Nampaknya gelar sapi perah untuk BUMN akan tetap tersemat diantara konflik perebutan kuasa elit atas perusahaan pelat merah tersebut.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]olemik revisi undang-undang BUMN menguat setelah kemarin Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di DPR mengkritik Revisi UU perusahaan berpelat merah tersebut.
Melalui ketua fraksi mereka, Ahmad HM Ali, Nasdem menyebut bahwa RUU tersebut terindikasi dimasuki agenda dan kepentingan politik subjektif (vested interest).
Ia menyebut bahwa revisi UU tersebut telah menabrak norma hukum secara yuridis, namun juga berpotensi mematikan gerak bisnis BUMN.
Terdapat dua aspek yang dapat disimpulkan dari polemik tersebut, yakni kompetisi perebutan sumber daya ekonomi politik dan adanya konflik kepentingan antara legislatif dan eksekutif. Share on XIa mencontohkan tentang kewenangan DPR yang akan dilibatkan dalam menentukan keputusan terkait aksi korporasi BUMN yang harus mendapat persetujuan DPR, dan setelahnya baru dapat dibuat menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Ia menambahkan, DPR sedang menciptakan jebakan untuk dirinya sendiri jika memiliki kewenangan untuk memilih dewan direksi dan komisaris untuk BUMN yang berjumlah.
Ia juga menuduh pergeseran urusan bisnis menjadi politik ini membuka peluang terjadinya aksi berburu rente (rent seeking), yang menyebabkan BUMN akan kembali menjadi sapi perah seperti di masa-masa sebelumnya.
Jika melihat pernyataan politisi Nasdem tersebut, mungkinkah memang ada konflik kepentingan di balik polemik pembahasan RUU ini? Sejauh mana konflik kepentingan tersebut dapat dijelaskan dalam kacamata politik?
Polemik Revisi UU BUMN
Jika dirunut secara historis, revisi UU BUMN ini memang telah lama menjadi pembahasan anggota DPR dan bahkan menjadi prolegnas.
Revisi UU ini bermula dari usulan permintaan uji materiil yang diajukan oleh dua pihak yaitu Albertus Magnus Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, jenderal purnawirawan yang tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD).
Mereka melakukan gugatan (judicial review) atas UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam gugatannya, terdapat dua pasal yang dipermasalahkan yakni pasal 2 ayat (1) huruf a dan b dan pasal 4 ayat (4).
"Jadi, atas dasar itu dan terutama menyelamatkan marwah DPR sendiri sebagai lembaga, Fraksi NasDem dengan tegas menolak RUU BUMN," tukas Ahmad Ali.
Selengkapnya https://t.co/aRCNiXTwzK#NasDemAntiMahar
— Partai NasDem (@NasDem) December 12, 2018
Namun sayangnya, kedua gugatan uji materiil tersebut kemudian ditolak oleh MK dengan alasan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Tidak hanya berhenti pada gugatan para jenderal, wacana revisi UU ini kembali memanas di pertengahan tahun 2018 karena Komisi VI DPR mengusulkan DPR seharusnya dapat turut serta mengawasi seluruh gerak-gerik yang dilakukan oleh BUMN dan anak-anak usahanya terutama pada langkah pemerintah dalam privatisasi BUMN pada pertengahan tahun 2018.
Menurut Pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas, yang juga merupakan politisi Gerindra ini, perubahan merger dan akuisisi atau apapun penjualan BUMN harus melalui persetujuan DPR.
Hal tersebut dituangkan dalam pasal 107 RUU BUMN, dimana Baleg memberikan catatan bahwa setiap tindakan terkait BUMN harus izin dari DPR.
Namun usulan tersebut bertolak belakang dengan UU No.19 tahun 2003. Pada pasal 82 ayat 2 yang menempatkan DPR sebagai badan konsultasi dan sosialisasi terkait dengan kebijakan BUMN.
Selain privatisasi, keterlibatan parlemen dalam pengawasan BUMN juga terkait pembentuan holding yang diatur dalam pasal 119 ayat 2 RUU BUMN.
RUU itu menyebut bahwa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan BUMN yang diusulkan kepada menteri disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan.
Berdasarkan asumsi historis tersebut, mungkinkah mencuatnya isu revisi UU BUMN merupakan head to head perebutan pengaruh antara legislatif dan eksekutif terhadap BUMN?
Manuver Politik DPR
Sebagai entitas ekonomi, BUMN tidak sekadar dibebani tugas untuk mencari untung sebagaimana perusahaan swasta umumnya karena selain mengemban misi ekonomi, perusahaan negara ini juga menyandang misi non-ekonomi. Inilah yang kerap mengakibatkan BUMN berada dalam posisi abu-abu.
Banyak BUMN yang tidak untung secara ekonomi misalnya, namun tetap dipertahankan keberadaannya karena dalih misi non-ekonomi yang diembannya misalnya kepentingan politik kelompok elite politik.
Ayo cermati parpol mana aja di DPR pengusul revisi UU BUMN. Dengar dengar hak menempatkan direksi mau jadi haknya DPR. Kalau ini mah ketahuan niat jeleknya.
— Dang Aryanyacala (@DAryanyacala) December 11, 2018
Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN disebut-sebut sebagai sapi perah para elite politik. Meskipun, menentukan yang menjadi pemerahnya terlampau sulit dan rumit untuk dibuktikan.
Namun setidaknya perumpamaan di atas sepertinya tak terlalu salah jika merujuk pada kiprah BUMN yang sebagaian besar berkutat di sektor-sektor ekonomi strategis yang membutuhkan anggaran besar.
Hal ini sejalan dengan studi Simon Wong dalam jurnalnya yang berjudul Improving Corporate Governance in SOEs: An Integrated Approach, yang menyebut bahwa di negara-negara berkembang, para politisi kerap kali menggunakan wewenangnya untuk mengambil keuntungan secara ekonomi dari BUMN dan hal tersebut yang akhirnya menghambat performa BUMN untuk memaksimalkan keuntungan.
Dalam konteks polemik pembahasan RUU BUMN selama ini memang lebih terkesan sebagai konflik perebutan sumber daya ekonomi politik elite. Terdapat dua aspek yang dapat disimpulkan dari polemik tersebut, yakni kompetisi perebutan sumber daya ekonomi politik dan adanya konflik kepentingan antara legislatif dan eksekutif.
Dalam konteks perebutan sumber daya ekonomi politik, wajar jika terdapat pihak yang merasa terusik karena RUU tersebut terkesan memberikan porsi yang cukup besar bagi DPR untuk mengintervensi kebijakan yang seharusnya menjadi kewenangan eksekutif, dalam konteks ini menteri BUMN.
Hal ini sejalan dengan pendapat Daron Acemoglu, profesor ekonomi politik dari MIT, yang menyebut bahwa elite politik akan selalu membuat kebijakan yang menguntungkan pihaknya dan kelompok dengan tujuan untuk memperkaya diri dan kelompok melalui sumber daya-sumber daya negara.
Secara khusus, elite akan bersaing dengan kelompok elite lain untuk memaksimalkan sumberdaya ekonomi. Pada akhirnya sekelompok elite berkuasa akan meminggrikan kelompok elite lain dalam perebutan sumber daya ekonomi politik tersebut untuk meneguhkan kekuasaan secara politik.
Tentu saja intervensi tersebut akan membuat gerah para elite BUMN yang selama ini mendapat keuntungan dari perusahaan pelat merah tersebut. Jika ada campur tangan DPR, hal tersebut akan sangat mengganggu penguasaan sumber daya ekonomi politik yang terdapat di BUMN.
Sedangkan dalam konteks konflik kepentingan antara eksekutif dan legislatif, boleh jadi upaya intervensi DPR terhadap BUMN melalui RRU memang didasari perasaan terpinggirkan dalam proses ekonomi politik.
Jika usulan Revisi UU BUMN dari DPR isinya agar DPR yg memilih Direksi dan Komisaris – saya berharap pemerintah menolak usulan tsb krn jelas itu usulan kebablasan. cc @KemenegBUMN @setkabgoid @KemenkeuRI @Kemenkumham_RI
— Muhammad Said Didu (@saididu) December 8, 2018
Pola ini menjadi sangat terlihat ketika elite-elite BUMN dikuasai oleh aktor-aktor politik yang cenderung dekat dengan eksekutif. Sebut saja di awal masa pemerintahan presiden Jokowi, seperti yang dilansir Kompas, terdapat 16 kandidat komisaris BUMN merupakan para politisi dan relawan yang membantu pemenangan presiden asal Solo tersebut.
Selain itu, indikasi yang menguatkan konflik kepentingan tersebut adalah panas dingin hubungan Menteri BUMN Rini Soemarno dengan DPR yang terlihat sepanjang pemerintahan Jokowi. Rini bahkan sempat dilarang mengikuti rapat bersama angota dewan sejak rapat paripurna DPR pada Desember 2015.
Rini juga dikenal sebagai menteri yang gemar merombak jajaran direksi di setiap perusahaan BUMN. Ia juga banyak mengangkat direksi dan komisaris jajaran BUMN dari relawan Jokowi. Ia juga sosok yang dikenal terlalu dekat dengan Jokowi.
Sedangkan baru-baru ini, konflik berlanjut ketika Komisi VI DPR meminta Kementerian BUMN serta pimpinan direksi BUMN infrastruktur untuk segera menyampaikan data hutang BUMN kepada DPR yang disinyalir kian membengkak.
Tentu kesemuanya bukan fenomena kebetulan belaka. Sehingga protes yang dilakukan oleh Fraksi Nasdem yang telah dijelaskan di awal lebih bisa dimaknai sebagai bentuk kekhawatiran pihak tertentu jika DPR berhasil menintervensi BUMN.
Pada akhirnya, konflik kepentingan ini akan menjadi pertaruhan besar baik bagi legislatif maupun eksekutif. Jika DPR berhasil mengesahkan RUU BUMN dan berhasil menempatkan kontrol DPR atas BUMN, bukan tidak mungkin sumberdaya ekonomi politik yang kini dikuasai oleh “orang-orang” eksekutif akan berpindah tangan. (M39)