Site icon PinterPolitik.com

Mardigu, Ujian Komunikasi Pandemi Jokowi?

Mardigu, Ujian Komunikasi Pandemi Jokowi?

Influencer dan Motivator Mardigu Wowiek Prasantyo (Foto: Tribun)

Belakangan ini nama influencer dan motivator Mardigu Wowiek Prasantyo tengah jadi buah bibir masyarakat setelah tampil dalam sebuah acara podcast milik magician Deddy Corbuzier. Di channel YouTube yang memiliki 13,2 juta pengikut itu, Mardigu mendiskusikan teori konspirasi mengenai Covid-19. Mengapa hingga setahun pandemi ini merebak, teori konspirasi seputar pagebluk seolah tak pernah mati?


PinterPolitik.com

Pemerintah memastikan akan kembali memperpanjang Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali selama dua minggu. Kebijakan yang sedianya akan berakhir pada 25 Januari 2021 ini diperpanjang lantaran lonjakan kasus positif Covid-19 masih terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. 

Meningkatnya jumlah kasus positif ini disinyalir merupakan ekses dari libur akhir tahun kemarin. Kendati pemerintah telah melakukan berbagai upaya, termasuk memangkas cuti bersama dan menerapkan kebijakan PPKM, nyatanya lonjakan kasus tetap tak terhindarkan. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu menyebut bahwa tren kenaikan kasus ini disebabkan karena menurunnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.

Dokter spesialis kejiwaan, Natalia Widiasih menilai menurunnya kesadaran masyarakat ini bisa disebabkan oleh fenomena pandemic fatigue. Fenomena itu bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya akibat berkurangnya persepsi bahaya lantaran adanya interpretasi data yang salah. 

Tak dapat dipungkiri, sejak awal pandemi ini merebak di Indonesia, kredibilitas pemerintah dalam menyajikan data seputar Covid-19 memang kerap dipertanyakan publik. Kondisi ini semakin diperparah dengan beredarnya teori-teori konspirasi yang menyelimuti persoalan pandemi. 

Tak hanya sekadar menjadi pembicaraan di warung-warung kopi, sejumlah tokoh prominen bahkan menjadi aktor yang turut menghidupkan teori-teori ini. Salah satu public figure yang tengah menjadi buah bibir dengan teori konspirasinya mengenai pandemi Covid-19 adalah influencer dan motivator Mardigu Wowiek Prasantyo. Ia rajin tampil membicarakan hal tersebut melalui platform berbagi video YouTube. 

Merebaknya teori-teori konspirasi ini pun tak luput dari perhatian pemerintah. Wakil Presiden Ma’ruf Amin misalnya pernah mengkritisi mereka yang menganggap pandemi Covid-19 adalah konspirasi. Ia menilai hal tersebut membuat publik mengabaikan pesan pemerintah dalam upaya memutus rantai virus. 

Menyikapi hal ini, lantas pertanyaannya apa sebenarnya yang menyebabkan konspirasi-konspirasi Covid-19 ini terus hidup di masyarakat?

Membantah Mardigu

Belum lama ini, Mardigu kembali tampil dalam  acara podcast di channel YouTube milik influencer kenamaan, Deddy Corbuzier. Faktanya, ini kali ketiga Mardigu tampil di acara tersebut untuk mendiskusikan soal teori konspirasi Covid-19. 

Atensi masyarakat terhadap video tersebut bisa dibilang sangat masif. Sebab, baru lima hari diunggah, video itu telah disaksikan lebih dari 2,1 juta orang.

Jika disimak lebih teliti, teori konspirasi yang diyakini Mardigu intinya berpangkal pada satu persoalan, bahwa virus Sars-CoV-2 merupakan buatan manusia yang diciptakan sebagai alat politik (political tool) untuk meraih kekuasaan dan meraup keuntungan dari bisnis vaksinasi. 

Lantas benarkah narasi-narasi tersebut?

Teori yang menyebut bahwa virus yang menyebabkan Covid-19 adalah buatan manusia sebenarnya merupakan diskursus yang sudah ada sejak awal wabah terjadi. Misalnya pada Januari 2020 silam, sekelompok Ilmuwan India menerbitkan sebuah laporan yang pada intinya mengatakan bahwa  ada kemiripan karakteristik dalam genetic sequence virus Sars-CoV-2 dengan yang ada di virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). 

Karena kemiripan karakteristik ini tak ditemukan di virus corona jenis lain, para ilmuwan India tersebut kemudian berkesimpulan bahwa hal ini tak mungkin terjadi secara alami.

Kendati demikian, seorang ahli biologi molekuler dari Australian National University Kamila Navarro dalam tulisannya di Asian Scientist membantah laporan tersebut. 

Menurutnya, genetic sequence dari Covid-19 yang dituding oleh sejumlah ilmuwan India direkayasa tersebut nyatanya terlalu pendek dan terlalu umum. Karakteristik tersebut menurutnya bahkan dapat ditemukan di banyak organisme, mulai dari laba-laba hingga parasit yang menyebabkan penyakit malaria sehingga tak bisa serta merta disebut direkayasa.  

Selain itu, teori Mardigu yang menduga bahwa virus ini digunakan oleh segelintir orang untuk meraup keuntungan ekonomi dari vaksin bisa dibilang kurang tepat. Annalisa Merelli dalam tulisannya yang berjudul How Drug Companies Will Profit from Making Covid-19 Vaccines justru mengatakan bahwa vaksin bukanlah sektor yang dapat mendatangkan keuntungan besar. 

Merelli memproyeksikan profit margin dari vaksin Covid-19 sebesar US$10 miliar per tahun hingga pandemi benar-benar berakhir yang diperkirakan akan terjadi dalam beberapa tahun saja. 

Angka tersebut termasuk kecil. Sebagai perbandingan, perusahaan farmasi asal Amerika Serikat (AS) Merck menghasilkan lebih dari U$7 miliar setahun hanya dari penjualan obat kanker Keytruda saja.

Merelli menilai tak besarnya keuntungan yang didapat dari produksi vaksin Covid-19 ini justru terjadi karena status pandemi dari penyakit tersebut. Sebab dengan status darurat ini, berbagai pihak menekan industri farmasi untuk  menjual vaksin dengan harga semurah mungkin agar dapat diakses semua orang. 

Selain itu, pernyataan Mardigu soal terapi plasma darah adalah solusi yang lebih ampuh ketimbang vaksin juga bisa dibilang salah kaprah. Sebab menurut keterangan para ahli, terapi plasma darah lebih dibutuhkan oleh mereka yang telah terjangkit Covid-19, bukan untuk mencegah seseorang terjangkit sebagaimana tujuan dari vaksinasi.

Michael Greshko dalam tulisannya di National Geographic juga menyebut bahwa terapi plasma darah itu sendiri belum dapat dipastikan efektivitasnya. Padahal hingga saat ini telah dilakukan setidaknya 70 uji klinis di berbagai belahan dunia untuk mempelajari efektivitas terapi tersebut. 

Terakhir, klaim Mardigu yang sempat menyebut bahwa pandemi akan berakhir setelah Pilpres AS 2020 usai digelar juga nyatanya tak terbukti. Hingga pasangan Joe Biden-Kamala Harris mengambil sumpah jabatan pada 20 Januari lalu, pandemi Covid-19 tak menunjukkan tanda-tanda melandai. Sebaliknya, yang terjadi justru kenaikan kasus di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. 

Meski tak terlalu sulit untuk membantah narasi konspiratif yang disuarakan Mardigu, lantas mengapa masih banyak masyarakat yang percaya akan teori-teori tersebut?

Psikologi Konspirasi

Kendra Cherry dalam tulisannya di Very Well Mind memaparkan mengapa banyak orang bisa percaya teori konspirasi. Salah satunya dapat dilihat dari kacamata epistemik. 

Alasan epistemik sendiri berkaitan dengan hasrat manusia untuk memperoleh kepastian dan pemahaman. Dengan percaya teori konspirasi, manusia bisa membangun pemahaman yang konsisten, stabil, dan jelas akan suatu permasalahan. 

Keyakinan atas teori konspirasi ini dapat meningkat seiring dengan eskalasi atas krisis yang tengah melanda. Dalam suatu peristiwa besar, misalnya pandemi Covid-19, umumnya terdapat banyak informasi yang berceceran dan berbeda-beda. Hal ini membuat manusia ingin mencari penjelasan utuh atas krisis tersebut.  

Di tengah kondisi ini, teori konspirasi datang menyelinap sebagai kabar alternatif untuk mengakomodasi kebutuhan akan informasi yang saling berkaitan tersebut. Inilah kiranya yang menyebabkan mengapa hingga hari ini konspirasi menjadi momok yang menghantui penanganan pandemi, bukan hanya dalam konteks Indonesia, namun juga dalam skala global.

Lalu dengan adanya dorongan psikologis ini, lantas apa kira-kira yang bisa dilakukan pemerintah agar teori konspirasi tak lagi menjadi sesuatu yang kontraproduktif terhadap penanganan pandemi?

Belajar dari Suku Badui

Berbeda jauh dengan yang terjadi di kota-kota besar, hingga hari ini masyarakat adat Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, masih terbebas dari pandemi Covid-19. Pemerintah setempat menduga hal ini terjadi lantaran masyarakat Badui lebih mematuhi protokol kesehatan. Bahkan, tetua adat Badui disebut-sebut melarang masyarakat pergi ke daerah-daerah yang dianggap zona merah penularan seperti Jakarta, Tangerang dan Bogor. 

Kondisi masyarakat yang terisolir agaknya membuat sirkulasi informasi yang diterima masyarakat Badui terbatas pada edukasi yang diberikan pemerintah setempat serta kebijakan tegas yang diambil oleh pemimpin adat. Alhasil hal tersebut berdampak positif pada kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan. 

Di titik ini, pemerintah sepertinya bisa belajar banyak dari kondisi masyarakat Badui. Namun ini bukan berarti negara dapat menyensor begitu saja informasi-informasi yang dianggap sebagai konspirasi.

Aleksandra Cichocka dalam tulisannya yang berjudul To Counter Conspiracy Theories, Boost Well-being mengatakan bahwa cara terbaik untuk melawan konspirasi adalah bukan dengan menekan penyebarannya, melainkan menyelesaikan persoalan yang membuat publik rentan terpapar misinformasi.

Kemudian, jika berkaca pada analisa epistemik yang dikemukakan Kendra Cherry tadi, maka hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah menghadirkan informasi yang transparan dan kredibel kepada publik. 

Sayangnya, yang terjadi justru pemerintah terkesan tak berbuat apapun untuk menyelesaikan penyebaran misinformasi. Sebaliknya, sejumlah pejabat negara justru ikut-ikutan hadir menjadi pembicara di podcast Deddy, forum yang sama yang digunakan Mardigu untuk mendiskusikan teori konspirasi Covid-19. Kondisi juga diperparah dengan  gaya komunikasi pemerintahan Jokowi terkait pagebluk yang masih memerlukan beberapa pembenahan fundamental. 

Pertama, pemerintah agaknya perlu mendisiplinkan koordinasi jajarannya sendiri agar tak memberikan pernyataan atau kebijakan yang saling bertolak belakang. Kedua, pemerintah juga perlu membenahi persoalan data yang selama ini kerap dikritisi oleh para ahli. Ketiga, sudah saatnya negara juga perlu mendengarkan saran dari para pakar yang memang memiliki keahlian di bidang terkait. 

Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa kepercayaan terhadap teori konspirasi memang kontraproduktif bagi penanganan pandemi. Namun demikian, negara tak bisa begitu saja menyalahkan masyarakat atas fenomena ini. Sebaliknya, negara juga perlu mengevaluasi kembali bagaimana pemerintah berkomunikasi dengan rakyatnya sendiri selama ini.  (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version