Site icon PinterPolitik.com

Mampukah Projo Jadi Parpol?

Mampukah Projo Jadi Parpol?

Jokowi di Rakernas V Projo. (Foto: merdeka.com)

Projo (Pro Jokowi) adalah relawan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap punya potensi untuk bertransformasi menjadi partai politik (parpol). Lantas, mungkinkah Projo mampu menjadi parpol?


PinterPolitik.com

Beberapa pemilihan presiden (pilpres) belakangan menempatkan relawan menjadi instrumen penting dalam pemenangan calon presiden. Relawan dipilih sebagai mesin politik karena dianggap mampu memberikan hasil yang konkret, yaitu dukungan masyarakat yang terafiliasi di dalam kelompok relawan tersebut.

Salah satu relawan yang sedang naik daun saat ini adalah Pro Jokowi (Projo). Didirikan pada tanggal 23 Desember 2013, Projo dianggap relawan yang potensial karena beberapa nama – seperti Budi Arie Setiadi, Gunawan Wirosaroyo, dan Suryo Sumpeno – yang merupakan aktivis 1998 dan saat ini merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Setelah deklarasi, jaringan Projo langsung dibuat secara nasional yang kemudian memegang peranan penting pada pemenangan Joko Widodo (Jokowi) pada dua pilpres, yakni Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

Pada Pilpres 2024 mendatang, setelah Jokowi tidak bisa mencalonkan diri kembali sebagai presiden, maka sebagian pihak mempertanyakan masa depan Projo. Apakah relawan yang dianggap mempunyai kekuatan besar ini akan bubar, atau malah akan bertransformasi menjadi partai politik (parpol).

Projo menjadi parpol santer didengungkan. Hal ini dikaitkan dengan isu yang belakangan marak menjadi perbincangan bahwa relawan ini diklaim akan mendukung Ganjar Pranowo maju di Pilpres 2024.

Menanggapi isu tersebut, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, jika Projo benar memiliki kekuatan untuk mendukung salah satu pasangan calon, mereka harus berani untuk mendirikan parpol.

Tidak heran jika isu Projo menjadi parpol berhembus kencang karena selama ini dianggap sebagai salah satu relawan yang kerap disebut rasa partai. Projo dianggap dekat dengan Jokowi dan juga sudah lama mendukung Jokowi dalam pemerintahan. Dua hal ini disebut menjadi modal politik Projo menjadi parpol.

Jika Projo dapat menjadi parpol, maka bukan hanya dapat mendorong pencalonan kandidat, melainkan juga akan menjadi instrumen agar jokowi dapat soft landing di akhir masa jabatan. Selain itu, tentunya sebagai ajang pembuktian bahwa Projo sebenarnya mempunyai kekuatan politik dan juga punya dukungan nyata.

Lantas, mungkinkah Projo bertransformasi menjadi parpol?

Projo jadi partai aja?

Lahir Dari Ketidakpercayaan?

Maraknya gerakan relawan politik atau voluntarisme politik dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan pasangan kandidat untuk menang dalam kontestasi pilpres. Kemunculan relawan dianggap sebagai buah dari kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol yang dinilai terlalu transaksional.

Relawan dapat digunakan juga sebagai alat untuk meningkatkan daya tawar seorang yang hendak mencalonkan diri di depan mata parpol. Kelahiran relawan sebenarnya sebagai antitesis dari ketidakmampuan partai mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan masyarakat.

Marcin Walecki, profesor hukum dan ilmu politik dari Universitas Oxford, menyebut relawan sebagai partai ketiga. Kekuatan relawan yang terorganisir mampu mempengaruhi hasil pemilu, meski bukan partai politik peserta pemilu.

Praktik ini memang lazim terjadi di negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Fenomena baru demokrasi ini dapat dikategorikan sebagai kebangkitan politik sipil yang menandai kembalinya partisipasi publik.

Thomas Meyer dalam bukunya Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis, pada tesis nomor dua, mengatakan terdapat dua faktor dominan dalam fungsi parpol, yaitu sektor perantara (intermediary sector) dan masyarakat madani (civil society).

Dalam konteks ini, relawan menempatkan posisi sebagai civil society. Projo sebagai relawan politik dalam struktur organisasi sampai saat ini menyebut diri mereka sebagai organisasi masyarakat (ormas) – ormas merupakan bagian dari civil society.

Lebih lanjut, Meyer menjelaskan bahwa sektor perantara merupakan penghubung antara masyarakat dengan sistem politik, biasanya ini disebut juga dengan istilah kelompok kepentingan. Sedangkan civil society, ditempatkan sebagai media aspirasi terlembaga yang memunculkan berbagai macam inisiatif dan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat.

Kelompok kepentingan hanya melayani kepentingan klien mereka saja, sedangkan masyarakat madani diharapkan merangkul kepentingan masyarakat bersama yang lebih umum. Hal ini yang menjelaskan kenapa sebagian besar masyarakat cenderung mendukung civil society dibanding kelompok kepentingan.

Dibandingkan dengan kelompok kepentingan, masyarakat madani mampu memainkan peran agregasi dan artikulasi yang idealnya dilakukan oleh partai politik. Peran penting ini mendudukkan civil society di posisi pusat (political centrality).

Sebuah posisi yang strategis dan sentral. Tapi juga sekaligus secara alamiah menandai bahwa sulit relawan untuk merubah diri menjadi parpol, dikarenakan dasar kelahirannya sebagai antitesis parpol. Relawan diharapkan murni jadi relawan, jika berubah maka sumber politiknya yang disebut di atas akan lenyap dengan sendirinya.

Mungkin hal ini yang menjadi dasar pertimbangan Projo pada tahun 2015. Meski didorong banyak pihak, Projo tidak begitu saja memutuskan untuk berubah menjadi parpol. Di saat yang bersamaan pada waktu itu, Perindo yang sebelumnya adalah ormas bertransformasi menjadi Partai Perindo.

Well, sederhananya relawan harusnya tetap menjadi relawan, karena dari dasar katanya, yaitu ‘rela’, dianggap akan bertentangan jika menjadi parpol yang sarat dengan kepentingan.

Selain itu, mungkin muncul pertanyaan besar di tengah isu Projo menjadi parpol, mungkinkah kekuatan Projo itu nyata, ataukah hanya dibesar-besarkan?

Sinyal sinyal Jokowi

Sulit Menjadi Parpol?

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan parpol. Syarat-syarat ini yang akan menjadi tantangan Projo.

Mungkin Projo akan menyelesaikan dengan mudah syarat permulaan, yaitu tentang syarat membentuk parpol paling sedikit 50 orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris.

Namun, untuk syarat seperti kepengurusan paling sedikit 60 persen dari jumlah provinsi, kemudian 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota pada daerah kemungkinan menjadi syarat yang berat.

Ditambah dengan persyaratan kuota 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Serta harus memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan parpol kabupaten/kota dibuktikan dengan kepemilikan KTA dan KTP elektronik.

Semua syarat teknis di atas akan sulit jika hanya bermodal pada aktivitas di media sosial. Seperti yang diketahui, sejauh ini Projo lebih sering hadir melalui dunia digital dengan berbagai informasi dan liputan yang ditayangkan pada situs www.projo.id. 

Projo juga belum pernah memberikan rilis resmi terkait jumlah keseluruhan anggotanya. Yang ada hanyalah beberapa klaim kehadiran anggota pada saat rapat kerja nasional (rakernas) maupun pertemuan lainnya.

Selain akan berhadapan dengan banyak tantangan teknis yang dipaparkan di atas, Projo juga akan punya tantangan non-teknis. Sebagai parpol baru yang berhadapan dengan parpol yang sudah dulu eksis, ada peluang parpol besar menjadi penghalang Projo untuk berkembang.

Dimas Septo Nugroho dalam tulisannya Projo: ‘Parpol’ Milik Jokowi, Mampukah?, mengatakan, jika Projo menjadi parpol, kemungkinan akan bersaing dengan partai-partai besar yang sudah lama ada, seperti PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Golkar.

Selain itu, Projo tidak bisa hanya mengandalkan kedekatannya dengan Jokowi sebagai modal kekuatan politik. Apalagi tahun 2024 adalah akhir kepemimpinan Jokowi. Dapat dikatakan Projo masih bisa eksis karena adanya Jokowi.

Mungkin secara ketokohan, Jokowi layak menjadi Ketua Umum Partai Projo. Tapi perlu diingat, sejauh ini Jokowi masih kader PDIP, sulit membayangkan tanpa dukungan PDIP Jokowi dapat mulus berkuasa hingga dua periode. Jokowi dapat dianggap pengkhianat jika berpindah partai setelah tidak lagi berkuasa.

Setelah tidak berkuasa, drastis kekuatan politik makin melemah. Ini juga terlihat pada Partai Demokrat saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden selama dua periode. Demokrat menjadi the ruling party, tapi setelah SBY turun pada Oktober 2014, perlahan pamor Partai Demokrat juga menurun.

Well, kerumitan persyaratan formal, tantangan politik praktis yang dinamis, dan perbandingan dengan Partai Demokrat, menjadi catatan khusus bagi Projo untuk mempertimbangkan langkahnya ke depan. Apakah tetap akan bertransformasi menjadi partai, atau perlahan bergerak mundur untuk menemani Jokowi di akhir masa pengabdiannya. (I76)


Big pharma monopoli nyawa?
Exit mobile version