Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan kenaikan biaya haji yang fantastis, yakni sebesar 76 persen. Lantas, mengapa usulan tak populer itu berani dilontarkan Menag Yaqut? Adakah kepentingan tertentu di baliknya?
Sebagian warga +62 kiranya tak asing dengan adagium satir “mahal banget, mau naik haji yang jual,” untuk merespons banderol harga overprice atas barang atau jasa apapun. Belakangan, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas kiranya semakin mempertegas adagium itu setelah mengusulkan kenaikan biaya haji yang fantastis.
Dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VIII DPR pekan lalu, Menag Yaqut ngide biaya perjalanan spiritual umat Islam itu naik dari sekitar Rp39,8 juta menjadi Rp69,1 juta.
Yaqut menjelaskan, biaya keseluruhan haji dipenuhi dengan skema gabungan antara persentase biaya perjalanan (70 persen) dengan nilai manfaat atau hasil kelola dana tabungan haji para calon (30 persen).
Meski hanya berlaku domestik, di saat bersamaan angka perjalanan haji pada tahun 2023 turun sebesar 30 persen di Arab Saudi. Itu dikonfirmasi langsung oleh Perwakilan Kementerian Haji dan Umrah Amr bin Reda Al Maddah.
Merespons kritik pasca usulan Menag Yaqut, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief fokus pada aspek nilai manfaat dari biaya haji jemaah.
Dia menyebut kenaikan dimaksudkan untuk menjaga nilai manfaat yang menjadi hak jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus dan dapat digunakan secara berkelanjutan.
Secara teknis, nilai manfaat sendiri berasal dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), plus merupakan bentuk subsidi pemerintah.
Memiliki fungsi layaknya manajer investasi, BPKH akan mengelola dana haji jemaah ke dalam berbagai opsi instrumen investasi yang dianggap berkelanjutan, aman, dan sesuai dengan prinsip keuangan sosial syariah atau Islamic social finance.
Akan tetapi, pekerjaan BPKH kiranya memang tak mudah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, yang melihat satu dari sekian potensi permasalahan pengelolaan dana haji, yakni masalah etik dan konflik kepentingan dalam penunjukan bank penerima setoran (BPS) biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).
Ketika sampai pada gambaran proses pengelolaan dana haji dengan kompleksitas persoalan tersebut, usulan kenaikan biaya oleh Menag Yaqut kiranya memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan di tengah potensi respons minor publik tanah air.
Lantas, mengapa Menag Yaqut tetap mengusulkannya?
Ekonomi-Politik Haji
Menjadi salah satu Rukun Islam, haji menjadi ibadah yang dilakukan umat Muslim di seluruh dunia dengan segala keterbatasan di masa lalu, baik dari segi transportasi maupun akomodasi perjalanan. Itu belum termasuk kendala bertendensi politis dari jemaah yang berasal dari wilayah atau negara kolonial.
Ihwal itu pun terjadi di Indonesia. Campur tangan negara dalam pengaturan jemaah haji, termasuk biayanya, telah dilakukan sejak era Hindia Belanda.
Fokus permasalahan kala itu adalah kesalahan predikat kepada jemaah haji yang diberi julukan Islamitische priester atau “pendeta Islam”. Julukan yang dianggap mencurigakan secara politik dan berbahaya oleh pemerintahan kolonial.
Moch. Nur Ichwan dalam jurnal berjudul Politics of Islamic Pilgrimage Services in Indonesia Prior to Reformasi Era, menyebut regulasi pertama mengenai haji dikeluarkan pada tahun 1825.
Saat itu, pembatasan haji dilakukan dengan pembebanan biaya 110 gulden untuk paspor haji dan denda 1000 gulden bagi mereka yang “naik haji” tanpa paspor.
Meski dikritik oleh Penasehat Urusan Pribumi Hindia Belanda Christiaan Snouck Hurgronje karena dapat memberikan efek negatif bagi kepentingan kolonial, aturan itu tetap diberlakukan dengan sedikit keringanan.
Terlebih, berkembangnya Pan Islamisme membuat perjalanan haji ke Mekkah dilihat sebagai sumber permasalahan politik dan pemberontakan.
Pesatnya perkembangan populasi Muslim membuat agen perjalanan haji kemudian mulai bermunculan. Selain untuk mencegah potensi kekhawatiran politik, haji kemudian juga mulai dilihat sebagai bisnis wisata religi yang besar.
Terdapat tiga travel haji prominen saat itu, yakni Kongsi Tiga, Herklots, dan Alsegoff & Co. Meski begitu, masih terdapat biro perjalanan profesional yang dikelola oleh para syekh maupun ulama untuk mengakomodasi perjalanan haji umat Muslim Hindia Belanda.
Di era pendudukan Jepang, regulasi haji tak banyak berubah walaupun perjalanannya diperketat mengingat Perang Dunia II begitu panas.
Pasca merdeka, tata kelola perjalanan haji masih dibayangi keterbatasan dalam hal koordinasi di era Orde Lama (Orla). Saat Orde Baru (Orba), Nur Ichwan menyebut monopoli negara atas perjalanan haji termasuk tata kelolanya mulai terjadi akibat jamaknya fenomena gagal berangkat jemaah lewat travel swasta.
Istilah Ongkos Naik Haji (ONH) dan ONH plus juga muncul di masa kepemimpinan Soeharto sebagai frasa yang menggambarkan ekonomi politik haji kala itu. Dana haji juga mulai dikelola terpusat oleh badan bernama Dana Sosial Kerohanian Presiden pada 1970 dan Badan Pengelola Dana Ongkos Haji Indonesia pada 1996.
Pasca Reformasi, mulai terdapat masa tunggu yang lebih lama dari biasanya seiring dengan dinamika kebijakan kuota dari pemerintah Arab Saudi. Ihwal yang menjadi salah satu faktor monopoli pemerintah semakin kuat dalam urusan haji dan tata kelola dananya.
Tak jarang, pemerintah, utamanya Kemenag, dikritik karena seakan bertindak sebagai corporated business atau bisnis korporasi yang mengumpulkan manfaat dari layanannya.
Lalu, dengan faktor historis dan realita yang ada, apakah usulan kenaikan biaya haji Menag Yaqut akan memperparah sentimen tersebut?
Bukan Demi Cuan?
Konsep corporated business yang tampaknya diterapkan atas haji dan tata kelola pendanaannya di saat bersamaan menghadirkan kritik yang menyebut pemerintah seolah bertindak sebagai regulator sekaligus “agen travel haji”.
Akan tetapi, Sulistyo B. Utomo, Noel Scott, dan Xin Jin dalam sebuah publikasi berjudul The business of hajj menjelaskan dinamika yang berkembang di era modern membuat perilaku negara dan para investor yang menjadikan haji sebagai objek corporated business tak dapat terhindarkan, termasuk di Indonesia.
Ketiganya menyebut haji bukan lagi tentang religious outcome, tetapi atas dasar menyelaraskan dengan tuntutan serta atmosfer ekonomi, politik, dan bisnis.
Hal itu juga terjadi di Arab Saudi saat hotel-hotel mewah berlomba-lomba dibangun dekat dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Setiap negara dengan potensi jemaah haji yang masif turut “terjerumus” ke dalam perlombaan penyediaan akomodasi dan perjalanan terbaik, yang mana tentu diiringi dengan kalkulasi biaya haji sedemikian rupa.
Tak hanya di Indonesia, Malaysia pun menerapkan manajemen dana haji jemaah yang hampir mirip. Dikelola oleh badan bernama Lembaga Urusan dan Tabung Haji (LUTH), biaya haji di Negeri Jiran setelah disubsidi dari nilai manfaat terbagi menjadi dua golongan, yakni Rp38,7 juta dan Rp45,8 juta tergantung kelas ekonomi sang jamaah.
Atas berbagai telaah di atas serta sampai pada titik analisis ini, Menag Yaqut bukan tidak mungkin melihat esensi yang sama bahwa kenaikan biaya haji bukan soal usul yang bersifat populer semata.
Aspek yang digarisbawahi Menag Yaqut dan jajarannya mengenai nilai manfaat dana haji, investasi dana, dan tata kelola dana jangka panjang oleh BPKH kemungkinan memang memiliki relevansi tertentu yang membuat dana haji mau tidak mau harus dinaikkan.
Akan tetapi, rincian mengenai pengelolaan dan pemanfaatan dana tetap perlu dikomunikasikan kepada para calon jemaah secara jelas. Bagaimanapun, kenaikan dengan persentase cukup besar tak dapat dipungkiri akan membebani sejumlah kalangan untuk dapat menunaikan ibadah haji.
Oleh karena itu, mencoba mencari jalan tengah seperti melakukan kenaikan biaya tidak secara drastis bisa menjadi hal yang patut dipertimbangkan oleh Menag Yaqut dan pihak-pihak terkait. (J61)