Aksi Gerindra dalam Pansus Angket KPK sungguh menarik. Awalnya sempat bergabung, kini malah memilih mundur. Ada apa gerangan?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]W[/dropcap]akil Ketua Umum Partai Gerindra Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan Antar Partai dan Pemerintah, Fadli Zon berpendapat bahwa kinerja Pansus Angket KPK tidak efektif karena sejauh ini belum menemukan bukti yang signifikan setelah melakukan kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin dan melakukan pemanggilan terhadap beberapa pihak. Hal ini menjadi salah satu alasan Gerindra keluar dari Pansus Hak Angket KPK. Selain itu, kehadiran Pansus Angket KPK yang diisi oleh partai-partai pro-pemerintah dinilai justru memiliki kesan melemahkan kinerja KPK.
Hal itu juga disampaikan Wakil Ketua Fraksi Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa pada Senin (24/7/2017). “Betul itu. Alasan pertama untuk membentuk pansus itu kan ada syarat. Bicara pembentukannya Ketua Pansus sekarang enggak memenuhi syarat yang sesuai dengan Tatib (tata tertib) DPR dan Undang-undang MD3,” ujar Desmond. Selain itu, kata Desmond, pembentukan Pansus juga bermasalah karena tidak diikuti oleh semua fraksi. Fraksi Demokrat, PKB, dan PKS hingga saat ini tak kunjung mengirim perwakilan ke Pansus Angket KPK.
“Nah, kedua rapat-rapatnya juga seolah dadakan. Seperti ke Sukamiskin. Saya bilang tak setuju tapi mereka tetap berangkat. Saya bilang kalau mereka berangkat, Gerindra akan keluar. Nah, inilah yang membuat kami tidak bisa,” lanjut Desmond. Ia menambahkan, kunjungan Pansus ke Sukamiskin juga menunjukan itikad buruk terhadap KPK. Dengan meminta keterangan kepada koruptor, menurut dia, merupakan sebuah sinyalemen melemahkan KPK. Padahal, tujuan awal pembentukan Pansus justru untuk memperkuat KPK.
Melihat sepak terjang Gerindra, apakah ada indikasi keluarnya Gerindra dari Pansus KPK adalah untuk menggoyang pemerintahan Jokowi atau sekedar manuver untuk mengamankan posisi partai?
Pansus Hak Angket: “Balas Dendam” DPR Atas KPK?
Pembentukkan Pansus Hak Angket KPK menuai kritik di mata publik. Pansus yang semula dibentuk untuk menyelidiki transparansi maupun kinerja KPK dinilai akhir-akhir ini telah melenceng dari relnya. Oleh sebab itu, harus diadakan peninjauan ulang terhadap latar belakang maupun tujuannya. Perlu juga ada sosialisasi yang jelas kepada masyarakat terkait maksud dan tujuan Pansus untuk menghindari salah persepsi.
Akan tetapi, banyak kasus korupsi yang terjadi belakangan ini, ikut menyeret anggota dewan ke dalamnya. Ditambah lagi munculnya kasus mega korupsi KTP elektronik yang juga menyeret sejumlah nama anggota DPR membuat citra DPR semakin buruk di hadapan publik. Maka, tindakan DPR membentuk Pansus Angket KPK dinilai kurang tepat karena secara tak langsung memperlemah KPK dan juga semakin memperkuat stigma negatif masyarakat terhadap DPR.
Sejauh ini masyarakat menganggap bahwa pembentukan Pansus Hak angket KPK semata-mata sebagai ajang ‘balas dendam’ DPR kepada KPK. Ketidakjelasan kiblat maupun tujuan dari Pansus Angket ini rupanya dirasakan oleh pihak Gerindra. Hal ini menyebabkan fraksi Gerindra memilih keluar dari Pansus Angket karena menilai kinerja Pansus tidak efektif. Agenda pertemuan dengan para koruptor dinilai hanya untuk mencari-cari kesalahan KPK. Selain itu, pihak Gerindra juga menilai bahwa kehadiran Pansus Angket malah melemahkan posisi KPK untuk menangani kasus-kasus korupsi yang masih dan sedang terjadi.
Sikap Gerindra yang memilih keluar dari pansus dinilai tepat dan mendapat apresiasi dari banyak pihak. Aksi ini semakin menunjukan bahwa arah kepentingan pansus adalah melemahkan KPK dan sekaligus menghambat proses penanganan kasus KTP elektronik di KPK. Hal ini menjadi jelas bahwa kepentingan politik pansus adalah membela kawan-kawan DPR yang terlibat dalam KTP elektronik dan hal tersebut tidak menguntungkan bagi Gerindra untuk saat ini.
Selain berindikasi untuk memasung eksistensi KPK, manuver Gerindra juga patut dicurigai sebagai potensi untuk menekan posisi maupun elektabilitas pemerintahan Jokowi. Hal ini bukan tanpa alasan sebab Pansus Angket KPK setelah kepergian Gerindra hanya menyisahkan enam fraksi – Golkar, PDIP, PPP, Hanura, Nasdem dan PAN – yang merupakan partai-partai koalisi Jokowi. PAN juga kemungkinan akan mengikuti jejak Gerindra. Hal ini pada satu sisi, semakin memperburuk citra pemerintah Jokowi karena terkesan tidak mengambil langkah yang pasti dalam menghadapi kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan dari fraksi-fraksi partai yang mendukungnya. Pada saat yang sama hal ini justru menjadi senjata bagi Gerindra untuk menekan dan mengkritik pemerintahan Jokowi.
Selain itu, pertemuan kubu Gerindra dan Demokrat yang diagendakan terjadi hari ini (27 Juli 2017) akan memberikan tekanan bagi Jokowi menuju Pilpres 2019. Apabila koalisi berhasil disepakati, maka Jokowi akan mendapatkan lawan yang sepadan. Hasil pertemuan hari ini akan menentukan peta politik menjelang Pilpres 2019 nanti.
Apa yang Perlu Dilakukan Jokowi?
Keluarnya Gerindra dari keanggotaan Pansus Angket memiliki dua tendensi, yakni yang pertama semakin memperkuat argumen bahwa Pansus Angket KPK itu tidak mendapatkan dukungan mayoritas dan yang kedua, menempatkan Jokowi pada posisi dilematis. Jokowi seolah-olah tidak berdaya menahan keinginan partai-partai koalisinya melalui hak angket KPK.
Ini adalah posisi yang serba sulit bagi Jokowi. Misinya untuk memberantas korupsi dihambat oleh kepentingan partai-partai koalisinya. Pembentukan Pansus Angket KPK yang semula bertujuan untuk menyelidiki kinerja KPK ternyata tak berjalan semestinya. Justru seiring berjalannya waktu, kehadiran Pansus Angket KPK malah menyandera posisi KPK dan membuat presiden layaknya ‘singa tanpa taring’. Rupanya kubu Gerindra menyadari hal tersebut sehingga memilih untuk menarik diri dari Pansus Angket KPK. Namun, di balik semua itu hal ini dapat dilihat sebagai salah satu strategi politik yang dimainkan Gerindra untuk menggoyang pemerintahan saat ini.
Mundurnya Gerindra dari Pansus Angket KPK secara tak langsung berdampak pada posisi Jokowi. Posisi Jokowi menjadi semakin dilematis. Upayanya mendukung pemberantasan korupsi yang digalakan KPK berbenturan dengan kehadiran Pansus Angket yang mewakili kepentingan politis partai koalisinya. Jokowi sulit untuk menentukan pilihan.
Berdasarkan prinsip trias politica yang diadopsi Indonesia, Jokowi sebagai Presiden tak bisa melangkahi wewenang DPR selaku lembaga legislatif untuk membubarkan Pansus Angket. Maka, langkah yang mungkin bagi Jokowi adalah mengajukan usulan pembubaran Pansus Angket KPK melalui partai koalisinya. Namun, ini adalah misi yang mustahil karena fraksi-fraksi yang tergabung dalam Pansus Angket tersebut terlibat dalam kasus korupsi KTP elektronik.
Patut juga diwaspadai bahwa ada kemungkinan Gerindra memanfaatkan polemik antara Pansus Angket dan KPK untuk melemahkan elektabilitas Jokowi di Pilpres 2019 nanti. Bisa saja ketakberpihakan PAN maupun Gerindra dalam Pansus Angket menjadi bukti bagi publik untuk melihat bahwa sebenarnya pemerintahlah yang melemahkan posisi KPK. Selain itu, bila Gerindra dan Demokrat sepakat untuk berkoalisi, maka Pilpres 2019 akan berjalan alot dan Jokowi mendapat lawan yang sepadan. Mengenai isu perombakan kabinet yang kembali mencuat bisa saja berdampak pada posisi Gerindra. Selain itu, berhembus kabar Gerindra mengincar jabatan dalam kabinet yang akan dirombak Jokowi. Selanjutnya, kita tunggu saja, kira-kira apa yang akan dilakukan Jokowi? (dari berbagai sumber/ K-32)