Keputusan Hadi Tjahjanto mencopot Kepala Badan Intelijen Strategis (BaIS) TNI yang baru menjabat selama dua bulan mendatangkan perdebatan. Apakah ini manuver Sang Marsekal membersihkan pengaruh panglima terdahulu?
PinterPolitik.com
“A piece of spaghetti or a military unit can only be led from the front end.” – George S. Patton (1885-1945), Jenderal Amerika Serikat di Perang Dunia II
[dropcap]B[/dropcap]elum sebulan menjabat, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah membuat banyak gebrakan – beberapa di antaranya bahkan terkesan kontroversial. Setelah membatalkan mutasi sekitar 32 perwira tinggi di lingkungan TNI, Hadi juga mengganti beberapa posisi penting di TNI.
Perbincangan terbaru adalah terkait pencopotan Kepala Badan Intelijen Strategis (BaIS) TNI Mayor Jenderal (Mayjen) Ilyas Alamsyah pada 27 Desember 2017 lalu. Pencopotan ini dianggap kontroversial karena Mayjen Ilyas baru menjabat sebagai Kepala BaIS selama kurang lebih 2 bulan.
Apalagi, Mayjen Ilyas dikenal cukup berprestasi dan dianggap berjasa dalam pemberantasan teroris kelompok Santoso di Poso saat ia menjabat sebagai Komandan Komando Pelaksanan Operasi TNI (Dankolakops) TNI Satgas Tinombala.
Untuk posisi di BaIS ini ia digantikan oleh Marsda Kisenda Wiranata Kusuma yang merupakan perwira tinggi di Angkatan Udara. Dengan masa jabatan yang singkat, tentu pergantian ini menimbulkan tanda tanya besar.
Letnan Jenderal (Purn) Suryo Prabowo misalnya, menulis cuitan yang mempertanyakan alasan pencopotan tersebut. Ia menyebut acara serah terima jabatan Kepala BaIS pada siang 27 Desember 2017 aneh karena Kepala BaIS baru menjabat 2 bulan dan merupakan orang yang cukup berprestasi. Selain itu, situasi TNI sedang tidak dalam keadaan bahaya, sehingga tidak menuntut pergantian posisi penting ini.
apakah TNI dlm keadaan darurat ?
Shg Ka Bais TNI hari ini pkl 13.00 tiba2 sertijab. Pdhl Ka Bais lama, Mayjen TNI Ilyas baru balik dari umroh pkl 10.20.
NB, Mayjen Ilyas baru 2 bln menjabat. Sblmnya saat jd dankolakops TNI Tinombala dinilai berhasil melumpuhkan Santoso di Poso.
— J.S. Prabowo (@marierteman) December 27, 2017
Akibatnya, keputusan Marsekal Hadi menguatkan dugaan bahwa pergantian posisi Kepala BaIS sarat akan muatan politik. Apalagi, BaIS adalah salah satu lembaga yang sangat penting dan oleh karenanya memang perlu dipimpin oleh orang-orang yang tepat. Lalu, benarkah dugaan bahwa manuver Hadi ini adalah cara untuk ‘membuang’ semua pengaruh Jenderal Gatot dari TNI?
Warisan Politik Tongkat Panglima
Bukan tanpa alasan, semenjak Hadi membatalkan mutasi 32 perwira tinggi TNI yang sebelumnya telah diputuskan oleh Gatot, banyak pihak yang menganggapnya sedang ‘bermain politik’. Hadi disebut sedang berusaha untuk menunjuk ‘orang-orangnya’ atau orang yang ia kenal untuk menduduki jabatan tinggi di TNI.
Selain itu, tidak sedikit yang menyebut keputusan tersebut bukanlah berasal dari pemikiran seorang Hadi Tjahjanto sendiri. Pengamat militer Salim Said misalnya, menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu pihak yang ada di balik pembatalan kebijakan tersebut.
Apalagi pengangkatan Hadi menjadi Panglima TNI juga disebut-sebut karena kedekatannya dengan Jokowi. Oleh karena itu, sangat mungkin Jokowi juga ikut mempengaruhi kebijakan tersebut.
Hal ini beralasan, mengingat Jokowi adalah seorang pemimpin yang berasal dari golongan sipil. Jika mampu mengontrol kendali atas militer, maka posisinya sebagai pemimpin akan sulit digoyahkan, terutama menuju tahun politik di 2018 dan 2019 yang dipastikan akan penuh goncangan.
Beberapa pihak bahkan secara tegas mengaitkan kebijakan ini dengan aksi bersih-bersih ‘pengaruh’ Gatot Nurmantyo di TNI.
Jika diperhatikan secara seksama, kebijakan mutasi yang dikeluarkan Gatot berjarak hanya 4 hari dengan pergantian Panglima TNI. Artinya, Gatot sangat mungkin berencana menempatkan ‘orang-orangnya’ di posisi tinggi militer. Bagi Gatot, jika mutasi itu berhasil, maka ia akan tetap mempunyai pengaruh di posisi-posisi strategis TNI sekalipun tidak lagi menjabat sebagai Panglima.
Selain itu, mutasi perwira untuk jabatan tinggi punya dampak politis di tubuh TNI sendiri. Jika mutasi tersebut tetap terjadi, maka sekalipun Hadi adalah Panglima TNI, sulit untuk melihat loyalitas petinggi militer untuk jabatan-jabatan tersebut akan jatuh ke pria berkumis ini. Maka, sebutan ‘bersih-bersih pengaruh Gatot’ sebetulnya tidak berlebihan jika melihat strategisnya posisi tinggi di TNI.
Signifikansi Pergantian Kepala BaIS
Salah satu organisasi yang cukup penting di TNI adalah Badan Intelijen Strategis (BaIS). BaIS punya kedudukan yang hampir setara dengan Badan Intelijen Negara (BIN). BaIS menyediakan informasi intelijen untuk TNI. Bahkan, seringkali informasi intelijen di BaIS punya signifikansi yang lebih besar karena tidak semua informasi intelijen milik BaIS dibagi ke BIN.
Panglima Hadi jelas tidak mau mengambil risiko membiarkan lembaga yang begitu penting ini dipimpin oleh orang yang bukan pilihannya. Apalagi, Kepala BaIS sebelumnya, Mayjen Ilyas berasal dari Angkatan Darat. Walaupun TNI menolak alasan perbedaan matra dianggap sebagai faktor penentu kebijakan di internal, namun kesamaan matra tentu membuat Hadi boleh jadi merasa lebih nyaman dan bisa lebih mudah mengontrol lembaga tersebut.
Hadi sepertinya tidak mau mengambil risiko, mengingat BaIS memiliki kedudukan dan peran yang hampir sama dengan BIN. Selain itu, dua tahun terakhir – khususnya di era Gatot Nurmantyo – hubungan BaIS, BIN dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memang tidak begitu baik. Pada Juni 2016 misalnya, Kemenhan sempat berencana untuk membentuk badan intelijen sendiri karena merasa tidak mampu bersinergi dengan BaIS.
Artinya, saat Gatot berkuasa, BaIS punya posisi yang sangat kuat dan menunjang kerja pria kelahiran Tegal itu. BaIS juga menjadi komponen yang integral dengan posisi politik Panglima TNI – hal yang selalu disangkal, tetapi nyatanya memang ada. Jadi, bisa dibayangkan jika orang di pucuk pimpinan lembaga ini tidak loyal kepada Panglima TNI yang menjabat, sangat mungkin akan mendatangkan masalah bagi panglima tersebut.
Kita tentu ingat polemik 5.000 senjata ilegal yang beberapa waktu lalu mencuat ke permukaan. Saat itu Gatot menyebutnya sebagai ‘hasil kerja intelijen’. Intelijen yang mana? Tentu saja BaIS. Gatot jelas punya akses terhadap informasi intelijen di lembaga ini. Bisa dipastikan pula Mayjen Ilyas yang menjabat sebagai Kepala BaIS 2 bulan terakhir adalah orang kepercayaan Gatot.
Mengingat signifikansi lembaga ini, sangat mungkin Hadi ingin BaIS benar-benar hanya tunduk pada perintahnya. Apalagi, berbicara tentang informasi intelijen berarti berbicara tentang sesuatu yang bisa mempengaruhi negara bahkan kelanjutan suatu pemerintahan. Artinya, dari kacamata Hadi, membiarkan orang yang ‘kurang tepat’ di posisi itu bisa jadi akan merugikan dirinya – dan pada akhirnya merugikan panglima tertinggi: Presiden Jokowi.
Selain itu, ditengarai pergantian ini dipengaruhi oleh posisi politis di lembaga intelijen lain. BIN misalnya, saat ini dipimpin oleh orang yang dekat dengan oligark politik tertentu. Hadi (baca: Jokowi) tentu melihat penguasaan penuh atas BaIS akan mendatangkan jaminan bagi keamanan negara secara umum, dan posisi politiknya secara khusus. BaIS juga akan menjadi penyeimbang fungsi intelijen tersebut, yang pada akhirnya akan berpengaruh di tahun politik 2018 dan 2019.
Dampak Politik di 2019
Fungsi intelijen memang sangat penting, bukan hanya bagi Hadi, Jokowi, atau TNI saja, tetapi juga bagi negara. Di tengah tarik menarik kepentingan menjelang tahun politik, sangat mungkin siapa yang menguasai kerja intelijen akan memenangkan kontes tersebut.
Kerja intelijen ini berfungsi membaca ancaman yang mungkin terjadi saat proses politik menjelang transisi kekuasaan, serta menangkal kemungkinan gangguan dari luar. Pilpres Amerika Serikat beberapa waktu lalu misalnya menunjukkan bagaimana signifikansi kerja intelijen mempengaruhi hasil kontestasi politik di negara tersebut.
Hadi – atau Jokowi – boleh jadi melihat potensi hal ini bisa juga terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, lembaga-lembaga intelijen perlu diperkuat kinerjanya, termasuk dalam hal menempatkan pucuk-pucuk pimpinan lembaganya.
Jika kebijakan ini memang dipengaruhi oleh Jokowi – seperti yang disampaikan oleh pengamat-pengamat militer – maka jelas pria kelahiran Solo itu sedang mengamankan keadaan untuk 2019. Pengangkatan Hadi jelas menjadi jalan masuk bagi Jokowi untuk mengontrol militer. Kebijakan ini juga membuat posisi Jokowi menjadi sangat kuat secara politik.
Posisi politik ini juga akan meningkatkan daya tawar Jokowi di hadapan oligark-oligark lain. Jokowi tidak akan lagi dipandang sekedar sebagai ‘petugas partai’. He is a powerful man in charge.
Sementara bagi Gatot, kebijakan tersebut tentu akan memperlemah posisi politik sang jenderal itu. Hadi jelas ingin ‘membuang’ semua pengaruh Gatot dari TNI dan memastikan bahwa tongkat komando militer ada di bawah tangannya.
Pada akhirnya, seperti kata Jenderal George Patton di awal tulisan ini, militer – sama seperti spaghetti – hanya bisa dikontrol dari ujung-ujungnya. Hadi sepertinya telah menunjukkan bahwa ia adalah ‘ujung yang berkuasa’. Oleh karena itu, menarik untuk ditunggu bagaimana kelanjutannya. (S13)