Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin sempat dipertanyakan kehadirannya di Forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Layaknya istilah “ban serep”, wapres seringkali dianggap sebagai pembantu presiden belaka. Lantas, mengapa Ma’ruf tampaknya tak banyak mendapat sorotan di hadapan publik seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi)?
Salah satu pertanyaan yang tak luput dipertanyakan publik saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 berlangsung yaitu terkait kemana Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin berada. Pertanyaan itu tampaknya merupakan sebuah sindiran di mana Ma’ruf seringkali dijuluki away from keyboard (AFK) oleh netizen.
Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi kemudian menyampaikan Ma’ruf tak hadiri KTT G20 karena harus menyelesaikan pembagian tugas kenegaraan di Jakarta. Dirinya menyebutkan Ma’ruf mendapat banyak pelimpahan tugas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang menghadiri KTT G20 di Bali.
Selain itu, dirinya juga menekankan bahwa pelimpahan tugas merupakan suatu hal yang lumrah. Presiden dan wapres harus saling melengkapi dan mendukung tugas satu sama lain.
Berdasarkan laman resmi Wapres, Ma’ruf nyatanya memiliki berbagai agenda di Jakarta sehingga dapat menjadi pembenaran atas pernyataan Masduki. Selain itu, pada tanggal 14 November lalu, Ma’ruf juga sempat melakukan kunjungan kerja ke Banten dan menerima tiga penjabat gubernur di daerah otonom baru (DOB) Papua di Istana Wapres Jakarta.
Hari berikutnya, Ma’ruf menerima kedatangan Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Istana Wapres. Setelah itu di hari selanjutnya, dia memberikan Presidential Lecture pada Kegiatan Piloting Magang ASN Provinsi Papua dan menerima Pimpinan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).
Hal itu agaknya telah menunjukkan bahwa Wapres Ma’ruf memang tak banyak mendapat sorotan di hadapan publik. Lantas, bagaimana sebenarnya tugas pokok dan fungsi (tupoksi) wapres?
Sejarah “Ban Serep”
Merujuk pada dasar hukum negara, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tupoksi wapres utamanya diatur dalam Pasal 4 Ayat 2 yakni sebagai pembantu presiden yang juga serupa dengan kedudukan menteri-menteri.
Adapun, tupoksi lebih lanjut wapres yakni bertugas untuk mendampingi presiden pada kunjungan kenegaraan di negara lain, membantu dalam melaksanakan tugas sehari-hari, dan menggantikan tugas presiden jika berhalangan hadir.
Selain itu, Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih dalam bukunya yang berjudul Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945 menjelaskan bahwa dasar negara tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban seorang wapres.
Aturan itu merupakan konsekuensi dari penjelasan UUD 1945 yang menyinggung terkait pihak yang menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan presiden alias concentration of power and responsibility upon the president yang biasa kita kenal sebagai sistem presidensial.
Dari keseluruhan tupoksi wapres dan sistem negara dapat ditarik kesimpulan bahwa wapres dapat dilihat sebagai “pembantu” presiden. Namun, istilah itu tak memiliki makna yang jelas sehingga tampaknya mampu menimbulkan persepsi bahwa jabatan wapres hanya dipandang sebagai “ban serep”.
Jika merujuk pada sejarah, pada masa orde baru (orba) istilah “ban serep” mulai berkurang ketika B. J. Habibie yang masih menjabat sebagai wapres mendapat pelimpahan tugas untuk memulihkan krisis ekonomi dan mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintahan Indonesia.
Setelah orba telah berakhir, sekaligus terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai RI-1, kepastian hukum kewenangan wapres dijelaskan pada Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden Kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-Hari.
Saat Megawati Soekarnoputri terpilih menggantikan Gus Dur, fenomena wapres sebagai “ban serep” muncul kembali lantaran hanya ditugaskan untuk mendampingi presiden dalam rapat kabinet dan kebijakan Hamzah Haz yang hanya berfokus pada faktor ekonomi saja.
Ketika era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), fenomena “ban serep” sirna kembali dikarenakan partai pengusung Wapres Jusuf Kalla (JK) yakni Partai Golkar mendapat persentase kemenangan di pemilihan legislatif (pilpres) daripada partai pengusung SBY yakni Partai Demokrat.
Kemenangan itu membuat JK mampu mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Wapres No. 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Bencana di Aceh padahal bertentangan Tap MPR dan Undang-Undang (UU) sehingga SK itu mampu menjadikannya sebagai Ketua Penanggulangan Bencana Aceh.
Dia juga berhasil untuk menginisiasi adanya Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005 silam hingga menghasilkan memorandum of understanding (MoU) yang disepakati kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka untuk mencabut tuntutan memisahkan diri dari Indonesia.
Selanjutnya, pada periode kedua SBY, peran Boediono sebagai wapres terkesan hanya mengikuti perintah presiden. Boediono tampaknya selalu memiliki pandangan dan pendapat yang selaras dengan isi kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY.
Berlanjut ke kepemimpinan periode pertama Jokowi, JK lagi-lagi menolak menjadi “ban serep” belaka dengan memberikan peran lebih aktif pada ranah politik luar negeri dengan menerapkan konsep diplomasi “tangan diatas” dengan memberikan berbagai bantuan kepada negara lain, terutama negara berkembang.
Upaya itu nyatanya mampu untuk menunjukkan eksistensi JK pada panggung internasional sehingga menciptakan legitimasi cukup baik bagi negara di panggung internasional.
Lantas, apakah Ma’ruf memang tidak cukup fenomenal jika dibandingkan dengan kesuksesan JK dalam membangun impresi politik?
Media Berpengaruh?
Survei untuk mengukur perbandingan kepuasan publik terhadap Jokowi dan Ma’ruf pernah dilakukan oleh Survei Indonesia Political Opinion (IPO). Survei tersebut menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap Ma’ruf jauh di bawah Jokowi.
Kepuasan publik terhadap Jokowi menunjukkan sebanyak 56 persen responden merasa sangat puas. Rinciannya antara lain sebanyak 58 persen puas pada bidang sosial, 55 persen merasa puas pada bidang ekonomi, dan 43 persen merasa puas pada bidang politik-hukum. Sementara itu, sebanyak 37 persen merasa tidak puas.
Di samping itu, kepuasan publik terhadap Ma’ruf dinilai puas oleh 36 persen responden dimana sebanyak 40 persen merasa puas pada bidang sosial, 29 persen merasa puas pada bidang ekonomi, dan 38 persen merasa puas pada bidang politik-hukum. Sementara itu, sebanyak 51 persen responden merasa tidak puas.
Survei itu memantik pendapat dari Jubir Wapres Masduki Baidlowi yang mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dimana wapres berada di bawah posisi presiden.
Dirinya kemudian secara harfiah dan tersurat menjelaskan istilah “ban serep” yang memiliki makna dimana kadang-kadang dipakai, kadang-kadang tidak dipakai.
Selain itu, kinerja Ma’ruf dispekulasikan tidak lebih populer dari kinerja presiden. Pertama, pada dasarnya mengapa wapres seringkali tidak banyak diliput oleh media bisa jadi karena konten kinerja mereka tidak terlalu mengundang perhatian publik yang berkaitan dengan klik, views, dan sensasi.
Pandangan pertama di atas sesuai dengan apa yang disampaikan Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters.
Di titik ini, sebenarnya Ma’ruf telah membagi tugas dengan Jokowi untuk menghadiri level konferensi yang sama. Ma’ruf dikabarkan menghadiri agenda PBB terkait dengan iklim pada KTT Conference of The Parties 27 (COP27) di Mesir pada 7 November lalu.
Pada kesempatan itu, Ma’ruf melakukan pidato untuk melakukan kerja sama bersama negara-negara yang hadir di pertemuan itu terkait kebijakan-kebijakan terkait lingkungan, termasuk penciptaan pasar karbon yang efektif dan berkeadilan, investasi untuk transisi energi, dan pendanaan untuk aksi iklim.
Uniknya, sebagai pakar dan praktisi keuangan Islam, Ma’ruf mendorong dunia untuk mengeksplorasi keuangan Islam sebagai sumber pembiayaan alternatif dan inovatif untuk green economy recovery dan aksi iklim. Tentunya, pidato tersebut menjadi pembuka kerja sama dengan negara-negara lain, terutama dari segi pendanaan program maupun kebijakan.
Kedua, pergerakan politik Ma’ruf tidak mengundang banyak perhatian publik. Hal ini dikarenakan dirinya yang merupakan wapres yang berasal dari non partai. Fakta itu kemudian mendorong lahirnya pandangan bahwa dirinya hanya lah alat politik Jokowi untuk meraup suara pada pemilihan umum (Pemilu) 2019 lalu.
Kala itu, kubu Jokowi yang dinilai beraliran nasionalis perlu melawan Prabowo-Sandi yang beraliran Islamis. Impresi itu bahkan memunculkan sebuah istilah cebong dan kampret yang seringkali memicu keributan di sosial media oleh pendukung masing-masing calon.
Lantas, bagaimana popularitas Ma’ruf setelah dipasangkan dengan Jokowi? Akankah tupoksi wapres dan presiden juga berpengaruh pada kampanye calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres)?
Jokowi Lebih “Bersinar”?
Satu hal yang tentunya berpengaruh dari pencalonan Jokowi-Ma’ruf yaitu dari segi popularitas. Ma’ruf lebih dikenal oleh masyarakat luas karena pencalonannya, namun hal ini tidak selaras dengan perhatian masyarakat yang masih terpusat kepada capres.
Bisa jadi pemusatan perhatian publik kepada capres juga dipengaruhi oleh faktor tupoksi wapres yang – lagi-lagi – terlalu menggantung kepada istilah “pembantu presiden”.
George E. Marcus dan Michael B. MacKuen dalam tulisannya yang berjudul Anxiety, Enthusiasm, and the Vote: The Emotional Underpinnings of Learning and Involvement During Presidential Campaigns telah membuktikan bahwa faktor emosionalitas juga berperan dalam pemrosesan informasi masyarakat saat kampanye yang berhubungan dengan kecemasan dan antusiasme.
Selain itu, jika melihat pergerakan politik Ma’ruf dirinya tidak memiliki background politik yang se-fenomenal Jokowi dan tidak terlihat memiliki ambisi kekuasaan yang besar sehingga di beberapa kesempatan dia tidak mampu mengalahkan popularitas Jokowi yang lebih bersinar.
Pada akhirnya jika Ma’ruf ingin mematahkan stigma “ban serep” yang seringkali menjadi julukan negatif bagi wapres sebelum-sebelumnya, dirinya perlu menunjukkan kontribusi dan eksistensinya pada program maupun kebijakan yang lebih strategis sehingga mampu mengundang perhatian publik dan media. (Z81)