Tidak seperti Presiden Jokowi yang menyebut banjir di Kalimantan Selatan terjadi akibat curah hujan yang tinggi, Megawati Soekarnoputri justru menyebut penyebabnya adalah kerusakan lingkungan. Apakah pernyataan Ketua Umum PDIP itu merupakan manuver untuk memberikan kritik kepada Presiden Jokowi?
Di awal tahun ini, rentetan bencana alam senantiasa menghantui. Bayangkan saja, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari tanggal 1 sampai 18 Januari saja, sudah ada 154 bencana alam terjadi di Indonesia.
Dari rentetan bencana alam yang ada, banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) adalah salah satu yang paling menyita perhatian saat ini. Presiden Joko Widodo (jokowi) sendiri telah meninjau lokasi bencana, tepatnya di Kelurahan Pekauman, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar, pada 18 Januari kemarin.
Dalam keterangannya, Presiden Jokowi menyebut banjir yang terjadi mungkin adalah yang terbesar dalam 50 tahun terakhir. Menurut mantan Wali Kota Solo ini, banjir terjadi karena tingginya curah hujan yang terjadi hampir selama 10 hari berturut-turut.
Nah menariknya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri justru tidak menyinggung masalah curah hujan tinggi sebagai penyebab banjir di Kalimantan Selatan. Menurutnya, banjir terjadi akibat kerusakan alam. Dalam kesempatan yang sama, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahkan secara spesifik menyebut penebangan pohon dan penambangan sebagai penyebab banjir yang terjadi.
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di era kepemimpinan Jokowi, mungkinkah pernyataan Megawati tersebut ditujukan untuk mengkritik Presiden Jokowi?
Kerusakan Ekologi
Persis seperti kritik Mega dan Hasto, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Greenpeace Indonesia juga menyinggung faktor kerusakan lingkungan sebagai penyebab banjir.
Di sini, Greenpeace menyoroti hilangnya separuh hutan hujan Kalimantan dalam 50 tahun terakhir. Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Kompas menyebut banjir terjadi karena Daerah Aliran Sungai (DAS) telah kehilangan sekitar 304.225 hektar tutupan hutan sepanjang 2001-2019.
Secara spesifik, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika juga menyebut UU Minerba dan UU Ciptaker berpotensi untuk mendukung terus dilanjutkannya usaha tambang di Kalimantan Selatan, di mana ini dapat meningkatkan kerusakan ekologi yang ada.
Hindun Mulaika, misalnya, memberi contoh dua perusahaan batu bara yang dapat diuntungkan oleh UU Minerba, yakni PT Arutmin Indonesia milik Bakrie Group dan PT Adaro milik keluarga Erick Thohir.
Keduanya masing-masing memiliki konsesi lahan tambang batu bara sebesar 57 ribu hektare dan 31 ribu hektare di Kalimantan Selatan. Menurutnya, melalui UU Minerba terdapat semacam jaminan perpanjang izin tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan dari perusahaan terkait.
Baca Juga: Jokowi dan Ironi Keheranan Pangan
Senada, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono juga menyoroti alih fungsi lahan sebagai penyebab banjir. Menurutnya, Kalimantan Selatan yang luasnya mencapai 3,7 juta hektare, 50 persennya sudah digunakan untuk tambang. Dan 33 persen hutannya telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Secara tegas, Kisworo bahkan menyarankan agar Presiden Jokowi sebaiknya tidak datang ke Kalimantan Selatan jika hanya menyalahkan curah hujan sebagai penyebab banjir.
Akumulasi Kekayaan
Terkait pernyataan Mega, Hasto, Hindun Mulaika dan Kisworo, tentunya adalah penegasan yang sangat kita pahami. Sekiranya itu telah menjadi pengetahuan umum (common sense). Namun yang menjadi pertanyaan serius adalah, mengapa pengetahuan umum tersebut tidak terejawantahkan dalam kebijakan pemerintah?
Pertanyaan serupa juga diajukan oleh Profesor Geografi dan Ilmu Kesehatan Lingkungan di University of California, Jared Diamond dalam bukunya Collapse: Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia. Dalam penelitiannya menyelidiki faktor-faktor yang menyebabkan kehancuran kelompok masyarakat ataupun peradaban di masa lalu, faktor lingkungan ternyata menjadi yang terdepan.
Di akhir bukunya, Jared bahkan berharap agar apa yang ditulisnya dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat modern agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan peradaban di masa lalu.
Mengacu pada temuan Jared, tentu menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa kesalahan serupa, yakni menghancurkan alam justru terus dilakukan manusia?
Helen Kopnina dan kawan-kawan dalam tulisannya Anthropocentrism: More than Just a Misunderstood Problem tampaknya menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut mereka, manusia yang selalu mengeksploitasi alam berakar dari asumsi antroposentrisme. Ini adalah isme yang mengasumsikan manusia sebagai entitas yang paling penting di alam semesta.
Pada level praktis, asumsi atau keyakinan tersebut membuat manusia memiliki legitimasi moral untuk melakukan eksploitasi alam karena meyakini alam semata-mata ada untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Dalam simpulan tulisannya, antroposentrisme disebut sebagai pendorong signifikan ekosida dan krisis lingkungan, karena manusia menilai bumi adalah “planet manusia” tanpa mempertimbangkan bahwa umat manusia sepenuhnya bergantung pada alam.
Kendati telah memahami antroposentrisme, selaku makhluk rasional, tentu menjadi pertanyaan, bukankah manusia seharusnya paham bahwa mengeksploitasi alam secara berlebihan akan membawa kehancuran bagi diri mereka sendiri? Lantas, mengapa itu tetap dilakukan?
Baca Juga: Mengapa PSBB Anies Ditentang Pusat?
Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, memberikan asumsi penting untuk menjawab keheranan tersebut. Menurut Yuval, setelah peradaban manusia memasuki era bercocok tanam – sebelumnya berburu – sekitar 10 ribu tahun lalu, yang mana ini memungkinkan manusia melakukan akumulasi kekayaan, manusia disebut menjadi terperangkap dalam kemewahan.
Menurut Yuval, hidup bergelimang harta bahkan membuat manusia melakukan toleransi terhadap masalah-masalah sosial yang sebelumnya tidak ditemui ketika masih hidup berburu. Persoalan hak tanah dan hak waris, misalnya, baru muncul setelah peradaban manusia bercocok tanam.
Jika asumsi Yuval benar, maka dapat dikatakan bahwa terus diulangnya eksploitasi alam secara berlebihan, terjadi karena kognisi manusia telah terperangkap dalam hasrat untuk mencari kekayaan dan kemewahan.
Setelah memahami hal tersebu, selaku politisi ulung yang dikenal memiliki bahasa politik tingkat tinggi (high level political language), mungkinkah hanya pesan tersebut yang ingin disampaikan oleh Megawati?
Kritik Jokowi?
Dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2020 lalu, Megawati justru melontarkan pernyataan yang dinilai kurang tepat.
Bagaimana tidak? Putri Soekarno itu justru mempertanyakan sumbangsih milenial, khususnya mereka yang terlibat dalam demonstrasi penolakan UU Ciptaker untuk bangsa dan negara. Presiden Kelima RI ini juga mengaku telah mewanti-wanti Presiden Jokowi agar tidak memanjakan milenial.
Saat itu, berbagai pihak mengomentari Mega dengan menunjukkan berbagai sumbangsih milenial yang membanggakan. Namun, dengan mengacu pada kepandaian Mega menggunakan bahasa politik, terdapat analisis yang justru menyebutkan bahwa pernyataan tersebut sebenarnya ditujukan kepada keluarga Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang maju di Pilkada 2020.
Bobby yang baru menginjak 29 tahun dan Gibran yang baru 33 tahun, keduanya jelas masuk ke dalam ketegori milineal. Artinya, ada kemungkinan kritik tersebut sebenarnya ditujukan kepada keduanya.
Pasalnya, majunya Gibran dan Bobby telah jamak disebutkan memunculkan gejolak internal di tubuh PDIP dan memantik sentimen minor publik perihal politik dinasti. Selain itu, itu juga buruk bagi PDIP yang membutuhkan elektabilitas dan proses kaderisasi partai.
Baca Juga: Bukan Milenial, Megawati Sindir Jokowi?
Nah, jika analisis tersebut tepat, maka ada kemungkinan pula pernyataan Mega yang mengomentari banjir di Kalimantan Selatan juga memiliki pesan politik. Dan jika benar pernyataan tersebut mengkritik Presiden Jokowi, maka Mega memiliki dukungan yang kuat dari Greenpeace Indonesia dan Walhi.
Bisa saja pernyataan tersebut juga sebagai kritik terhadap UU Minerba dan UU Ciptaker yang disahkan di era pemerintahan Jokowi. Pasalnya, tidak hanya kontroversial dari segi substansi, di mana persoalan lingkungan disebut diabaikan, dari segi proses pengesahan, kedua UU tersebut juga mengundang polemik.
Sebagaimana diketahui, polemik kedua UU tersebut, khususnya Ciptaker telah menciptakan sentimen minor di tengah publik yang mungkin dinilai Mega berdampak buruk bagi elektabilitas PDIP ke depannya. Kedua UU yang disebut elitis tersebut, tentunya kontras dengan jargon partai banteng yang menyebut diri sebagai partai wong cilik dan ingin menegakkan ajaran marhaenisme.
Namun tentunya, hanya Mega yang mengetahui kepada siapa pernyataan tersebut sebenarnya ditujukan. Yang jelas, kerusakan ekologi yang terjadi harus menjadi perhatian serius pemerintah saat ini. Apa pun asumsi di baliknya, alam adalah komponen utama yang menunjang kehidupan dan peradaban manusia. (R53)