Pasca bertemu elite PDIP, Ketua Majelis Pertimbangan PPP Muhammad Romahurmuziy atau Rommy menyebut Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) pada akhirnya bisa saja berbeda aspirasi. Lalu, mengapa Rommy melakukan manuver itu?
Setelah lama tak terdengar, eks Ketua Umum (Ketum) yang kini menjabat Ketua Majelis Pertimbangan PPP Muhammad Romahurmuziy menyiratkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bisa saja berakhir antiklimaks.
Sosok yang akrab disapa Rommy itu menilai KIB yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP masih dilanda kebuntuan dalam menentukan capres-cawapres.
Aspek realistis menjadi titik tolak Rommy yang berharap KIB segera mendekat ke capres-cawapres potensial, seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, maupun Prabowo Subianto.
Dengan realita bahwa hingga saat ini masing-masing entitas di KIB memiliki capres-cawapres jagoan masing-masing, potensi keluar masuk partai politik (parpol) koalisi itu disebutnya cukup terbuka.
Menariknya, pernyataan Rommy itu tampaknya berangkat dari manuver tertentu. Pada 1 Maret lalu, Rommy diketahui menjalin komunikasi dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto di Kantor DPP PDIP Jakarta.
Itulah yang membuat reaksi bantahan dari parpol di KIB cukup tegas, termasuk dari Ketum PPP Muhammad Mardiono yang menegaskan partainya tetap solid di koalisi.
Sementara itu, para elite di Partai Golkar dan PAN cukup beragam dalam merespons sang Ketua Majelis Pertimbangan PPP itu.
Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono, misalnya, menilai dinamika internal KIB bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan. Senada dengan Mardiono, dia mengatakan Partai Golkar yakin KIB akan solid menuju kemenangan di 2024.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN Viva Yoga Mauladi mengaku informasi soal ajakan PDIP kepada PPP untuk berkoalisi telah didapatkannya.
Namun, Viva seakan masih optimis jika dinamika itu dapat berujung pada masuknya PDIP ke KIB, terlepas dari capres-cawapresnya kelak.
Di sudut lain, Hasto mengatakan pertemuannya dengan Rommy bukanlah satu-satunya yang dilakukan. Termasuk keterbukaan PDIP terhadap PAN dan Partai Golkar.
Namun, mengapa Rommy seolah datang dengan manuver dan narasi semacam itu? Serta ke arah mana dinamika ini akan bermuara?
Dalih Sejarah, Kepentingan Rommy?
Dalam dokumentasi pertemuannya dengan Hasto, Rommy menyinggung aspek historis kedekatan dua parpol.
“PPP dan PDIP adalah partai yang sama-sama sudah genap berusia setengah abad. 10 pemilu sudah sama kita lalui dengan suka dan duka, baik dalam tekanan penguasa maupun kebebasan demokrasi,” begitu deskripsi unggahan foto bersama Hasto di akun Instagram @romahurmuziy.
Romansa itu tampaknya memang dapat menjadi justifikasi khusus bahwa manuver Rommy dapat bermakna lebih jauh jelang kontestasi elektoral 2024.
Teori solidaritas sosial dari sosiolog Prancis Émile Durkheim kiranya tepat untuk menjelaskan hal tersebut.
Sesuai dengan namanya, solidaritas sosial secara umum merupakan kesamaan perasaan emosional dan moral yang terbentuk pada hubungan antar individu maupun kelompok. Itu selalu berlandaskan rasa saling percaya, kesamaan tujuan dan cita-cita, adanya kesetiakawanan, dan rasa sepenanggungan.
Esensi dari solidaritas sosial adalah pengalaman emosional bersama yang menjadi inti kekuatan hubungan di antara mereka.
Nyatanya, solidaritas sosial seolah bertransformasi menjadi solidaritas politik saat berbicara konteks PDIP dan PPP.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati turut menyiratkan bahwa terawatnya sejarah di antara kedua parpol membuat PPP menjadi yang paling tepat untuk merangkul PDIP yang kini masih “sendirian”.
Selain pengalaman emosional saat sama-sama menjadi oposisi di era Orde Baru (Orba), romansa kekuasaan ketika Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz menjadi Presiden dan Wakil Presiden (2001-2004) juga bisa saja menjadi variabel lain atas bangkitnya solidaritas politik itu.
Terlebih, variabel, situasi, dan momentum politik saat ini cukup tepat bagi kedua parpol untuk berangkulan. Pertama, PPP yang berkultur religius seolah tepat untuk melengkapi aspek nasionalis PDIP yang kerap tak disarankan berjuang sendirian, utamanya di Pilpres 2024.
Kedua, PPP adalah bagian dari parpol koalisi pemerintahan saat ini sehingga kemungkinan besar cukup mudah untuk berkolaborasi dengan PDIP.
Ketiga, mengutip Wasisto, berinisiatif membentuk winning coalition untuk bisa bertahan di kekuasaan pasca 2024 menjadi logis bagi PPP. Itu mengingat, mereka berpredikat parpol terkecil di parlemen saat ini.
Di titik ini, terdapat dua peluang yang muncul pasca manuver Rommy dan sejumlah sinyal politik yang mengemuka, yakni kemungkinan PPP meninggalkan KIB untuk berkoalisi dengan PDIP, atau PPP menjadi perantara masuknya PDIP ke KIB.
Lantas, mana skenario yang paling mungkin terjadi?
Angkat Derajat PPP?
Meski menjadi parpol terkecil di parlemen, manuver dan penyataan Rommy pasca pertemuan dengan Hasto kiranya bertujuan mematahkan predikat itu.
Bukan tidak mungkin, manuver dan pernyataan Rommy merupakan bagian dari political bluffing atau gertakan politik untuk meninggalkan impresi bahwa PPP bukan partai “sekecil itu”.
Michael Laver dalam jurnal berjudul How to Be Sophisticated, Lie, Cheat, Bluff and Win at Politics menjelaskan terdapat hubungan antara strategi dalam berinteraksi dengan dinamika politik.
Adapun strategi interaksinya meliputi kecurangan, kebohongan, hingga bluffing atau gertakan.
Spesifik dalam dinamika politik jelang sebuah kontestasi elektoral di sistem multipartai, tampaknya apa yang dilakukan Rommy memang tergolong sebagai bluffing.
Dalam analisis Laver, bluffing bertujuan untuk memanipulasi lawan dengan “nilai kartu” yang ada di tangannya.
Dalam konteks Rommy dan PPP, dengan menginisiasi keharmonisan dengan PDIP, Rommy seolah menjadi aktor yang sedang “mengorbankan diri” untuk menambah variabel dan upaya untuk mengangkat derajat PPP.
Sebelumnya, PPP pun menjadi buah bibir setelah santer digosipkan menjadi kendaraan politik Sandiaga Uno untuk menjadi capres di 2024 sebelum kabar itu meredup.
Manuver Rommy hingga isu Sandi sendiri, menelurkan interpretasi PPP memang memiliki kekuatan potensial di 2024 dengan basis massa spesifik, terutama relasi patron-klien dari para ulama dan santri.
Selain itu, dengan skenario yang mengemuka, jika seandainya PPP meninggalkan KIB, persentase presidential threshold Golkar dan PAN tak akan cukup untuk berkoalisi mengusung capres-cawapres.
Serangkaian gosip hingga manuver yang datang dari PPP plus Rommy tersebut seolah memang menjadi gertakan politik tersendiri, baik bagi calon kawan maupun lawan mereka.
Tentu hal itu agaknya tak dapat dilepaskan dari kepentingan eksistensi hingga daya tawar yang bisa didapatkan PPP dalam koalisi politik di 2024 kelak.
Sementara itu, beralih ke dua kemungkinan skenario seperti yang menjadi pertanyaan sebelumnya, kemungkinan pertama mengenai PPP yang menjadi perantara PDIP untuk bergabung KIB kiranya cukup menarik.
Jika itu terjadi, komposisi ideal nasionalis-religius dalam KIB tampaknya akan memperkuat koalisi, yakni PAN-PPP dari aspek religius dan Golkar-PDIP dengan impresi nasionalisnya.
Selain itu, opsi capres-cawapres juga menjadi sangat variatif. Mulai dari duet Ganjar Pranowo-Airlangga Hartarto atau sebaliknya, Ganjar-Ridwan Kamil atau sebaliknya, bahkan masuknya opsi Sandi yang masih belum 100 persen mustahil hengkang dari Partai Gerindra.
Akan tetapi, meski tampak begitu kuat dan potensial, masuknya PDIP dalam koalisi berpeluang memantik gesekan kepentingan yang cukup tinggi.
Golkar yang sejak awal menjadi “pemimpin” dan pemegang konsesi terbesar KIB, bisa saja terganggu dengan kehadiran PDIP yang notabene adalah parpol penguasa saat ini dengan persentase suara yang besar di 2019.
Selain itu, banyaknya opsi capres-cawapres juga dapat menjadi mata pisau lain kekuatan koalisi yang boleh jadi mengubah gesekan menjadi konfrontasi politik tersendiri satu sama lain.
Namun demikian, kembali, kalkulasi logis seperti “jatah” maksimal yang didapat sebuah parpol dalam koalisi dan aturan presidential threshold akan jadi pertimbangan parpol manapun jika memilih bergabung, bertahan, atau hengkang dari KIB. Tak terkecuali manuver-manuver khusus seperti yang dilakukan Rommy.
Di atas semua itu, dalam proses, dinamika, dan intrik politik apapun yang mengemuka, gagasan, visi, dan substansi konkret untuk terus memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara tentu diharapkan. Sesuatu yang sejauh ini seolah belum terlihat dari para parpol, aktor politik, serta kandidat yang memimpin Indonesia kelak. (J61)