Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) beberapa waktu lalu menyatakan bahwa partainya bukanlah partai politik yang kaku dalam menyambut ajakan koalisi, seperti yang dijalankannya bersama Partai Damai Sejahtera (PDS) di Papua pada tahun 2006. Manuver apa yang dilakukan PKS di balik kesiapan untuk menyambut ajakan koalisi?
PinterPolitik.com
“She only messin with a rapper if it’s beneficial” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
Koalisi partai politik di Indonesia sepertinya tergolong fleksibel dan tak mengenal batas. Hal ini berlaku bahkan pada partai dengan nuansa ideologi religius yang kentara, seperti PKS.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) misalnya, teringat dengan koalisi partainya yang dibangun bersama partai politik yang memiliki perbedaan ideologi, yakni Partai Damai Sejahtera (PDS). Dalam kenangan HNW, partai yang berlambang salib dan burung merpati ini pernah digandeng partainya dalam Pilkada Papua pada tahun 2006.
Namun, uniknya, selain bernostalgia terhadap perjuangan masa lalu partainya, HNW kembali menekankan bahwa sejarah koalisi PKS-PDS menunjukkan bahwa partainya selalu siap dan sanggup dalam menanggapi ajakan koalisi dari partai-partai lain. Melalui cerita itu, HNW kembali mengingatkan bahwa partainya bukanlah partai politik yang kaku.
Tajuk Rencana “KOMPAS”, Rabu 13/11/2019;mengapresiasi sangat positif :”Politik Merangkul Bukan Memukul”, yg libatkan Ketum Nasdem;Surya Paloh, Presiden PKS;M Shohibul Iman, dan Presiden RI;Jokowi. Tentunya unt Indonesia yg lebih baik, insyaAllah. pic.twitter.com/y4dA966akY
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) November 14, 2019
Nostalgia ini tampaknya tidak hanya terbatas pada kenangan belaka. Boleh jadi, pernyataan bahwa PKS tidak kaku dalam berkoalisi merupakan refleksi atas keputusan-keputusan politik partai ini selanjutnya.
Pertanyaannya, strategi politik macam apa yang digunakan oleh PKS? Lantas, bagaimana konsekuensi dari strategi tersebut?
Tesis Moderasi-Inklusi
Partai politik yang memiliki ideologi dan preferensi kebijakan yang tidak mainstream biasanya akan melakukan moderasi. Dalam kasus PKS, upaya semacam ini dianggap pernah dilakukan dalam pemilihan-pemilihan umum tingkat daerah.
Penjelasan mengenai upaya moderasi oleh PKS ini pernah dituliskan oleh Sunny Tanuwidjaja dalam tulisannya yang berjudul PKS in post-Reformasi Indonesia dan Dirk Tomsa dalam tulisannya yang berjudul Moderating Islamism in Indonesia. Keduanya menjelaskan bahwa moderasi ini dilakukan oleh PKS untuk menangkap lebih banyak pemilih.
Penjelasan moderasi ini berangkat dari tesis moderasi-inklusi yang menjelaskan pengurangan idealisme politik yang dianggap radikal. Berdasarkan tesis ini, partai-partai yang memiliki pandangan yang lebih ekstrem – baik sayap kanan maupun sayap kiri – akan memoderasi pandangannya dan melakukan inklusi atas prinsip-prinsip demokratis di tengah-tengah kompetisi elektoral.
Upaya moderasi semacam ini pernah dilakukan oleh aktor-aktor politik di negara lain. Recep Tayyip Erdogan yang kini menjabat sebagai Presiden Turki misalnya, pernah memoderasi idealisme politik yang dimilikinya.
Sebelumnya, Erdogan merupakan kader dari partai yang bernama Refah Partisi (RP) – sebuah partai politik yang menjalankan politik Islam di Turki. Partai ini akhirnya dilarang pada akhir abad ke-20 dan Erdogan pun ditahan.
Pada permulaan abad ke-21, Erdogan akhirnya memutuskan tidak lagi terlibat politik Islam secara terbuka. Kala itu, presiden Turki ini akhirnya memutuskan untuk mendirikan partai politik baru yang bernama Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP).
Berbeda dengan partainya sebelumnya, AKP yang didirikan Erdogan lebih memiliki gagasan politik yang bersifat sekuler. Galib Bashirov dan Caroline Lancaster dalam tulisannya yang berjudul End of Moderation menjelaskan bahwa AKP kala itu dikenal sebagai partai Islam yang moderat dan demokratis.
Mengacu pada tulisan Bashirov dan Lancaster, terdapat dua macam moderasi, yakni moderasi ideologis (ideological moderation) dan moderasi perilaku (behavioral moderation). Bagi mereka, moderasi perilaku akan berujung pada moderasi ideologis.
Kehadiran AKP disebut-sebut sebagai keberhasilan akan penghapusan politik Islam yang konservatif, baik secara perilaku maupun dalam hal ideologis. Beberapa ahli dan pengamat politik pun selama beberapa tahun menganggap kelahiran AKP sebagai puncak dari era baru Islamisme moderat di Timur Tengah.
Bashirov dan Lancaster menjelaskan bahwa moderasi yang berujung pada AKP ini merupakan upaya moderasi perilaku yang telah dilakukan semenjak berbagai dekade lalu. Cikal bakal kelahiran AKP sebenarnya berasal dari partai-partai berideologi agama yang nasibnya kerap berakhir pada pembubaran, yakni Millî Nizam Partisi (MNP) (1970-1971), Millî Selâmet Partisi (MSP) (1972-1981), dan Refah Partisi (RP) (1983-1998).
RP sendiri merupakan partai politik di mana Erdogan memulai karier politiknya. Setelah partai ini bubar dan dirinya ditahan, Erdogan tidak lagi secara terbuka menyuarakan politik Islam dan mendirikan AKP yang dikenal sebagai partai politik moderat.
Moderasi perilaku yang berujung pada moderasi ideologis yang terjadi di AKP ini terlihat dari peraturan dasar partai tersebut yang mengandung beberapa prinsip politik partai. Dalam peraturan dasar yang dimiliki AKP, moderasi ini sangat terlihat dengan adanya prinsip-prinsip hak asasi manusia universal dan non-diskriminasi.
Bahkan, peraturan dasar partai politik yang didirikan Erdogan tersebut mengaitkan nilai-nilainya dengan ketokohan Mustafa Kemal Atatürk – presiden pertama Republik Turki dan pendorong sekularisme Turki modern.
Jika Erdogan melalui AKP telah melakukan moderasi guna memberikan posisi elektoral yang lebih kompetitif, bagaimana dengan PKS di Indonesia? Moderasi apa yang dilakukan oleh partai tersebut?
Strategi PKS
Beberapa ahli melihat bahwa PKS juga menggunakan moderasi guna memperluas peruntungannya di pemilihan umum. Dalam sejarahnya, partai ini dinilai telah melakukan moderasi melalui koalisi-koalisi politik yang terbangun dan pelibatan prinsip-prinsip demokratis dalam preferensi kebijakannya.
Tanuwidjaja dalam tulisannya menjelaskan bahwa PKS juga memberikan perhatian terhadap isu-isu yang berada di luar politik Islam yang selama ini dibawanya, seperti demokrasi, pemberantasan korupsi, jalannya pemerintahan yang baik, dan pembangunan ekonomi.
Sebagai partai yang berasaskan pada nilai-nilai Islam – tercatat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKS, partai ini bisa jadi membutuhkan moderasi guna menjembatani pemilih-pemilih mainstream.
Sedikit berbeda dengan AKP, bertahannya asas-asas Islam di AD/ART-nya bisa jadi menandakan adanya moderasi yang berbeda. Jika AKP melakukan moderasi sampai pada tingkat ideologis, PKS mungkin lebih menekankan pada moderasi perilaku.
Moderasi perilaku ini dapat diamati dari berbagai sejarah koalisi yang dibangunnya. Selain berkoalisi dengan PDS, PKS dinilai juga kerap berkoalisi dengan partai-partai sekuler-nasionalis lainnya sejak era kepresidenan Abdurrahman Wahid hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seperti dengan Partai Demokrat dan PDI Perjuangan (PDIP).
Upaya moderasi ini boleh jadi pernah dilakukan oleh PKS. Pasalnya, figur-figur seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah dikabarkan sebelumnya mendorong pengadopsian nilai-nilai demokrasi.
Namun, hengkangnya sosok-sosok yang disebut tergolong dalam Faksi Sejahtera – Anis, Fahri, dan loyalis-loyalisnya – ke Partai Gelora bisa jadi membuat PKS kembali pada gerakan yang lebih konservatif – dengan tinggalnya tokoh-tokoh yang disebut tergolong Faksi Keadilan seperti Salim Segal Al-Jufri, Sohibul Iman, dan HNW di PKS. Anggapan dan rumor ini mencuat dengan adanya isu konflik internal di PKS beberapa waktu lalu sebelum Pilpres 2019.
Pertanyaan lain pun timbul. Bila tokoh-tokoh moderasi PKS kini tak hadir lagi di lingkungan internal partai, mengapa HNW masih memberikan sinyal bahwa partainya tetap tidak kaku dalam membangun koalisi politik?
Jika memang kini PKS berada di tangan Faksi Keadilan yang identik dengan konservatisme, bukan tidak mungkin moderasi yang dilakukan Anis dapat berhenti. Pernyataan HNW bisa jadi malah mencerminkan moderasi dalam bentuk lain, yakni pragmatisme politik.
John McGowan dalam bukunya yang berjudul Pragmatist Politics menjelaskan bahwa aktor politik yang pragmatis dapat dipahami sebagai aktor politik yang mengorbankan komitmen dan keyakinannya untuk meraih tujuan tertentu. Bukan tidak mungkin, “moderasi” yang berbeda ini akan mewarnai manuver politik PKS ke depan meskipun sosok Anis telah hengkang.
Manuver-manuver pragmatis ini mungkin dapat dilihat dari sikap terbuka partai ini dalam menyambut ajakan koalisi, seperti pertemuan Sohibul dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh pada beberapa waktu lalu.
Pasalnya, pertemuan ini disebut-sebut menjadi cikal bakal bagi koalisi di antara kedua partai tersebut dalam menyongsong Pemilu 2024. Apalagi, PKS sebagai partai Islam juga harus menghadapi tantangan akan minimnya kader populer yang dapat disajikan kepada para pemilih.
Mungkin, lirik rapper Drake di awal tulisan dapat menggambarkan manuver-manuver politik PKS. Bisa jadi, kemungkinan pragmatisme politik ini boleh jadi akan berakhir pada koalisi-koalisi baru yang didasarkan pada nilai manfaatnya, entah siapa saja yang dapat memberikan manfaat itu. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.