Istilah mayoritas dan minoritas bisa dimanipulasi tergantung kebutuhan penggunanya.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erkara mayoritas-minoritas belakangan sering kali dibicarakan di ruang publik. Dua kata yang saling berlawanan ini, acap kali dikaitkan dengan urusan toleransi dan interaksi di antara masyarakat yang ada di negeri ini.
Tidak jarang, urusan mayoritas-minoritas itu digunakan pula oleh para aktor politik Indonesia. Beberapa politisi misalnya tidak ragu menyebutkan bahwa mereka akan menjadi pelindung bagi kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia. Perkataan semacam ini kerap kali dikaitkan dengan urusan politik identitas.
Nyatanya, menurut Sidney Jones, istilah mayoritas dan minoritas bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak. Dalam presentasinya di Australia National University (ANU), ia menyebut bahwa istilah mayoritas-minoritas merupakan sesuatu yang bisa dimanipulasi.
Lantas, bagaimana manipulasi mayoritas-minoritas itu dapat dilakukan dan atas alasan apa interaksi antara dua kelompok masyarakat harus menjadi bagian dari hal yang bisa dimanipulasi? Lalu siapa pula yang memiliki peran untuk melakukan manipulasi tersebut?
Manipulasi
Menurut Sidney Jones, status mayoritas-minoritas bukanlah sesuatu yang bersifat tetap. Status seperti ini dapat berubah seiring dengan perubahan demografis. Ia menyebutkan beberapa kondisi di Indonesia untuk menggambarkan manipulasi tersebut. Hal ini terutama terkait dengan urusan warga asli dengan warga pendatang.
Ia mengilustrasikan bagaimana masyarakat Jawa menjadi kelompok mayoritas di tanah kelahirannya. Akan tetapi, mereka akan menjadi minoritas ketika hijrah ke tempat lain. Mereka kemudian kembali menjadi mayoritas setelah memiliki keturunan di tempat barunya.
Kalau ngaku mayoritas biasanya gampang, termasuk politisi. Share on XSebenarnya, urusan manipulasi mayoritas dan minoritas ini lebih banyak terkait dengan hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan. Akan tetapi, manipulasi ini dapat pula memiliki kaitan pada hal-hal yang berkaitan dengan dunia politik.
Menurut Jones, di Indonesia hal ini dapat dilihat melalui beberapa hal. Ia menggambarkan misalnya isu-isu kristenisasi dan penggambaran LGBT sebagai sesuatu yang dianggap menular. Selain itu, ia juga menyebut proxy war ala mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo sebagai salah satu bentuk dari hal itu.
Jones menyebutkan bahwa ada konsep yang disebut sebagai majoritarianism. Menurut Mukul Kesavan, majoritarianism ini digambarkan melalui anggota dari keyakinan dan budaya mayoritas dianggap sebagai penduduk asli negara. Hal ini membuat warga lain dengan keyakinan dan budaya berbeda dianggap sebagai tamu dan harus bersikap baik.
Pada titik itulah, dalam kadar tertentu manipulasi mayoritas dan minoritas menjadi sesuatu yang dapat dipolitisasi. Pemimpin dunia sekaliber Donald Trump di Amerika Serikat dapat menjadi contoh bagaimana identitas mayoritas dan minoritas menjadi sesuatu yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik.
Anti-Asing?
Dalam kadar tertentu, manipulasi mayoritas ini dapat beberapa kali ditemui dalam pidato yang dilakukan oleh kandidat presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Ada nuansa ancaman terhadap kelompok mayoritas dalam berbagai pernyataannya di depan publik.
Prabowo sering kali menyebutkan bahwa kekayaan bangsa ini habis karena diambil oleh tangan-tangan asing. Tidak hanya itu, ia bukan hanya satu kali menyalahkan pihak asing atas berbagai keterpurukan yang dialami oleh negeri ini.
Mantan Pangkostrad itu misalnya menyebut gejolak rupiah yang dialami negeri ini terjadi karena kekayaan Indonesia berada di tangan asing. Selain itu, ia juga menyebut bahwa utang-utang yang membebani negeri ini terjadi karena hal yang sama.
Kita berjuang demi kedaulatan bangsa. Kita berjuang agar kekayaan bangsa tidak dikuasai asing. Digunakan seluruhnya demi kepentingan rakyat.
— Prabowo Subianto (@prabowo) February 6, 2016
Tak hanya itu, Prabowo juga mengkritik keras derasnya aliran tenaga kerja asing (TKA) ke tanah air. Menurutnya, tidak ada negara di dunia yang terlalu ramah bagi TKA selain Indonesia. Ia memberi contoh rencana pembangunan tembok di AS dan pembuangan pencari suaka ke pulau terpencil untuk mencegah TKA, adalah hal yang lebih baik daripada yang terjadi di negeri ini.
Dalam menyebutkan hal-hal tersebut, Prabowo sering kali mengaitkannya dengan hal-hal yang berbau identitas bangsa. Dalam berbagai kesempatan misalnya, mantan Danjen Kopassus ini menyebut bahwa perilaku tangan-tangan asing ini merupakan hal yang tidak sesuai dengan Pancasila dan juga UUD 1945.
Terlihat bahwa Prabowo seperti sedang membangun narasi bahwa bangsa Indonesia sebagai mayoritas tengah berada dalam ancaman. Ancaman ini sendiri muncul dari tangan-tangan asing yang hadir sebagai tamu dan tidak menghormati hal-hal milik tuan rumah seperti Pancasila dan UUD 1945.
Perlu diakui bahwa gerak anti-asing ala Prabowo ini tidak sama persis dengan narasi ancaman mayoritas di beberapa negara. Narasi anti-asing Prabowo misalnya tidak dapat disetarakan dengan narasi pertentangan antara mayoritas etnis di Myanmar dengan etnis Rohingya.
Meski begitu, narasi anti-asing Prabowo ini sedikit banyak memiliki kemiripan dengan gelombang anti-imigrasi yang disuarakan pemimpin populis berhaluan kanan. Pada titik ini, Prabowo dapat dikatakan sudah melakukan manipulasi mayoritas karena memiliki narasi yang mirip. Ada nuansa majoritarianism di mana bangsa asing sebagai tamu tidak boleh bersikap seenaknya di depan mayoritas bangsa Indonesia.
Salahkan Elite
Meski kerap menggambarkan pentingnya masyarakat mayoritas untuk berkuasa atas kekayaan negeri ini, dalam kadar tertentu, Prabowo juga kerap memposisikan dirinya sebagai kelompok minoritas. Memang, minoritas dalam konteks ini bukanlah kelompok yang benar-benar teraniaya atau termarjinalisasi.
Narasi minoritas yang coba dimanipulasi oleh Prabowo adalah saat ia menuding bahwa terpuruknya kondisi negeri ini adalah karena perilaku-perilaku elite. Ia menyebut bahwa elite-elite ini telah berkhianat kepada bangsanya sendiri.
Kondisi tersebut tergolong paradoks jika melihat kondisi Prabowo sendiri. Ketua umum Partai Gerindra tersebut mau tidak mau sebenarnya tergolong ke dalam kelompok elite. Akan tetapi, dalam berbagai konteks pidatonya, ia seperti melepaskan diri dari identitasnya sebagai elite yang secara ekonomi tergolong mayoritas.
Prabowo lahir dari keluarga Djojohadikusumo, sebuah trah yang tergolong darah biru dalam perjalanan ekonomi dan politik negeri ini. Selain itu, ia juga memiliki harta yang tidak bisa dikatakan sedikit dari berbagai usaha yang ia rintis. Prabowo juga sempat menikmati posisi penting di militer saat masih aktif berseragam. Berdasarkan kondisi tersebut, sulit untuk tidak mengatakan Prabowo bukan elite apalagi mencapnya sebagai minoritas.
Strategi semacam ini merupakan strategi yang lazim digunakan oleh politisi populis. Hal ini diungkapkan oleh Francis Fukuyama, salah seorang ilmuwan politik terkemuka dari Stanford University.
Menurut Fukuyama, politisi semacam ini menggunakan identitas nasional untuk menyalahkan elite atas situasi yang tengah terjadi. Padahal, boleh jadi elite tersebut bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Akan tetapi, narasi-narasi tersebut digunakan oleh politisi seperti Presiden Donald Trump di Amerika Serikat sebagai kendaraan untuk ambisi politiknya.
Berdasarkan kondisi tersebut, Prabowo yang memanipulasi diri menjadi kelompok minoritas saat dipertentangkan dengan elite, boleh jadi tengah menggunakan strategi serupa. Ada pola yang sama yang dilakukan Prabowo untuk menyerang kelompok elite. Perkara identitas nasional seperti Pancasila dan UUD 1945 menjadi senjatanya untuk menyerang elite yang muncul sebagai biang keladi keterpurukan bangsa.
Oleh karena itu, strateginya untuk menyerang elite boleh jadi lebih kental urusan ambisi politiknya ketimbang hal-hal ideologis yang kerap ia bicarakan. Apalagi, ia sendiri sebenarnya lebih memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai elite alih-alih disebut sebagai minoritas atau termarjinalisasi.
Penting untuk dilihat bagaimana manipulasi mayoritas-minoritas ala Prabowo ini akan membawanya di Pilpres 2019 nanti. Narasi tersebut sejauh ini berhasil membawa pemimpin populis kanan dunia merengkuh kursi tertinggi di negaranya masing-masing. Lantas, apakah Prabowo akan bernasib sama? (H33)