Kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2020-2025 menuai polemik. Pasalnya sejumlah pemuka agama yang kerap kritis terhadap pemerintah tak lagi menjabat sebagai pengurus. Adakah manuver politik tertentu di balik terdepaknya mereka dari gerbong MUI?
“The faith and the crown are two pillars that hold up this world. One collapses, so does the other,” – Cersei Lannister, tokoh dalam serial Game of Thrones
Serial televisi Game of Thrones yang booming beberapa tahun lalu memang selalu punya cara untuk membuat para penggemarnya terkesima. Bagaimana tidak? Meski berlatar di dunia fantasi, namun konteks perebutan tahta dan intrik politik yang digambarkan dalam serial besutan HBO ini tak jarang punya relevansinya sendiri dengan keadaan di dunia nyata.
Contohnya ketika serial ini memasuki musim kelima penayangannya. Dikisahkan saat itu salah satu tokoh antagonis utama, Queen Cersei Lannister melakukan manuver politik dengan cara mempersenjatai The Faith Militant, sebuah organisasi religius yang dipimpin oleh seorang pemuka agama fanatik bernama High Sparrow.
Dengan dalih ingin menegakkan kembali nilai-nilai agama ke dalam lingkungan kerajaan, Cersei sebenarnya hanya memperalat The Faith Militant untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Meski awalnya berhasil, namun lama kelamaan strategi ini justru berbalik menyerang dirinya sendiri.
Di dalam kehidupan nyata, agama faktanya sulit dipisahkan dari politik. Relasi antar keduanya memang memiliki sejarah panjang yang kerap menjadi perdebatan sengit hingga kini, termasuk di Indonesia.
Diskursus mengenai relasi antara politik dan agama tersebut kembali mendapatkan signifikansinya usai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan susunan kepengurusan yang baru beberapa waktu lalu. Yang membuat konteks ini menjadi menarik adalah terkait hilangnya sejumlah nama-nama ulama yang selama ini vokal mengkritik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dari daftar kepengurusan MUI.
Misalnya nama mantan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin, mantan bendahara Yusuf Muhammad Martak, mantan Wasekjen Tengku Zulkarnain, dan mantan Sekretaris Wantim Bachtiar Nasir. Keempatnya dikenal sebagai tokoh yang keras mengkritik pemerintah melalui sejumlah gerakan, misalnya, melalui Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan Persaudaraan Alumni (PA) 212.
Terdepaknya nama-nama tersebut dari kepengurusan MUI kemudian menimbulkan banyak spekulasi. Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai fenomena ini membuktikan dominasi dan kekuatan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di tubuh MUI. Ini juga sekaligus membuka dugaan adanya campur tangan pemerintah di organisasi yang merupakan payung besar para ulama tersebut.
Lantas benarkah ada manuver politik tertentu di balik susunan kepengurusan MUI yang baru diumumkan ini? Jika iya, apa kira-kira tujuannya?
Relasi Politik dan Agama
Meski kerap dihadap-hadapkan, agama dan politik sebenarnya sama-sama dapat digunakan untuk mencapai kekuasaan, namun keduanya menggunakan pendekatan yang cukup berbeda.
Ali Mubarak dalam tulisannya yang berjudul Religion and Politics: Integration, Separation and Conflict mengatakan agama memobilisasi kepekaan religius masyarakat untuk mendapatkan dukungan. Sedangkan politik menggunakan intrik, diplomasi, dan berusaha memenangkan opini publik baik secara demokratis maupun otoriter.
Akibat disparitas tersebut, baik politik maupun agama berusaha untuk saling melemahkan dalam konteks perebutan kekuasaan. Jika agama memegang otoritas politik, akan berujung pada pemanfaatan kekuasaan untuk memenuhi misi-misi ketuhanan dan karena itu misinya dianggap suci untuk mereformasi masyarakat di bawah bimbingan spiritual.
Politik, sebaliknya, tidak memiliki nilai apapun. Politik akan cenderung mengarahkan orientasi kekuasaan pada kebutuhan masyarakat yang kemudian menyesuaikan hukum dan sistem pemerintahan agar sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Ali menyebut secara umum ada tiga model yang dapat menggambarkan hubungan antara politik dan agama. Pertama, adalah model terintegrasi. Artinya agama dan politik sama-sama bersatu dalam upaya untuk memonopoli kekuasaan.
Kedua, politik lebih superior dari agama. Model ini terjadi ketika politik menundukkan agama, dan memanfaatkan nilai-nilainya untuk kepentingan kekuasaan.
Ketiga, politik dan agama benar-benar terpisah.. Dalam model ini keduanya juga saling berkonflik satu sama lain untuk memperebutkan dominasi. Model ketiga ini bisa dibilang merupakan cikal bakal dari pemahaman sekularisme, kebebasan beragama, dan pluralisme agama.
Orde Baru dan MUI
Seperti yang sudah disinggung Ali sebelumnya, bahwa ada kalanya politik lebih superior dari agama. Hal ini lah yang sepertinya terjadi ketika MUI itu sendiri didirikan di zaman Orde Baru.
Petrik Matanasi dalam tulisannya yang berjudul Majelis Ulama Indonesia: Cara daripada Soeharto Mengatur Islam mengatakan bahwa MUI didirkan berangkat dari kesadaran rezim Soeharto akan besarnya kekuatan politik Islam. Saking besarnya, The Smiling General menyadari bahwa kekuatan politik tersebut terlalu kuat untuk disingkirkan.
Soeharto dan para pembantunya kemudian mencari ‘teman’ di kalangan umat Islam untuk diarahkan agar sejalan dengan kepentingan pemerintah. Dari sini kemudian muncul gagasan untuk menyatukan ulama dalam sebuah wadah.
Para ulama kemudian berkumpul di Jakarta dalam Musyawarah Nasional I Majelis Ulama yang menghasilkan sebuah piagam yang kemudian dikenal sebagai Piagam Berdirinya MUI pada Tanggal 26 Juli 1975. Hari itu kemudian dikenal sebagai tanggal berdirinya MUI.
Mengutip pernyataan M.C. Ricklefs dalam bukunya Mengislamkan Jawa, Petrik mengatakan bahwa MUI selama masa kekuasaan Soeharto memang menjadi sebuah wahana bagi pemerintah untuk mengontrol Islam demi kepentingan Orde Baru. Hal ini sempat menjadi stigma dan bahkan membuat ketua pertama MUI, Hamka mundur dari jabatannya pada tahun 1981. MUI baru lah menjadi wadah yang benar-benar memperjuangkan kepentingan Islam pasca terjungkalnya rezim Orde Baru.
Fawaizul Umam dalam bukunya Kala Beragama Tak Lagi Merdeka mengatakan bahwa MUI tampak memainkan peran sebagai pemberi legitimasi teologis atas setiap kebijakan negara di masa reformasi. MUI berhasil memainkan peran sebagai lembaga kontrol yang menyaring dan menertibkan praktik-praktik ke-Islaman di masyarakat dengan memancang keyakinan mainstream sebagai tolok ukur utama.
Berangkat dari konteks sejarah ini, maka patut dicurigai bahwa terdepaknya kalangan oposisi dari tubuh MUI merupakan upaya untuk mengembalikan MUI menjadi organisasi keagamaan yang ‘manut’ dengan titah pemerintah.
Hal ini menjadi masuk akal jika kita mengingat bahwa salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan Jokowi adalah kekuatan politik Islam yang kini tengah digadang-gadang bangkit pasca kembalinya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS).
Lantas jika memang skenario ini benar, mengapa kemudian menguasai MUI menjadi sesuatu yang sangat penting bagi pemerintah?
Arena Pertarungan Kelompok Islam?
Signifikansi kekuatan ulama dalam dinamika masyarakat Indonesia nyatanya tak bisa dilepaskan dari perannya sebagai pemegang otoritas keagamaan. Kendati begitu, layaknya kelompok-kelompok lain di masyarakat, ulama dan pemuka agama juga tak bisa dilepaskan dari fragmentasi.
Zulkifli dalam tulisannya yang berjudul The Ulama in Indonesia: Between Religious Authority and Symbolic Power mengatakan bahwa fragmentasi dalam otoritas keagamaan di Indonesia merupakan fenomena yang tidak ada habisnya, yang semakin diperparah dengan perkembangan media dan teknologi informasi.
Hal tersebut kemudian memicu kompleksitas perjuangan dan persaingan di antara kelompok-kelompok ulama dan kelompok Muslim tertentu. Persaingan ini tak bisa dilepaskan dari faktor bahwa otoritas agama tidak akan berfungsi secara efektif tanpa kekuatan simbolis. Singkatnya, ulama tidak ditaati tanpa memegang kekuasaan simbolik.
Dari sini dapat dikatakan bahwa MUI sebagai payung besar yang menaungi ulama di Indonesia merupakan gelanggang pertarungan besar antara kelompok-kelompok keagamaan di Indonesia. Lalu dengan terancamnya pemerintahan Jokowi oleh kehadiran golongan Islam kanan, membuat penguasaan pemerintah terhadap MUI menjadi penting.
Apalagi dalam beberapa kesempatan, setiap fatwa yang dikeluarkan MUI punya konsekuensi yang cukup serius di dalam dinamika politik Indonesia, misalnya ketika MUI menerbitkan fatwa haram terhadap vaksin Measles Reubella pada 2018 lalu, maupun fatwa penodaan agama yang berujung pada gerakan 212 untuk menjungkalkan eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) pada 2017 lalu.
Kendati MUI sendiri telah membantah adanya unsur kesengajaan dan berjanji akan tetap kritis pada pemerintah, namun terdepaknya orang-orang yang kritis terhadap pemerintah dari gerbong MUI di tengah mulai bangkitnya kekuatan oposisi tetap saja memunculkan kecurigaan. Peneliti politik LIPI Siti Zuhro juga menilai fenomena ini merupakan upaya penyeragaman suara di MUI.
Sebaliknya, Ia berpendapat seharusnya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan tidak didepak dari kepengurusan MUI. Hal ini lantaran MUI memang dibentuk untuk mewadahi berbagai ormas Islam.
Bagaimana pun, kiprah kepengurusan MUI yang baru tetaplah penting untung disimak. Mari berharap MUI di bawah kepemimpinan Miftachul Akhyar dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tak semata tunduk terhadap keinginan pemerintah. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)https://www.youtube.com/embed/E1tuFkFaeb0?feature=oem
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.