Site icon PinterPolitik.com

Manuver UEA, Mewakili Kebangkitan Islam?

Manuver UEA, Mewakili Kebangkitan Islam?

Penandatanganan kerja sama antara Kadin Indonesia dengan Kadin Uni Emirat Arab (UEA) di Bogor, Jawa Barat pada 2 September 2021 (Foto: Antaranews)

Negara-negara Timur Tengah gencar melakukan diversifikasi ekonomi supaya tidak tergantung pada komoditas minyak. Uni Emirat Arab (UEA) menjadi salah satu negara yang menerapkan hal tersebut dengan menargetkan Indonesia sebagai target investasi. Lantas apakah manuver UEA di Indonesia, bisa menjadi tolak ukur kebangkitan negara-negara Islam?


PinterPolitik.com

Uni Emirat Arab (UEA) akan menanamkan investasi di Indonesia untuk mendanai proyek pemindahan ibu kota baru senilai USD 10 miliar atau Rp 144 triliun rupiah. Nominal tersebut merupakan bagian dari komitmen investasi Uni Emirat Arab terhadap Indonesia dengan nilai sebesar USD 44,6 miliar atau Rp 642,2 triliun. Rencananya dana ini akan dialihkan ke beberapa sektor mulai dari infrastruktur, pertanian, alat kesehatan, hilirisasi pertambangan hingga energi baru terbarukan (EBT).

Selain itu, investasi negara ‘emirat’ ini diharapkan bisa merambah ke sektor pariwisata Tanah Air. Targetnya adalah Pulau Banyak yang terletak di Kabupaten Aceh, Singkil, Aceh. Wilayah ini merupakan destinasi pariwisata Indonesia yang cukup menjanjikan. Melihat potensi ini, upaya pengembangan sektor pariwisata diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan lebih luas lagi. Apalagi dengan adanya kegiatan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhoksemauwe yang mencakup beberapa jenis industri, mulai dari energi hingga logistik. Berdirinya lokasi ini juga akan melibatkan 40 ribu orang pada tahun 2027.

Manuver komitmen investasi UEA ternyata membuat wilayah lain di Indonesia juga tertarik untuk bekerja sama. Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil diketahui aktif mencari investasi dari negara-negara Timur Tengah hingga berkunjung ke UEA untuk membuka peluang kerja sama. Mantan Wali Kota Bandung ini menawarkan untuk berinvestasi di Kawasan Rebana Metropolitan. Adapun kawasan tersebut meliputi Subang, Sumedang, Majalengka, Kuningan, Indramayu, dan Cirebon.

Baca Juga: Mengapa Jokowi-UEA Makin Mesra?

Meski peran UEA terkesan ‘menonjol’ untuk berinvestasi di Tanah Air, namun berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi UEA mengalami tren penurunan selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2018, tercatat investasi yang tertanam mencapai angka USD 69,94 juta kemudian pada tahun 2019 turun menjadi USD 69,73 juta dan kembali menurun menjadi USD 21,57 juta pada tahun 2020. Sementara pada tahun 2021 tepatnya per 8 November, nilai investasinya kembali turun menjadi USD 7,78 juta.

Penanaman investasi yang tergolong tidak besar dari negara-negara di kawasan Timur Tengah sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya. Kedatangan Raja Arab, Salman bin Abdulaziz ke Indonesia tidak menghasilkan nilai investasi yang besar. Tercatat, nilai investasi yang ditanamkan hanya sebesar Rp 93 triliun.

Angka ini jauh berbeda dengan nilai investasi Arab Saudi terhadap Tiongkok yang mencapai Rp 870 triliun. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kecil Indonesia Haryadi Sukamdani menilai Indonesia bukanlah tujuan utama untuk berinvestasi karena Arab Saudi cenderung hanya berperan sebagai operator sehingga wajar jika negara ini lebih memilih untuk berinvestasi di negara lain seperti Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan.

Indonesia Tidak Menguntungkan?

Menurut data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal,  pada tahun 2016 nilai investasi Arab Saudi ke Indonesia hanya berada di urutan ke-57 dengan investasinya sebesar USD 900 ribu. Angka ini lebih rendah dari nominal investasi Singapura ke Indonesia yang mencapai USD 1,97 miliar atau sekitar Rp 122 triliun. Ironisnya kerja sama antara Arab Saudi dan Indonesia di sektor ekonomi juga tidak berjalan dengan baik. Seperti misalnya, komitmen dari Arab Saudi untuk berinvestasi di Kilang Cilacap bersama dengan PT Pertamina hingga saat ini belum terealisasi.

Justru perusahaan minyak Saudi, Aramco lebih memilih untuk berinvestasi dan bekerja sama dengan perusahaan minyak asal Malaysia, Petronas. Kedua perusahaan ini sudah membentuk dua usaha joint venture untuk proyek pengembangan kilang dan petrokimia terpadu (Refinery and Petrochemical Integrated Development/RAPID Project). Aliran investasi senilai USD 7 miliar dan proyek kilang berkapasitas 300 ribu barel telah diumumkan dan beroperasi sejak tahu 2019 lalu. Kemesraan antar dua negara ini pun disahkan pada 26 November 2018 dengan masa kontrak 6 tahun.

Baca Juga: UEA Akan Menjadi Negara Superpower?

Momentum ini sekaligus memupus keinginan Indonesia untuk mendapatkan aliran dana investasi dari Arab Saudi. Komitmen antar kedua negara ternyata tidak terealisasi dan Indonesia harus rela melihat Arab Saudi berinvestasi di perusahaan minyak asal Malaysia. Alhasil, perusahaan minyak milik negara, Pertamina membatalkan kerja sama dengan Saudi Aramco terkait pembangunan Megaproyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Kilang Cilacap.

Kondisi serupa dikhawatirkan bisa saja terjadi, apalagi melihat investor asal Uni Emirat Arab (UEA) menunda kesepakatan dan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) untuk menanamkan modalnya di Pulau Banyak, Aceh. Meski demikian, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia masih meyakini investasi UEA akan terealisasi meski ada beberapa poin yang belum disepakati.

Fenomena ini mengingatkan pada buku yang berjudul The Wealth of Nations, karya Adam Smith yaitu setiap individu berupaya melakukan investasi atau menggunakan modalnya untuk mencapai untung di masa yang akan datang dengan hasil yang maksimal. Nilai keuntungan tergantung pada iklim investasi saat ini dan di masa depan.

Kebangkitan Negara Islam?

Manuver negara-negara Arab untuk berinvestasi sebenarnya sudah lama terealisasi khususnya di sektor olahraga yaitu sepak bola. Beberapa negara seperti Qatar, UEA dan Arab Saudi sudah berkecimpung di dunia olahraga tersebut dengan melakukan investasi besar. Bahkan, berkat investasi yang besar, klub-klub yang menerima dana segar mampu bersaing di papan atas. Hal ini membuktikan bahwa investasi dari negara-negara Arab bisa membuahkan hasil.

Momentum tersebut menjadi bukti bahwa negara-negara Arab terus berupaya melakukan diversifikasi ekonomi supaya tidak tergantung pada komoditas minyak dan gas bumi. Mengingat sumber daya minyak dan gas alam tidak memiliki nilai yang berkelanjutan tinggi atau akan habis pada waktunya. Maka, tidak heran jika negara Timur Tengah seperti UEA mulai melihat sektor lain di luar minyak. Salah satunya dengan berkomitmen untuk mengembangkan lokasi wisata di sejumlah daerah di Indonesia termasuk di Aceh.  

Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa negara-negara Timur Tengah bisa melebarkan pengaruhnya melalui investasi dan Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi target negara-negara tersebut khususnya UEA. Bukan penolakan, melainkan sambutan baik diberikan oleh pemerintah Indonesia terkait ketertarikan UEA untuk berinvestasi. Jika mengacu pada konsep hegemoni Robert Cox dalam tulisan berjudul Hegemony: A Conceptual and Theoritical Analysis, suatu negara bisa dominan atau menjelma sebagai negara hegemoni jika mampu meraih kekuasaan dengan paksaan dan sukarela atau diterima.

Baca Juga: Indonesia Butuh Erick Thohir 2?

Intinya, Cox menilai bahwa suatu negara bisa menjadi sebuah hegemoni yang kuat jika mampu menawarkan proyek jangka panjang dan menjanjikan. Dalam konteks manuver investasi UEA ke Indonesia, bisa ditarik kesimpulan bahwa peluang tidak sepenuhnya tertutup bagi negara Emirat untuk menjadi negara superpower. Namun, bila mengacu pada tulisan ini, dijelaskan bahwa suatu negara baru bisa disebut sebagai negara hegemoni jika mampu memenuhi tiga aspek, yaitu material power (militer,ekonomi, dan populasi), citra negara dalam konteks global, dan memiliki pengaruh kuat di dalam beberapa institusi internasional.

Meski UEA merupakan salah satu negara dengan kondisi perekonomian yang kuat, namun pada dua aspek lainnya, negara ini belum memiliki pengaruh kuat jika dibandingkan dengan negara-negara Barat seperti AS dan Uni Eropa.

Seperti tertulis dalam buku berjudul The Clash of Civilization and The Remaking of World Order karya Samuel Huntington, negara-negara Islam masih berupaya mengembangkan militer dan perekonomiannya untuk mengimbangi kekuatan negara-negara Barat. Maka melihat manuver negara-negara Timur Tengah khususnya UEA, tampaknya belum  bisa menjadi pencetus kebangkitan negara-negara Islam di dalam konteks global. (G69)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version