut memengaruhi hasil akhir Pilpres.
James Tilley dalam Hard Evidence: do we become more conservative with age? menyebutkan bahwa milenial dan generasi Z memiliki karakteristik tersendiri dalam menginterpretasikan politik. Media sosial, misalnya, menjadi wadah utama interaksi dan penerimaan informasi mereka sebagai digital natives.
Secara politik, dua kelompok itu dinilai Tilley cenderung menganut social liberalism atau liberalisme sosial yang menjunjung tinggi perluasan hak sipil dan politik.
Merujuk pada hal itu, kiranya dapat disimpulkan bahwa pilihan politik kelompok muda terhadap representasi politik dan aktor di dalamnya adalah mereka yang beraliran moderat, inklusif, dan cepat beradaptasi.
Dalam beberapa kasus, karakteristik milenial dan generasi Z agaknya tidak jarang memengaruhi perilaku generasi sebelumnya, terutama dalam meleburnya persepsi di media sosial sebagai instrumen interaksi utama yang kini terus diisi berbagai kelompok usia.
Artinya, tak keliru kiranya untuk mengatakan bahwa di atas kertas, terdapat benang merah antara sosok cawapres dan konstruksi perspektif dari pemilih lintas generasi dalam keseluruhan pertarungan elektoral pemimpin kepala negara.
Lalu, bagaimana kecenderungan dan pengaruh esensi itu terhadap Pilpres 2024 mendatang?
Efek Ma’ruf Amin?
Jika penjabaran sebelumnya menunjukkan signifikansi cawapres dan aspek keterpilihannya di atas kertas, secara praktik hal yang berbeda agaknya akan terjadi, terlebih dalam konteks Indonesia. Mengapa demikian?
Preseden penunjukan di menit akhir sosok Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi kiranya dapat menjadi contoh paling konkret untuk menjadi titik tolak pengaruh kandidat pendamping capres secara kontekstual.
Di dalam setting ekosistem multipartai, faktor impresi pemilih – generasi apapun itu – terhadap cawapres tampaknya tidak akan jadi pertimbangan utama aktor politik.
Pemilih tidak punya pilihan lain ketika koalisi parpol punya kuasa penuh menentukan capres dan cawapres.
Koalisi parpol tampaknya cenderung memilih kandidat berdasarkan kalkulasi dan kepentingan para aktor politik di dalamnya semata. Hal ini selaras dan tersirat dalam artikel Pinter Politik sebelumnya yang berjudul Operasi Intelijen di Balik Pilpres 2024.
Antropolog AS Clifford Geertz dalam bukunya Negara Teater menyebut pertunjukan kekuasaan di Indonesia tak ubahnya seperti teater yang memperlihatkan dan memainkan simbol-simbol.
Menurut Geertz, rakyat atau pemilih seperti tidak punya pilihan dan kehilangan daya kritis, sehingga larut begitu saja dalam lakon kekuasaan. Hal ini kiranya juga terjadi dalam penentuan sosok cawapres.
Lagi-lagi, pada Pilpres 2019, tidak ada “cek ombak” berarti ketika Ma’ruf Amin serta-merta keluar sebagai pasangan Jokowi. Pun demikian dengan case Sandiaga Uno yang menjadi “kompatriot” Prabowo Subianto.
Dengan demikian, realitasnya, pemilih akhirnya harus memilih nama-nama yang ditentukan parpol suka ataupun tidak.
Selain itu, eksistensi nama calon seolah juga disusupkan atau diinfiltrasi ke memori masyarakat layaknya sebuah operasi intelijen. Bahkan, kecenderungan tersebut tampaknya dilakukan sejak dini lewat baliho dan berbagai gelombang narasi sosok tertentu secara berkesinambungan.
Tidak jarang, infiltrasi itu agaknya diiringi dengan preseden-preseden pemilu di edisi sebelumnya. Terbaru, komparasi dengan Ma’ruf Amin digaungkan oleh selebriti kontroversial yang juga politisi Partai Bulan Bintang (PBB) Aldi Taher ketika mempromosikan diri sebagai kandidat cawapres pendamping Anies Baswedan.
Meskipun jamak dianggap sebagai bahan lelucon, segala dimensi dari “efek Ma’ruf Amin” bisa saja menjadi bagian dari strategi infiltrasi untuk menelurkan sosok cawapres dari para aktor lainnya menuju kompetisi elektoral mendatang.
Lalu, bagaimana signifikansi dan penentuan sosok cawapres di Pilpres 2024? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)