Ada mitos bahwa Sumatera Utara justru tak dapat dimenangkan oleh orang Batak.
PinterPolitik.com
PDIP akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Djarot dalam gelaran Pilkada Sumut 2018. Partai berlambang banteng ini, seperti biasa, menjadi partai terakhir yang mengumumkan pencalonan kadernya di Pilkada. Sementara itu, sudah ada setidaknya dua poros calon gubernur lain yang namanya telah bergaung sebelumnya.
Petahana Tengku Erry yang adalah kader Partai Nasdem, saat ini disinyalir juga dekat dengan PKB dan PKPI. Namun, pencalonan Erry dinilai akan terhambat karena partainya sendiri justru berpindah haluan ke Edy Rahmayadi, dan sisa partai lainnya tak memenuhi minimal kursi yang ia butuhkan.
Edy Rahmayadi, sebagai kandidat yang telah cukup lama ‘menjual nama’ dan dinilai cukup kuat, kemudian berpasangan dengan Musa Rajeksha atau Ijeck. Keduanya diusung oleh Gerindra, PKS, PAN, Golkar, dan terakhir Nasdem. Disinyalir pula, Hanura akan segera turut mendukung Edy-Ijeck karena Ketua DPD Hanura Sumut merupakan sepupu Ijeck.
Pak.. PSSI gimana?
S E E N A K J I D A T ?
— Rish (@farrisharya) January 8, 2018
PDIP kemudian jadi poros ketiga, dengan mendatangkan Djarot Saiful Hidayat dari tanah Jawa, yang terlebih dulu ‘transit’ ke Kalimantan Timur. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak. Sebabnya, sudah ada sejumlah nama kader PDIP dari tanah Batak yang memiliki reputasi yang baik dan cukup diperhitungkan, seperti Maruarar Sirait atau Effendi Simbolon.
Tanda tanya ini akhirnya membuat pihak PDIP bahkan Megawati sendiri buka suara membeberkan alasannya. Djarot dinilai sebagai pemimpin yang bersih dan menjadi kontrafigur dari gubernur Sumatera Utara yang sudah dua periode terakhir selalu terjerat korupsi. Lebih jauh, Mega sendiri mengatakan ‘kasihan’ karena Djarot menganggur paska di DKI.
Tanpa Mega menyebut nama Ahok, sudah cukup tercium pula ada popularitas Ahok di belakang pencalonan Djarot ini. Ini kemudian ditegaskan oleh Djarot yang menyebut dirinya mendapat ‘restu’ Ahok dari balik jeruji besi.
Kira-kira, apa pilihan rasional PDIP mengusung Djarot di Sumut? Lantas, mau dikemanakan kader PDIP yang asli dari tanah Sumut seperti Maruarar?
Putera Daerah Kini Penting di Sumut
Lanskap kependudukan di Sumatera Utara sesungguhnya sangat heterogen. Penduduk asli Sumut saja terpecah menjadi sejumlah cabang suku bangsa, seperti Batak Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Nias, dan suku-suku lainnya. Belum lagi suku ‘pendatang’ seperti Jawa, Aceh, Minangkabau, dan Tionghoa yang juga mewarnai preferensi politik masyarakat Sumut.
Hal ini sangat tampak di ibu kota provinsi, Medan, di mana dalam sejarahnya banyak migran dari daerah luar Sumut yang datang ke kota ini. Akibatnya, komposisi masyarakat Kota Medan beragam, terdiri dari empat suku bangsa terbesar, yakni Batak, Minangkabau, Aceh, dan Jawa. Identitas etnis ini juga bercampur dengan agama, menjadikan Medan sangat mirip dengan Jakarta.
Masing-masing dari sub-suku bangsa ini memiliki tokoh-tokoh adat dengan preferensi partai politik dan dukungan yang berbeda, yang membuat suara orang Batak tepecah. Ini terlihat sejak Pilkada 2013, di mana empat cagub dengan marga Batak kalah dari Gatot Pujo Nugroho yang adalah orang Jawa.
Relasi tokoh adat yang berbeda-beda dengan partai politik yang juga berbeda-beda, ternyata tak menguntungkan calon independen. Bila mengutip cerita Djarot, Ahok sendiri sebenarnya pernah ingin maju di Sumut melalui jalur independen pada 2008, namun tak berhasil mengumpulkan jumlah KTP minimal. Begitu pula pada Pilkada kali ini, sempat terdengar nama tokoh sosial Sumut Abdon Nababan, yang gagal maju karena tak berhasil mengumpulkan jumlah minimal KTP.
Keberagaman di dalam suku bangsa Batak sendiri nyatanya membuat orang Batak sulit memimpin Sumut. Sebaliknya, calon non-Batak akan kuat didukung oleh masyarakat pendatang non-Batak.
Namun, Pilkada kali ini sepertinya memiliki konfigurasi berbeda. Tengku Erry dan Edy Rahmayadi bukan orang Batak. Tengku Erry adalah pendatang dari Sumatera Barat, sementara Edy adalah orang Jawa yang lahir di Aceh, dan berkarir militer di Sumut.
Dari pemetaan ini, ada kemungkinan memajukan orang Batak merupakan cara yang lebih efektif untuk menang, karena perbedaan sub-suku bangsa dapat dipersatukan oleh satu calon tersebut.
Berbeda dengan Pilkada 2013 yang dijejali pilihan calon dengan marga Batak, pada Pilkada kali ini calon Batak sesungguhnya sangat mungkin mengerucut menjadi satu nama saja. PDIP, sebagai partai terakhir yang mengusung calon seharusnya dapat melihat ini.
Politisi karir PDIP dari Sumut, Maruarar Sirait (Ara) adalah calon yang digadang-gadang sangat populer dan memiliki basis yang kuat di kalangan anak muda. Ara sendiri sudah beberapa kali dipasangkan untuk simulasi pencalonan, misalnya dengan anak dari Ketum Nasdem, Prananda Paloh. Popularita Ara juga sudah dimanifestasikan dalam bentuk kelompok relawan, TemanAra.
Bahkan, Ara telah didukung oleh sejumlah tokoh PDIP Sumut yang berkarir di pusat, seperti Sukur Nababan dan Junimart Girsang. Lebih-lebih, dukungan juga datang dari Ketua DPD PDIP Sumut Japorman Saragih, yang menyebut Ara intelek dan berintegritas.
Di samping itu, ada nama politisi DPR lainnya, Effendi Simbolon. Effendi juga memiliki modal yang cukup kuat, katakanlah, 24 persen penduduk Sumut yang mendukungnya pada Pilkada Sumut 2013. Belum lagi, walau tanpa menyebut dirinya berminat maju lagi di Sumut, elektabilitasnya terus meningkat dan melawati petahana sepanjang tahun 2017 lalu.
Tidakkah sebaiknya PDIP memperhitungkan kadernya yang asli Batak, seperti Maruarar dan Effendi, sebagai bagian dari strategi politik yang jitu? Atau, adakah faktor lain yang mempengaruhi keputusan Megawati?
Determinasi Ahok atas Peluang Djarot
Narasi mengenai Ahok ternyata juga sangat kuat di Sumut. Kiprah Ahok di DKI dinilai positif oleh sebagian warga asli Sumut (etnis Batak) yang menetap di Sumut. Begitu pula di Jakarta, menurut survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), 89 persen orang Batak di Jakarta adalah pemilih Ahok. Ini berarti ada relasi suku bangsa—atau mungkin agama—yang menyebabkan orang-orang Batak setia mendukung Ahok.
Namun, di sisi sebaliknya, Ahok pun cukup kontroversial di tanah Sumut. Di samping ada aksi seribu lilin dan aksi #saveAhok lainnya, Aksi Bela Islam juga muncul di Sumut, terutama di kota Medan, ibu kota provinsi dengan penduduk terbanyak, di mana keragaman identitas lebih tinggi dan Islam menjadi mayoritas.
Oleh karena itu, memang Djarot perlu berhati-hati mendompleng popularitas Ahok di Sumut. Ahok adalah koin dengan dua sisi, bisa menguntungkan di mata mayoritas Batak, tapi bisa juga merugikan karena menjadi perlawanan dari komunitas Islam yang juga mayoritas di Sumut.
Jelas sekali berjualan nama Ahok, dengan sedikit gambling tentunya, adalah hal yang masuk akal di benak Megawati Soekarnoputri. Namun sekali lagi, kenapa tidak memajukan kader Batak dengan perhitungan strategi yang lebih tepat?
Maruarar dan Effendi pun sebenarnya dekat dengan Ahok, walaupun tidak dapat diasosiasikan langsung seperti halnya Djarot dengan Ahok. Namun di samping itu, Maruarar dan Effendi adalah kader ‘sakit hati’ yang didepak oleh Megawati dari kepengurusan DPP PDIP sejak 2015. Sangat kuat terindikasi, dipecatnya keduanya adalah karena ketidaksukaan Megawati kepada mereka—selain juga karena banyak yang menyebut mereka cenderung lebih dekat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Di samping faktor itu, Mega masih menjadi pemimpin partai dengan keputusan yang sangat top-down dan tidak bisa menyerap aspirasi dari DPD partai di daerah.
Lalu, bagaimana menerka peluang Djarot?
Dapat diprediksi, Djarot akan dijual dengan kinerjanya di Jakarta. Nama Djarot akan disebut sebagai ‘gubernur anti-korupsi’ dan sebagai kawan Ahok yang juga ‘gubernur anti-korupsi’. Sebaliknya, Tengku Erry—bila berdiri menjadi poros sendiri—akan melekat citranya dengan mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho yang adalah ‘gubernur korupsi’.
Tapi, bila sisa-sisa partai pendukung Tengku Erry seperti PKB dan PKPI akhirnya masuk ke kubu PDIP—yang mana sangat mungkin terjadi—maka nama Tengku Erry akan dipoles bersama Djarot sebagai tokoh yang bersih. Djarot yang elektabilitasnya masih rendah bisa saja disandingkan dengan Tengku Erry, karena popularitas dan elektabilitas Tengku Erry yang sudah tinggi.
Sementara itu, hal ini kontras dengan Edy Rahmayadi yang bahkan baru masuk ke arena politik. Sekalipun adalah pemain baru, Edy telah lama mengumpulkan modal di Sumut dan mendapatkan setidaknya 20 persen elektabilitas dan enam partai pendukung dari DPRD Sumut.
Maka, bisa saja pertarungan di Sumut kembali dilakoni oleh kubu PDIP dengan Djarot melawan kubu Gerindra dengan Edy. Edy yang sudah punya modal besar di Sumut, namun belum berpengalaman memegang daerah, akan berhadapan dengan Djarot yang menjual nama Ahok dan dikenal sebagai kepala daerah mumpuni, tapi tanpa modal di Sumut.
Padahal, ada pilihan bagi PDIP untuk mengusung calon tokoh nasional, yang berasal dari Sumut, yang dekat pula dengan Ahok, sekalipun tanpa pengalaman memimpin daerah. Semua seharusnya diperhitungkan dengan strategi meraih pemilih Batak yang setia.
Tapi, semua akan kembali kepada pemahaman awal, bahwa PDIP adalah Megawati Soekarnoputri. Segala keputusan yang dipilih sudah pasti diimani dan didukung oleh anak-anak Mama, sekalipun itu para anak ‘nakal’ di mata Mama, seperti Maruarar Sirait dan Effendi Simbolon. (R17)