Site icon PinterPolitik.com

Mampukah OKI Bela Palestina?

Upaya OKI Bagi Palestina

Pertikaian Palestina dengan Israel sudah menjadi keprihatinan bersama negara-negara OKI. Sayangnya, organisasi kerjasama negara-negara Islam ini hanya bisa menghasilkan petisi tanpa aksi yang berarti.


PinterPolitik.com

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” ~ Presiden Soekarno, 1962.

[dropcap]K[/dropcap]onflik antara Palestina dan Israel yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bagaikan untaian benang yang tak memiliki ujung pangkal. Sejak lama pula, Indonesia telah bersikap untuk selalu berada di belakang Palestina. Pendirian yang dikobarkan Bung Karno di atas, terbukti terus dipertahankan Indonesia hingga saat ini.

Sehingga ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun langsung mengeluarkan kecaman keras terhadap pernyataan tersebut. Sikap responsif pemerintah ini, tentu saja mendapat dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia.

Bukan itu saja, Jokowi bahkan langsung mengajak negara-negara yang memiliki penduduk Muslim untuk melakukan Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTTLB). Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun dengan sigap melobi tiga negara, yaitu Yordania, Turki, dan Belgia mengenai permasalahan ini.

Hasilnya, 56 negara anggota Organization Islamic Cooperation (OIC) atau Organisasi Kerjasama Islam (OKI) setuju melakukan KTTLB secara mendadak di Turki, Kamis (13/12) ini. Di Turki, Jokowi tak hanya menyampaikan penolakan resmi rakyat Indonesia atas pengakuan AS tapi juga mengajak seluruh anggota OKI untuk ikut melakukan hal yang sama.

Gigihnya upaya Pemerintah ini mendapat apresiasi dari Pemerintah Palestina yang disampaikan langsung Menlu Palestina Riyad Maliki, di Amman, Ibukota Yordania, Selasa (12/12) kepada Menlu Retno. Dikabarkan, keduanya melakukan diskusi selama kurang lebih dua jam untuk membahas masalah Yerusalem, termasuk mengenai pertemuan Liga Arab dan persiapan KTT Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, bagi Indonesia permasalahan Palestina bukan hanya konflik perebutan wilayah, namun sudah masuk ke ranah ikatan persaudaraan dan agama. Jadi tak heran bila Indonesia begitu gigih membela Palestina. Namun akan berhasilkan upaya Indonesia?

Upaya Indonesia Untuk Palestina

“Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia!” ~ M. Ali Taher, Pemimpin Palestina

Pekikan Pemimpin Palestina ini membangkitkan rasa percaya diri rakyat Indonesia. Tanpa pengakuan negara-negara lain, kumandang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak akan ada artinya. Karena itu, pengakuan Palestina dan Mesir sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, tak akan terlupa.

Karenanya, Bung Karno pun berjanji untuk selalu berada di belakang Palestina. Pengakuan kedaulatan Palestina, bagi Indonesia sama pentingnya dengan pengakuan kedaulatan Indonesia sendiri di masa lampau. Sehingga tak heran bila konflik Palestina juga akan memicu amarah di tanah air.

Sebagai salah satu negara pendiri OKI, Indonesia juga tidak pernah absen untuk memasukan isu Palestina dalam pembahasannya. Bahkan tahun lalu, Indonesia menjadi tuan rumah KTTLB OKI, terkait kembali memanasnya hubungan Palestina dengan Israel yang menghasilkan opsi dukungan two state solution atau solusi dua negara bagi Palestina dan Israel.

KTTLB yang berlangsung Maret 2016 itu, menghasilkan dua dokumen penting, yaitu deklarasi untuk mengkongkritkan langkah para pemimpin dunia Islam dan komitmen dukungan bagi Palestina dan Al Quds Al Syarief (Kota Suci Yerusalem). Selain ikut memberikan bantuan dana bagi Al Quds Fund dan terlaksananya rekonsiliasi di Palestina, OKI juga menyerukan boikot bagi produk Israel.

Jelang KTTLB di Turki, Kamis minggu ini, Indonesia memperlihatkan kegigihan yang sama. Selain melobi negara anggota OKI, Menlu Retno pun sudah berupaya melobi berbagai Menlu Eropa Barat, Menlu Uni Eropa, Menlu Inggris, dan Menlu Jerman. Digelarnya sidang darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang digelar Jumat (8/12) lalu juga tak lepas dari andil Indonesia di dalamnya.

Indonesia juga tak lupa menggalang dukungan dari negara-negara non-blok, termasuk berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson di Brussels, Belgia, selama tiga hingga empat jam menjelang pengumuman resmi Presiden AS Donald Trump. Sayang, AS bersikukuh atas sikapnya mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel.

OKI Tak Punya Gigi

“Negara-negara OKI harus dapat memanfaatkan momen, tidak saja untuk membulatkan dukungannya atas penolakan kebijakan AS, tapi yang lebih penting mendorong secepatnya dapat merealisasikan kemerdekaan Palestina.”

Sejak berdiri pada 1969, OKI bertujuan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara 57 negara anggota, mengoordinasikan kerjasama, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat suci Islam. Termasuk membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.

Pertemuan di Rabat, Maroko ketika itu, memang terjadi setelah Israel membakar satu bagian dari masjid Al-Aqsa pada 21 Agustus 1969. Sehingga sudah sejak awal OKI menaruh perhatian besar pada masalah Palestina. Walau memiliki anggota yang cukup besar, sayangnya hingga kini OKI belum mampu melakukan aksi nyata untuk mewujudkan cita-cita awal pembentukannya, memerdekakan Palestina.

Bahkan seorang pengamat Timur Tengah, Zuhairi Misrawi dari Middle East Institute pernah mengatakan kalau kekuatan KTT OKI dalam membela kemerdekaan dan kedaulatan Palestina hanya kuat dalam tataran wacana semata. Sebab menurutnya, penentu nasib Palestina pada akhirnya adalah AS.

Pendapat yang sama juga dilontarkan Fahmi Salsabila, pengamat Timur Tengah dari lembaga Indonesian Society for Middle East Studies (IMES). Ia menilai, KTTLB OKI hanya bisa menghasilkan pernyataan sikap negara-negara Muslim semata. Padahal yang paling dibutuhkan adalah lobi serius pada AS untuk menarik kembali pernyataannya.

Keduanya yakin, selama OKI belum mampu meyakinkan AS maupun negara sekutunya, maka apa yang diperjuangkan hanya akan berakhir sia-sia. Apalagi AS merupakan negara pemegang hak veto di DK PBB, sehingga walaupun DK telah mengeluarkan kecaman keras pada pernyataan AS, tidak akan memberikan efek berarti bagi AS maupun Israel.

Sikap pesimis ini juga diperlihatkan oleh Wim Tohari Daniealdi, Pakar Hubungan Internasional yang juga Dosen FISIP Universitas Pasundan. Menurutnya, keputusan Trump merupakan puncak piramida dari perdebatan pelik yang melibatkan banyak lembaga di negara tersebut, sehingga pernyataannya merupakan hasil keputusan rasional dari pemerintahan AS.

Wim melihat, keputusan Trump terkait Yerusalem juga merupakan soal supremasi AS dan menjadi penuntasan mereka atas konflik yang terjadi di Timur Tengah. Apalagi hingga saat ini, tidak ada penolakan besar-besaran baik dari kongres maupun partai oposisi AS mengenai Yerusalem.

Berharap Pada PBB?

“Kita lihat DK PBB tidak memenuhi mandatnya dalam memelihara perdamaian dunia yang jadi tanggung jawabnya.”

Ungkapan kekesalan ini diungkapkan oleh Mantan Menlu Hasan Wirajuda pada 2006 lalu. Pada saat itu, negara-negara OKI juga tengah melakukan KTTLB di Malaysia, terkait kekerasan yang terjadi di Palestina dan Libanon. Pada saat itu, OKI berupaya menekan AS melalui DK PBB.

Upaya yang sama juga telah dilakukan Menlu Retno pada negara-negara anggota DK PBB, sehingga terselenggaralah sidang darurat, Jumat lalu. Sayangnya, sidang darurat DK PBB yang dihadiri 8 dari 15 anggotanya tersebut tidak menghasilkan resolusi maupun keputusan apapun, selain kecaman dari lima negara Eropa terhadap kebijakan AS.

Baik Prancis, Italia, Jerman, Swedia, dan Inggris sama-sama menyatakan kalau status Yerusalem harus ditentukan melalui negosiasi antara Israel dan Palestina, sehingga mendapatkan kesepakatan status yang final. Sementara Uni Eropa memiliki sikap bahwa solusi yang realistis bagi Palestina dan Israel adalah terbentuknya dua negara, dengan membelah Yerusalem bagi keduanya.

Sikap DK PBB yang tidak mengeluarkan resolusi maupun upaya tindakan bagi AS, merupakan akibat dari AS sebagai negara pemegang hak veto. Posisi kuat inilah yang merupakan tantangan berat bagi OKI. Apalagi Arab Saudi sebagai penyandang dana terbesar organisasi Islam ini pun, sikapnya lebih ke pro AS dibanding ke negara tetangganya sendiri.

Jadi pertanyaannya, apakah semua langkah yang akan diambil OKI nanti akan ada artinya bagi Palestina? Sebenarnya bisa saja bila Arab Saudi mau bersikap tegas pada AS, layaknya Iran dan Qatar. OKI juga masih bisa berharap mendapat dukungan dari Tiongkok dan Rusia yang memiliki andil besar di DK PBB, karena memiliki hak veto. Kira-kira apa langkah yang akan dihasilkan oleh KTTLB OKI di Turki nanti? Semoga bukan sekedar pernyataan dan wacana semata. (R24)

Exit mobile version