Seleksi calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 sudah resmi ditutup dengan jumlah pendaftar mencapai 348 orang. Dari ratusan nama ini, ada satu orang yang berasal dari unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu Marsekal Muda TNI Dwi Fajariyanto.
PinterPolitik.com
Marsekal Muda TNI Dwi Fajariyanto saat ini menjabat sebagai Staff Khusus Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Yuyu Sutisna. Sebelumnya lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1985 ini juga pernah menempati posisi sebagai Asisten Pengamanan KSAU dan Staf Ahli Tingkat III Bidang Hubungan Internasional Panglima TNI.
Langkah Dwi untuk mencalonkan diri sebagai capim KPK mendapat dukungan penuh KSAU dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Keduanya mengatakan bahwa unsur TNI dapat turut “mewarnai” KPK dan langkah Dwi menunjukkan sikap ingin terus mengabdi pada negara, meskipun sudah berada di luar TNI.
Respon positif juga datang dari Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) Yudi Purnomo yang tidak mempermasalahkan hal ini, selama Dwi terpilih sesuai proses seleksi.
Mengenai aspek legalitas, dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, disebutkan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Meski saat ini Dwi masih berdinas aktif, ia sudah akan memasuki masa purna bakti pada September 2019 nanti. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada masalah hukum dari pencalonan Dwi karena rangkaian seleksi capim KPK juga masih terus berlanjut hingga September mendatang.
Melihat sejarah bursa capim KPK, bukan kali ini saja ada unsur TNI, baik aktif maupun purnawirawan, yang mencalonkan diri untuk menduduki posisi tertinggi lembaga anti-rasuah tersebut. Dalam seleksi capim periode 2011-2015 dan 2015-2019 misalnya, terdapat beberapa unsur TNI yang setidaknya lolos hingga tahap seleksi administrasi.
Hadirnya Dwi sebagai calon tunggal unsur TNI pada periode kali ini berpotensi menciptakan sejarah baru di tubuh KPK karena selama ini belum ada unsur TNI yang berhasil lolos hingga menduduki kursi pimpinan KPK. Pertanyaannya adalah hal apa yang bisa dimaknai dari pencalonan ini?
Pasang Surut hubungan KPK-TNI
Sesuai dengan tugas dan fungsi utama KPK, hubungannya dengan TNI tentunya terpusat dalam isu-isu korupsi. Selama ini, dapat dibilang hubungan keduanya pasang surut.
Misalnya penolakan campur tangan KPK ke militer yang pernah diutarakan oleh Kepala Staff Presiden, Moeldoko, sewaktu dirinya menjabat sebagai panglima TNI. Ia mengatakan bahwa kehormatan TNI akan hilang jika KPK masuk karena hal itu sama saja menandakan adanya korupsi besar di tubuh TNI.
Contoh lainnya ada pada kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101 oleh TNI AU, di mana dalam beberapa kesempatan KPK mengatakan bahwa saksi dari TNI AU tidak kooperatif. Selain itu sifat kerahasiaan, loyalitas, jiwa korsa dan sistem peradilan militer juga dinilai beberapa pihak dapat mempersulit pengungkapan kasus korupsi.
Namun, kasus kroupsi AW-101 juga menunjukkan hubungan positif KPK-TNI. Meski sempat mengalami kesulitan pada masa penyelidikan, pada akhirnya kasus korupsi ini berhasil diungkap dan pejabat-pejabat yang berasalah telah diadili dan dijatuhi hukuman.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa pada dasarnya KPK-TNI memiliki hubungan yang baik. Kedua institusi memiliki yuridiksi masing-masing yang jelas, sehingga dinilai tidak menimbulkan gesekan persaingan seperti yang terjadi antara KPK dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan.
Juga, dalam beberapa kesempatan, komitmen kedua institusi untuk bersama-sama memberantas korupsi juga terus dijaga, salah satunya melalui pembekalan wawasan dan pengetahuan anti-korupsi yang diberikan KPK terhadap perwira TNI April lalu.
Korupsi di Sektor Pertahanan
Publik sudah mengetahui bahwa sektor pertahanan Indonesia, utamanya Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI, tidak lepas dari “dosa” korupsi. Selain kasus AW-101, ada kasus-kasus korupsi lain yang menjerat prajurit aktif TNI. Sebut saja kasus suap Bakamla,
Pada tahun 2015, Transparency International pernah merilis indeks global iesiko korupsi pemerintah di sektor pertahanan. Dalam indeks ini, Indonesia mendapat kategori risiko “Band D”, yang berarti tinggi, dengan risiko terbesar – yakni sebesar 45 persen – ada dalam proses pembelian senjata.
Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 2018 juga menunjukkan bahwa Kemhan menjadi salah satu kementerian yang menjadi sarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) aktif yang terlibat kasus korupsi.
Rawannya korupsi di sektor pertahanan bukanlah tanpa sebab. Dalam usahanya untuk menghapus korupsi, North Atlantic Treaty Organization (NATO) menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama penyebab munculnya korupsi dalam suatu institusi pertahanan/militer, yaitu kerahasiaan (secrecy), urgensi (urgency) dan slogan-slogan populis (populist slogans).
Kerahasiaan sering kali digunakan sebagai payung untuk menjawab kurangnya transparansi di tubuh militer. Sering kali anggaran atau proses pembelian tidak diungkap ke publik dengan alasan “rahasia nasional”, sehingga proses pengawasan dan audit tidak dapat dilakukan.
Institusi militer sering melakukan pengadaan barang secara tiba-tiba yang sebelumya tidak ada dalam anggaran atau daftar belanja karena faktor urgensi bahwa pengadaan ini dibutuhkan untuk keperluan operasi pertahanan yang sedang berlangsung. Hal ini sebenarnya wajar karena situasi dan kondisi dalam sebuah operasi militer tidak dapat diprediksi.
Namun, urgensi untuk melakukan pengadaan secepat mungkin sering kali menyebabkan adanya simplifikasi ataupun pengabaian prosedur dan administrasi penggunaan anggaran yang rentan disusupi korupsi.
Terakhir, kebijakan populis juga digunakan untuk proses pengadaan yang tidak efisien. Contohnya penggunaan penggunaan slogan “kepentingan nasional” atau “produk dalam negeri” untuk menjustifikasi belanja anggaran yang sebenarnya tidak sesuai kebutuhan.
Para pengamat mengkhawatirkan TNI yang mulai keluar barak mengurusi urusan sipil. Mau dwifungsi lagi? pic.twitter.com/17l2BZYGuu
Angin Segar untuk KPK?
Jika setelah melalui proses panjang Dwi terpilih duduk di kursi pimpinan KPK, ada beberapa skenario yang dapat terjadi.
Di tubuh KPK, Dwi dapat membantu institusi tersebut dalam menangani kasus korupsi di sektor pertahanan Indonesia. Anggapan bahwa orang di luar kemiliteran tidak mengerti urusan militer dapat dihilangkan dengan hadirnya mantan perwira tinggi militer di kursi kepemimpinan institusi sipil tersebut.
Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat jabatan Dwi selama berdinas di TNI selalu berkaitan dengan fungsi pengamanan yang sangat kental dengan tugas pembinaan dan penyelenggaraan intelijen.
Sosok Dwi juga dapat mempererat hubungan KPK-TNI karena memunculkan koneksi bersama antara kedua institusi. Eratnya hubungan KPK-TNI juga dapat terjadi mengingat, berdasarkan survei, kedua institusi inilah yang paling dipercaya oleh masyarakat Indonesia.
Semakin eratnya hubungan KPK-TNI dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas TNI guna mengurangi risiko penyelewengan anggaran. Sebaliknya, bertambahnya prestasi KPK dalam membongkar kasus korupsi di sektor pertahanan juga dapat meningkatkan pamor lembaga tersebut.
Di balik semua hubungan KPK-TNI dan semangat pemberantasan korupsi di sektor pertahanan, peran politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus tetap muncul. Berkaca pada kasus AW-101, ICW mengapresiasi sekaligus menegaskan pentingnya kontrol politk seorang presiden dalam mendukung instansi sipil dalam menyelidiki institusi militer.
Kemauan dan ketegasan Jokowi dalam pengusutan kasus korupsi harus terus ditingkatkan dalam periode pemerintahannya yang kedua, terlebih lagi dirinya memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa yang duduk di kursi kepemimpinan KPK maupun TNI.
Jangan sampai gesekan antara kedua institusi kembali terulang. Jangan sampai pula kehadiran Dwi malah memperlemah KPK atau terbalik, yakni bahwa Dwi malah menjadi bentuk “pengawasan” TNI terhadap KPK untuk menjauhkan lembaga itu dari militer.
Pengawasan terhadap sektor pertahanan Indonesia memang penting untuk dilakukan. Selain karena peran vital pertahanan dalam hidup-matinya suatu negara, besarnya porsi anggaran pertahanan juga dapat memicu potensi korupsi yang lebih besar.
Bulan Juni 2019 lalu, Komisi I DPR telah menyetujui anggaran pertahanan sebesar Rp 126,5 triliun untuk tahun 2020 atau naik sekitar 17,5 persen dari anggaran tahun 2019. Angka ini juga masih dapat bertambah Kemhan kembali mengajukan tambahan dana sekitar Rp 17,5 triliun. (F51)