Setelah terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB, kini pemerintah Indonesia kembali berusaha mendorong prestasi Indonesia di panggung internasional dengan meresmikan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) atau Indonesian Agency for International Development (Indonesian AID). Lalu, apa sebenarnya tujuan pemerintah membentuk Indonesian AID?
PinterPolitik.com
Rencana pembentukan lembaga ini sebenarnya sudah muncul setidaknya sejak 2017 ketika Kepala Sekretariat Wakil Presiden Mohamad Oemar mengatakan bahwa pemerintah sudah menganggarkan dana bantuan luar negeri sebesar Rp 1 triliun melalui lembaga baru bernama Indonesian AID.
Pada dasarnya Indonesian AID adalah lembaga pemerintah yang bertugas untuk mengumpulkan dan menyalurkan dana-dana pembangunan asal Indonesia ke negara-negara lain yang dinilai membutuhkan.
Selain melalui peresmian yang dihadiri langsung oleh mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK), Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi, Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, dan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, keseriusan pemerintah juga terlihat dengan penambahan dana abadi sebesar Rp 2 triliun.
Dengan penambahan tersebut saat ini Indonesian AID sudah memiliki total dana sebesar Rp 3 triliun, di mana Sri Mulyani juga mengisyaratkan bahwa dana ini masih bisa bertambah.
Mengenai tujuan, pemerintah mengatakan bahwa lembaga ini merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam mendukung pembangunan dunia terutama dalam mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Semenara menurut Retno, Indonesian Aid adalah alat diplomasi yang dapat memperkuat kontribusi dan peran Indonesia di dunia internasional.
Ada juga pendapat dari JK yang menilai bahwa adanya Indonesian AID membuat Menlu Indonesia bisa sedikit tegak (bangga) karena bisa menawarkan bantuan dana ke negara lain.
Kepentingan Ekonomi-Politik?
Selain keinginan untuk aktif di dunia internasional, pemberian dana bantuan ke negara lain sarat akan kepentingan ekonomi dan politik.
Menurut Eric Werker, profesor asal Simon Fraser University, pemberian bantuan asing sering berkaitan dengan kepentingan ekonomi-politik negara pendonor terhadap negara penerima.
Untuk kepentingan ekonomi misalnya, negara pendonor mengincar akses pasar dan kerja sama ekonomi dari negara penerima. Sementara, kebutuhan negara pendonor agar negara penerima mendukung agenda internasionalnya merupakan salah satu contoh kepentingan politik.
Werker juga menambahkan bahwa bentuk bantuan melalui lembaga bilateral, seperti Indonesian Aid, memiliki keuntungan karena lebih bisa dikontrol oleh negara pendonor dibanding bantuan yang disalurkan melalui lembaga multilateral seperti Bank Dunia ataupun PBB.
Hal senada juga diungkapkan oleh Purnendra Jain, profesor asal University of Adelaide.
Menurutnya program atau lembaga bantuan luar negeri memang digunakan oleh negara untuk mengejar kepentingan nasionalnya.
Dalam tulisannya ia menjelaskan bagaimana Jepang melalui lembaga bantuan internasionalnya yang bernama Official Development Assistance (ODA) mengejar kepentingan nasional di sektor ekonomi hingga pertahanan.
Selain Jepang, masih ada negara-negara lain yang menggunakan lembaga bantuan internasionalnya untuk kepentingan nasional.
Ada Australia misalnya yang menggunakan lembaga bantuan internasionalnya, Australian Agency for International Development (AusAID), untuk meningkatkan soft power-nya di level internasional.
Sementara menurut Clair Apodaca, peneliti politik dari Virginia Tech, kemampuan negara pendonor untuk mempengaruhi negara penerima terletak pada kemampuannya untuk mengabulkan atau menolak permintaan dana serta menghentikan, mengurangi, atau menambah dana bantuan.
Kemampuan ini, lanjut Apodaca, akan bergantung pada apakah kebijakan dan perilaku negara penerima sesuai dengan keinginan negara pendonor.
Lalu, jika memang benar bahwa ada kepentingan ekonomi-politik di balik pendirian Indonesian Aid, kepentingan seperti apa yang diincar pemerintah?
Manuver untuk Papua?
Saat ini sudah ada tujuh negara di Asia Tenggara dan Pasifik Selatan yang menerima bantuan dana dari Indonesia, yaitu Kepulauan Solomon, Nauru, Tuvalu, Fiji, Kiribati, Myanmar, serta Filipina.
Dari nama-nama ini, mungkin yang paling menarik untuk dilihat adalah dimasukannya lima negara Pasifik Selatan.
Menurut Jim Elmslie, peneliti di University of Sydney, motif di balik keaktifan diplomasi Indonesia di Pasifik Selatan adalah isu Papua.
Hal ini berkaitan dengan usaha Indonesia untuk membendung ataupun melawan dukungan negara-negara Pasifik Selatan tersebut terhadap kemerdekaan Papua.
Elmslie juga melihat bahwa usaha pembendungan tersebut dilakukan pemerintah Indonesia salah satunya dengan memberikan bantuan dana ke negara-negara Pasifik Selatan.
Ya, saat ini dukungan internasional utama terhadap kemerdekaan Papua memang datang dari Pasifik Selatan, khususnya dari Vanuatu yang dalam beberapa kesempatan membuat Indonesia kesal karena mengangkat isu Papua dalam sidang PBB.
Pun tokoh-tokoh pro-kemerdekaan seperti Benny Wenda sering mengklaim bahwa negara-negara Pasifik Selatan mendukung Papua untuk memerdekakan diri dari Indonesia.
Kepentingan Papua dalam diplomasi di Pasifik Selatan nampaknya juga diakui secara implisit oleh Indonesia salah satunya pada keikutsertaan sebagai mitra dialog dalam Pacific Island Forum (PIF).
Menurut Kemlu, forum yang beranggotakan 16 negara Pasifik Selatan tersebut memiliki arti penting, salah satunya sebagai upaya Indonesia untuk mendekatkan diri dengan negara-negara Pasifik Selatan khususnya dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
Kemudian pada forum Pacific Exposition 2019, Duta Besar RI untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, juga mengatakan bahwa forum tersebut dibentuk salah satunya untuk mengejar rekognisi negara-negara pasifik terhadap Indonesia.
Namun, meskipun Indonesia terus berupaya meningkatkan hubungan diplomasinya dengan negara-negara Pasifik Selatan, agenda kemerdekaan Papua belum benar-benar hilang.
Yang terbaru terjadi Agustus lalu di mana Indonesia memprotes diundangnya Benny Wenda dan adanya pembahasan Papua dalam PIF ke-50.
Oleh sebab itu, merupakan suatu hal yang penting bagi pemerintah untuk terus menjaga dan meningkatkan hubunganya dengan negara-negara Pasifik.
Dengan sejarah penggunaan bantuan luar negeri untuk mengejar kepentingan nasional dan kepentingan Indonesia di Pasifik Selatan, bisa jadi Indonesian AID akan digunakan untuk mempengaruhi kebijakan negara-negara Pasifik Selatan.
Kebijakan yang dikejar tentu saja agar negara-negara Pasifik Selatan, yang menerima bantuan, mendukung posisi Indonesia dalam isu Papua.
Papua kembali berdarah. Terjadinya kerusuhan di Wamena yang menewaskan 26 orang dan melukai 66 orang lainnya menjadi wajah terbaru. Kerusuhan ini menjadi yang terparah sejak munculnya isu rasisme dan bergejolaknya Papua dua bulan ke belakang. https://t.co/LbTLEHgW04 pic.twitter.com/lS8vinmYoO
Warisan atau Awal Baru JK?
Selain lembaganya itu sendiri, yang juga menarik adalah adanya sosok JK di balik pendirian Indonesian AID.
Dalam pandangan JK, Indonesian Aid adalah perwujudan dari diplomasi yang ia namakan sebagai diplomasi “tangan di atas”. Menurut JK, diplomasi tangan di atas adalah diplomasi di mana Indonesia membantu negara-negara berkembang di bawahnya yang memiliki permasalahan-permasalahan.
Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini juga menambahkan bahwa sudah saatnya Indonesia, yang selama ini menerima bantuan, juga memberikan bantuan di dunia internasional terlebih lagi ketika perekonomian Indonesia sudah semakin maju dan status Indonesia sebagai anggota G-20.
Peran JK dalam Indonesian AID ini memang dapat dimengerti mengingat selama periode pemerintahannya yang pertama Jokowi sudah sering menyerahkan urusan-urusan luar negeri kepada JK.
Jokowi juga terlihat tidak ingin kehilangan sosok JK yang berpengalaman dan berprestasi di level internasional dengan munculnya rencana untuk menjadikan JK sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan utusan khusus Indonesia untuk menangani konflik Palestina hingga Afghanistan.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan Indonesian AID bukan merupakan jurus terakhir JK sebagai wapres. Bisa jadi Indonesian AID justru menjadi “panggung” baru JK setelah ia tidak lagi menjabat sebagai wapres.
Menarik untuk dilihat ke depannya apakah Indonesian AID benar-benar bisa mendorong kebijakan luar negeri Indonesia. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.