Site icon PinterPolitik.com

Manuver Tiongkok di Balik Vanuatu?

Manuver Tiongkok di Balik Vanuatu

Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping (tengah) ketika bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara kawasan Pasifik Selatan dalam kegiatan KTT APEC di Port Moresby, Papua Nugini, pada November 2018 silam. (Foto: Getty Images)

Indonesia merupakan langganan kritik dari Vanuatu soal isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dan Papua Barat dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kabarnya, di balik negara Pasifik Selatan itu, terdapat peran negara besar lain, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT).


PinterPolitik.com

Para penggemar komik dan film pahlawan super pasti tidak asing dengan nama The Flash. Pahlawan super yang diciptakan oleh DC tersebut biasa disebut sebagai manusia tercepat di dunia.

Bagaimana tidak? Flash bisa berlari melebihi mobil super tercepat sekalipun. Biasanya, pahlawan super satu ini dianggap dapat berlari secepat kilat. Logo dari pahlawan super ini pun juga berbentuk petir – melambangkan kecepatan super yang dimilikinya.

Selain itu, dengan kekuatan cepatnya tersebut, Flash sampai bisa melakukan perjalanan waktu – baik ke masa lalu maupun masa depan. Kemampuannya ini digambarkan dalam sebuah seri yang didistribusikan oleh Warner Bros. Television Distribution yang berjudul The Flash (2014-sekarang).

Dalam seri tersebut, perjalanan waktu yang dilakukan oleh Barry Allen memiliki konsekuensi tertentu. Salah satunya adalah terlahirnya salah satu musuh terbesarnya yang bernama Savitar.

Savitar ini juga merupakan memiliki kecepatan super yang dapat mengarungi waktu. Namun, ia terlahir akibat adanya time loop yang terjadi antara masa depan dan masa lalu. Ini membuat Savitar selalu hadir dalam lini waktu tersebut meski telah dikalahkan di masa depan.

Maka dari itu, bagaimana pun, Flash akan selalu menghadapi Savitar – entah di masa depan atau di masa lalu. Loop tersebut akan senantiasa terjadi dalam linimasa itu.

Mungkin, situasi yang dihadapi oleh Flash tersebut mirip dengan apa yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia kini. Bagaimana tidak? Vanuatu – dan sejumlah negara Pasifik Selatan – selalu muncul sebagai negara yang mengkritik Indonesia dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pada tahun 2016, misalnya, Vanuatu dan sejumlah negara-negara Pasifik Selatan lainnya membawa isu Papua ke perhatian negara-negara PBB. Indonesia pun harus menghalau isu tersebut dengan kritikan yang dilontarkan balik oleh seorang diplomat muda.

Tanpa disadari, kejadian itu terus berulang pada tahun 2017, 2018, dan 2019. Indonesia pun kerap tampil dengan diplomat muda yang siap sediakala. Yang terbaru, pada Sidang ke-75 lalu, pernyataan Perdana Menteri (PM) Vanuatu Bob Loughman disanggah oleh diplomat muda yang bernama Silvany Pasaribu.

Mungkin, kehadiran sosok-sosok muda secara berulang itu turut memunculkan sejumlah pertanyaan. Mengapa Indonesia selalu menempatkan diplomat-diplomat muda tersebut? Mengapa kemunculan sanggahan Vanuatu ini juga terus berulang-ulang terjadi di PBB?

Strategi ala Indonesia?

Kemunculan diplomat-diplomat muda di sidang PBB yang dilaksanakan setiap tahun tersebut bisa jadi merupakan bagian dari strategi Indonesia dalam menghalau kritik-kritik yang dilontarkan Vanuatu dan negara-negara Pasifik Selatan lainnya. Bisa jadi, strategi ini merupakan upaya untuk mencapai tujuan komunikasi tertentu.

Bukan tidak mungkin, sanggahan dari hak balas Indonesia merupakan hal yang selalu direncanakan. Asumsi seperti ini bisa diambil dari penjelasan Lisa Bradford dan Sandra Petronio dalam tulisan mereka yang berjudul Strategic Embarrassment.  

Bradford dan Petronio setidaknya mengutip Teori Perencanaan (Planning Theory) milik Charles R. Berger. Teori tersebut menjelaskan bahwa perilaku komunikatif strategis selalu didasarkan pada perspektif yang didasarkan pada rencana.

Melalui teori tersebut, Bradford dan Petronio menyebutkan bahwa perencanaan dapat dilakukan guna mencapai tujuan interaksional tertentu. Tujuan itu pun dapat diaplikasikan pada upaya untuk memunculkan rasa malu secara strategis (strategic embarrassment).

Bradford dan Petronio juga menyebutkan beberapa tujuan yang dapat dicapai melalui strategic embarrassment, seperti untuk menonjolkan perilaku pihak lain yang tidak disukai atau untuk mendiskreditkan rekan atau lawan. Dengan begitu, pihak lain dapat merasakan rasa malu (embarrassment) yang mampu memengaruhi pandangan penonton atau pendengar lain (observer).

Bukan tidak mungkin, dengan munculnya balasan dari diplomat-diplomat muda, Indonesia ingin pemimpin-pemimpin negara Pasifik Selatan merasakan rasa malu tersebut. Melalui rasa malu tersebut, observer – publik dan partisipan lainnya – dapat memberi perhatian pada rasa malu tersebut.  

Uniknya, observer dapat memberikan reaksi terhadap rasa malu yang timbul. Menurut Bradford dan Petronio, observer dapat melakukan intensifikasi kepada penerima rasa malu, seperti mengejek, menertawai, atau dengan menarik perhatian lebih banyak terhadap penerima rasa malu.

Bukan tidak mungkin, perhatian dari observer seperti inilah yang ingin dicapai oleh Indonesia dengan menempatkan diplomat muda guna membalas pemimpin-pemimpin Pasifik Selatan. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana media dan publik Indonesia memberikan perhatian serupa.

Bahkan, tidak sedikit dari perhatian tersebut turut merendahkan Vanuatu dan Loughman. Tidak jarang dari perhatian tersebut justru memunculkan narasi yang bersifat rasis dan diskriminatif terhadap komunitas Melanesia.

Bisa jadi, dengan strategi seperti ini, pemerintah Indonesia tidak ingin kehilangan muka di depan masyarakatnya sendiri. Strategi ini bisa juga dapat mencegah Operasi Papua  Merdeka (OPM) mendapat momentum dengan memberikan rasa malu.

Namun, terlepas dari strategi yang digunakan Indonesia, mengapa kritik Vanuatu dan negara-negara Pasifik Selatan berulang kali memberikan perhatian terhadap isu Papua?

Perlu Halau Tiongkok?

Sebenarnya, Vanuatu dan negara-negara Pasifik Selatan sebelumnya bukan merupakan negara-negara yang menjadi perhatian besar bagi pemerintah Indonesia. Bahkan, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bisa dibilang mengabaikan kawasan tersebut dengan tidak menjadikannya sebagai salah satu prioritas politik luar negeri meski telah menjalin hubungan diplomatik dengan sejumlah negara kepulauan itu sejak tahun 1980-an.

Namun, kehadiran negara-negara Pasifik Selatan mulai menjadi perhatian pemerintah Indonesia semenjak Melansia Spearhead Group (MSG) – organisasi kawasan Pasifik Selatan – memberikan status observer bagi United Liberation Movement for West Papua (ULWP) pada tahun 2015. Persoalannya, Kemlu sendiri kala itu dinilai masih memiliki sedikit diplomat yang memahami dinamika di kawasan itu.

Perhatian negara-negara MSG terhadap isu Papua dan Papua Barat juga semakin tumbuh dengan berkembangnya dorongan pembahasan isu di Majelis Umum PBB sejak tahun 2016. Salah satu negara yang vokal hingga kini adalah Vanuatu.

Bukan tidak mungkin, konsistensi yang dibawa oleh Vanuatu ini didasarkan pada pengaruh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang terus berkembang di kawasan tersebut. Bagaimana tidak? Kawasan yang secara tradisional banyak dipengaruhi oleh Australia dan Selandia Baru tersebut dianggap mulai mendapatkan tamu besar baru.

Upaya Tiongkok untuk menggeser pengaruh Australia di kawasan Pasifik Selatan ini terlihat dari besarnya bantuan asing yang digelontorkan. Pada tahun 2011-2017, Tiongkok disebut telah memberikan bantuan sekitar Rp 81,2 triliun – mendekati pemberian Australia yang bernilai sekitar Rp 83,64 triliun dalam periode waktu yang sama.

Bahkan, Tiongkok sendiri telah menjadi pendonor terbesar di Vanuatu. Pada tahun 2017, negara Tirai Bambu tersebut telah menggelontorkan bantuan sekitar Rp 1,39 triliun untuk Vanuatu.

Alhasil, tumbuhnya pengaruh Tiongkok ini disebut memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi Vanuatu dan negara-negara kepulauan Pasifik lainnya dalam menentukan arah politik luar negerinya, termasuk soal pengakuan atas Republik Tiongkok (Taiwan). Selain itu, keleluasaan ini juga dinilai memberikan mereka kebebasan lebih dalam untuk mengkritisi isu Papua dan Papua Barat.

Uniknya lagi, isu Papua sendiri memiliki keterkaitan juga dengan dominasi Australia di pulau ujung timur Indonesia tersebut. Kabarnya, sejumlah perusahaan tambang asal Australia dan negara-negara Barat memiliki dominasi pada tingkat tertentu di Papua dan Papua Barat.

Bukan tidak mungkin, isu Papua dan Papua Barat ini juga menjadi pion penting bagi Tiongkok untuk menggeser pengaruh Australia – baik di Pasifik Selatan maupun Indonesia. Dengan begitu, dinamika geopolitik di kawasan ini dapat lebih menguntungkan negara yang dipimpin oleh Xi Jinping itu.

Menariknya lagi, besarnya pengaruh Tiongkok di kawasan ini – khususnya Vanuatu – juga memunculkan asumsi dan spekulasi liar di publik. Dalam sebuah jurnal akademik, negara Tirai Bambu tersebut bahkan sempat dianggap sebagai biang di belakang politik luar negeri Vanuatu.

Meski begitu, gambaran kemungkinan di atas belum tentu benar adanya. Lagipula, Indonesia kini mulai aktif menggandeng negara-negara Pasifik Selatan melalui kerja sama dengan MSG. Mari kita nantikan saja aksi selanjutnya dari pemerintah Indonesia untuk menghalau kekuatan dan kritik asing ini – entah kekuatan mana yang perlu dihalau. (A43)

Exit mobile version