Mengunjungi Israel, delegasi pengusaha Indonesia disebut saling bertukar pikiran dan menjajaki kerja sama bisnis dengan Institut Ekspor dan Kementerian Ekonomi Israel.
PinterPolitik.com
Diberitakan oleh media Israel, delegasi ini terdiri dari tujuh orang yang dipimpin oleh Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) bidang Hubungan Timur Tengah, Mufti Hamka Hasan. Lebih lanjut, kunjungan ini diprakarsai oleh Institut Ekspor dan bagian perdagangan luar negeri Kementerian Ekonomi Israel.
KADIN sendiri, melalui Shinta Widjaja selaku Wakil Ketua KADIN Bidang Hubungan Internasional, secara resmi menyangkal adanya kunjungan ke Israel. KADIN mengatakan bahwa delegasi Indonesia datang ke Palestina, bukan Israel, dalam rangka memenuhi undangan forum bisnis.
Namun, dari foto-foto yang beredar, kuat dugaan bahwa delegasi Indonesia memang mengunjungi Israel. Mereka mengunjungi pameran permata di Kota Ramat Gan, di bagian timur Tel Aviv, yang memang terkenal akan distrik permatanya yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia.
Sebagai wadah berkumpulnya pengusaha-pengusaha Indonesia, KADIN memang bersifat independen dan bukan perpanjangan tangan dari pemerintah. Kunjungan KADIN ke Israel-pun seharunsya tidak dapat dikatakan sebagai representasi sikap pemerintah Indonesia.
Namun, kunjungan ini tetap berpotensi menimbulkan kontroversi, mengingat tidak adanya hubungan resmi diplomatik antara kedua negara dan pandangan negatif sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap Israel.
Lalu, apa latar belakang dari kunjungan ini? Atau jika ingin ditarik ke konteks yang lebih besar lagi, apakah ada keuntungan jika Indonesia semakin mempererat hubungannya dengan Israel?
Peningkatan Perdagangan Melalui KADIN?
Dua hal yang dapat dilihat dari kunjungan delegasi pengusaha Indonesia ke Israel, yaitu waktu kunjungan dan pilihan komoditas yang dibicarakan.
Kunjungan delegasi pengusaha dan KADIN dilakukan ketika isu mengenai neraca perdagangan Indonesia sedang ramai dibicarkaan. Seperti yang publik ketahui, neraca perdagangan Indonesia dari bulan Januari hingga Mei 2019 mengalami defisit sebesar US$ 2,14 miliar.
Kondisi ini juga yang menjadi alasan kekecewaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap kinerja kabinetnya saat memipin sidang kabinet paripurna Senin lalu. Bahkan Jokowi sampai memberikan teguran khusus kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
Mengenai komoditas, media Israel menyebutkan bahwa selain permata, delegasi Indonesia juga memiliki ketertarikan dalam sektor agrikultur, medis, dan tekstil.
Pilihan sektor non-migas ini sesuai dengan aktivitas ekspor-impor kedua negara yang memang didominasi oleh komoditas non-migas. Ya, Indonesia memang tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel dan pemerintah selalu menegaskan hal tersebut. Tapi itu urusan politik, beda dengan ekonomi.
Bukan rahasia umum bahwa selama ini terjalin hubungan dagang Indonesia-Israel melalui pengusaha dari masing-masing negara. Ekspor utama yang ditawarkan Indonesia ke Israel adalah tekstil, makanan dan minuman, sepatu, hingga minyak kelapa sawit.
Sedangkan impor utama yang diterima Indonesia terkait dengan barang-barang berteknologi tinggi seperti perangkat elektronik, perangkat lunak, hingga teknologi militer.
Melihat rentetan kejadian ini, sepertinya kunjungan delegasi pengusaha dan KADIN ke Israel memang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dengan Israel. Dalam hal ini peran KADIN yang berada di luar struktur pemerintahan menjadi vital karena hingga saat ini Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Pemilihan kunjungan ke Israel juga cukup masuk akal jika melihat data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Dari tahun 2014 hingga April 2019, neraca perdagangan Indonesia-Israel ada dalam kondisi yang surplus. Defisit hanya pernah dialami Indonesia pada tahun 2016.
Tahun 2018, neraca perdagangan kedua negara menguntungan Indonesia sebesar US$ 76,36 juta (Rp 1,07 triliun). Sementara untuk tahun ini, hingga bulan April neraca perdagangan menunjukkan surplus sebesar US$ 30,48 juta (Rp 427 miliar).
Hambatan dan Peluang
Di sisi lain, keinginan untuk meningkatkan angka perdagangan Indonesia-Israel tidak akan mudah terjadi. Ada hambatan-hambatan besar yang merintangi.
Dalam tulisannya yang berjudul Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting, Greg Barton dan Colin Rubenstein menyebut adanya pergeseran alasan tidak diakuinya Israel oleh Indonesia.
Pada awalnya, ketidakinginan Indonesia mengakui Israel muncul dari solidaritas Indonesia dengan negara-negara Arab lainnya yang sama-sama pernah dijajah. Porsi kekuatan negara-negara Arab dalam Gerakan Non-Blok (GNB) juga dikatakan menjadi alasan kebersamaan sikap Indonesia dalam menghadapi Israel.
Kemudian, terjadi pergeseran di mana saat ini alasan penolakan Pemerintah Indonesia terhadap Israel lebih disebabkan karena adanya tekanan dan respon keras dari kelompok-kelompok Islam domestik, katakanlah jika pemerintah Indonesia melakukan normalisasi hubungan.
Barton dan Colin kemudian berpendapat bahwa pandangan kelompok Islam domestik di Indonesia hanya dapat berubah jika negara-negara Arab terlebih dahulu melakukan normalisasi secara formal dengan Israel. Hal ini dikarenakan kelompok Islam di Indonesia cenderung menjadikan negara Arab sebagai contoh dalam bersikap.
Akankan Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel? #infografis
Nantikan artikel selengkapnya di https://t.co/xcS6dR1dxG pic.twitter.com/0LodGtPHja
Meskipun menemui hambatan, bukan berarti kedua negara tidak pernah berusaha mempererat hubungan. Sejak keduanya merdeka, baik Indonesia maupun Israel dalam beberapa kesempatan pernah berusaha melakukan normalisasi hubungan di berbagai sektor.
Pada masa Orde Baru misalnya, Indonesia secara diam-diam melalui Amerika Serikat (AS), pernah membeli setidaknya 28 pesawat tempur A-4 Skyhawk bekas Angkatan Udara Israel. Masih pada periode kekuasaan yang sama, pada 1993 Suharto juga pernah bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Israel, Yitzhak Rabin di Jakarta.
Di era Gus Dur, normalisasi penting dalam sektor ekonomi terjadi dengan dicabutnya surat larangan dagang dengan Israel pada 1 Februari 2000.
Normalisasi juga pernah dilakukan oleh kelompok Islam Indonesia. Yang sempat menuai kontroversi misalnya ketika Pengurus Besar Nadhlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf, berdialog dengan Forum Global Yahudi Amerika saat ia berkunjung ke Israel pada tahun 2018.
Sementara dari sisi Israel, keinginan kuat untuk menormalisasi hubungan dengan Indonesia juga pernah dilakukan salah satunya pada tahun 2018. Pada saat itu PM Israel Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang penting bagi Israel. Ia juga mengungkapkan keinginannya untuk membuka hubungan diplomatik resmi dengan Indonesia.
Pemerintah yang hingga saat ini tetap mempertahankan status quo terhadap Israel membuat pengusaha-pengusa Indonesia harus “berjuang” sendiri.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pernah mengatakan bahwa tidak adanya hubungan diplomatik menyebabkan hubungan pengusaha Indonesia dengan pengusaha Israel harus selalu melalui pihak ketiga. Kondisi ini menyebabkan sulitnya mengukur nilai asli perdagangan kedua negara dan menambah pengeluaran karena harus membayar pihak ketiga.
Padahal, terlepas dari permasalahan politik, potensi ekonomi Indonesia-Israel dinilai cukup besar. Misalnya pada tahun 2017 di mana pertumbuhan ekspor Indonesia ke Israel naik 16,17 persen yang mengalahkan pertumbuhan ekspor dengan negara lain.
Salah satu pengusaha asal Israel juga pernah mengatakan bahwa kedua negara memiliki “kecocokan” ekonomi. Baik Indonesia maupun Israel memiliki produk yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak.
Di tengah kebutuhan pemerintah untuk memenuhi janji-janji pertumbuhan ekonomi, meneruskan pembangunan infrastruktur, dan memperbaiki neraca perdagangan, Israel muncul sebagai salah satu negara yang memiliki potensi ekonomi positif bagi Indonesia.
Apakah pemerintah Indonesia ke depannya akan tergiur untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel? Lalu, apakah kebutuhan ekonomi pada akhirnya akan mengalahkan agenda politik? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F51)