Saat ini Presiden Jokowi telah melakukan langkah besar dengan berhasil disahkannya UU Cipta Kerja di DPR pada 5 Oktober lalu. Selain sebagai strategi untuk menarik investor dan mempermudah izin usaha, UU tersebut juga disebut sebagai langkah untuk memperbaiki birokrasi. Pertanyaannya, mungkinkah UU Cipta Kerja mengantarkan Indonesia untuk “menjadi Denmark”?
“Unfortunately, the problem of how to get to Denmark is one that probably cannot be solved for quite a few countries” – Francis Fukuyama, dalam The Imperative of State-Building (2004)
Bagi mereka yang menyukai olahraga sepak bola, khususnya penggemar klub sepak bola Tottenham Hotspur dan Inter Milan tentu sangat mengenal gelandang serang asal Denmark Christian Eriksen. Sebelum berlabuh di Ibu Kota Italia, kapten tim nasional Denmark ini juga sempat dikait-kaitkan dengan berbagai klub sepak bola top Eropa, seperti raksasa La Liga Spanyol, Real Madrid.
Yang menarik adalah, fenomena Eriksen yang menjadi rebutan ini juga dialami oleh negaranya, Denmark. Tentu konteksnya bukan bagaimana mendatangkan Denmark dalam artian denotatitfdenotatif, melainkan bagaimana meniru keberhasilan Denmark dalam menjalankan pemerintahan.
Keberhasilan tersebut tercermin dari posisi teratasnya sebagai negara paling bahagia di dunia pada 2013 dan 2016. Denmark memiliki pemerintah yang stabil, tingkat korupsi yang rendah, akses ke pendidikan dan perawatan kesehatan berkualitas tinggi, dan yang utama tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Siapa yang tidak tergiur atas capaian-capaian tersebut?
Francis Fukuyama dalam berbagai tulisannya bahkan menjadikan Denmark sebagai role model atas negara yang baik. Ia kemudian turut mempopulerkan istilah “menjadi Denmark” (getting to Denmark) sebagai frasa untuk menyebutkan bagaimana pemerintahan seharusnya dijalankan.
Tanpa diragukan, tentu setiap pemimpin negara menginginkan negaranya “menjadi Denmark”, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Atas keinginan ini, mantan Wali Kota Solo tersebut telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan non-populis yang disebut demi masa depan rakyat Indonesia.
Sejak periode pertama, kendati menyadari risiko besar pembengkakan utang, pembangunan masif infrastruktur telah dijalankan. Kini di periode keduanya, Undang-undang (UU) Cipta Kerja juga telah berhasil disahkan di Parlemen pada 5 Oktober lalu.
Meskipun pengesahannya diterpa badai penolakan dan cercaan publik, nyatanya Presiden Jokowi tidak bergeming karena menilai itu demi kebaikan bersama.
Sekarang pertanyaannya, mampukah Presiden Jokowi membawa Indonesia “menjadi Denmark”?
Membangun Negara
Dalam tulisannya The Imperative of State-Building (2004), Fukuyama membawa perdebatan penting terkait apakah intervensi atau peran negara harus diperkuat atau diperlemah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan pemerintahan yang baik?
Kendati merupakan seorang pendukung demokrasi liberalis dan Washington Consensus, menariknya di akhir tulisannya Fukuyama justru menyebutkan bahwa besaran tingkat intervensi negara tidak dapat digeneralisir atau dibuatkan panduan umum. Ia misalnya mencontohkan Taiwan yang intervensinya rendah dan Korea Utara yang intervensinya tinggi justru sama-sama menorehkan produk domestik bruto (PDB) yang tinggi.
Posisi tersebut ditarik dari bukti empiris, yakni narasi liberalisasi ekonomi dan minimal state yang gencar dipromosikan sejak Perang Dingin justru tidak berbuah pertumbuhan ekonomi di berbagai negara berkembang.
Kendati mengakui kegagalan empiris tersebut, Fukuyama tidak lupa memberikan pembelaan. Menurutnya, kegagalan berbagai negara dalam menerapkan liberalisasi ekonomi dan minimal state, bukan karena teorinya memang salah, melainkan negara-negara tersebut telah salah dalam memahami mengenai apa itu pengurangan intervensi atau peran negara.
Di sini, Fukuyama memberikan penjelasan menarik dengan menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai contoh. Mengutip sosiolog AS, Seymour Martin Lipset, institusi politik AS disebut sengaja dirancang untuk melemahkan atau membatasi pelaksanaan kekuasaan negara. Itu misalnya terlihat dari perlindungan yang jelas atas hak-hak individu, pemisahan kekuasaan, ataupun sistem federalisme. Artinya, AS merupakan negara yang lemah (weak state) atau memiliki peran negara yang kecil.
Akan tetapi, Fukuyama juga mengutip sosiolog Jerman, Max Weber untuk menyebutkan AS adalah negara yang sangat kuat (strong state). Simpulan tersebut dirujuk pada kemampuan pemerintah AS dan negara-negara bagiannya untuk menjamin masyarakat mematuhi hukum.
Artinya, di tatanan politik, AS memiliki sistem pemerintahan terbatas yang secara hati-hati membatasi ruang lingkup kegiatan negara. Namun di tatanan hukum, AS memiliki kekuatan yang sangat kuat untuk menjamin dipatuhinya hukum.
Dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (2004), ini yang dimaksud Fukuyama bahwa di wilayah-wilayah tertentu negara perlu dirampingkan, namun di wilayah-wilayah lainnya negara perlu diperkuat terus-menerus.
Persoalannya di sana, negara yang gagal menerapkan liberalisasi ekonomi terjadi karena penurunan peran negara dimaknai sebagai penurunan secara keseluruhan. Padahal, penurunan peran harus dibarengi dengan penguatan negara di sektor-sektor lainnya, seperti kepastian hukum dan memperbaiki kualitas pelayanan publik.
Artinya, faktor penting yang menjamin keberhasilan Washington Consensus adalah bagaimana membentuk internal pemerintahan yang mampu mengimbangi liberalisasi ekonomi. Oleh karenanya, Fukuyama menyimpulkan bahwa masalah utama kegagalan “menjadi Denmark” bukannya karena tidak mengetahui apa yang membedakannya dari Denmark atau apa langkah-langkah yang harus ditempuh, melainkan karena kurangnya kemauan internal pemerintah untuk melakukan reformasi.
Terjebak Birokrasi dan Kepastian Hukum?
Untuk menjadi negara bahagia seperti Denmark, meningkatkan pendapatan per kapita jelas merupakan tujuan utama. Dengan demikian, disahkannya UU Cipta Kerja tampaknya memiliki korelasi yang kuat dengan tujuan tersebut. Seperti yang diketahui, UU itu memang bertujuan untuk menarik investasi sebesar-besarnya, mempermudah izin usaha, dan memperbaiki korupsi birokrasi.
Namun, agaknya menjadi percuma apabila investor ramai datang dan usaha bertebaran di mana-mana tapi penyerapan manfaatnya kepada masyarakat masih rendah. Oleh karenanya, seperti penekanan Fukuyama, pemerintahan Jokowi perlu memperkuat peran negara agar manfaat tersebut dapat diterima secara maksimal. Pada persoalan tersebut letak masalahnya ada dua, yakni birokrasi dan kepastian hukum.
Mark Turner, Eko Prasojo, dan Rudiarto Sumarwono dalam tulisan mereka yang berjudul The Challenge of Reforming Big Bureaucracy in Indonesia menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia telah diwarisi birokrasi raksasa penuh korupsi, inefisiensi, dan berorientasi memberikan pelayanan yang buruk dari rezim Soeharto.
Di era reformasi, birokrasi buruk tersebut bukannya membaik, melainkan disebut bertambah korup. Dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (2004), Fukuyama menyebut otonomi daerah yang terjadi selepas turunnya Soeharto justru telah meningkatkan kesempatan korupsi di seluruh tingkatan eselon. Artinya, birokrasi yang ada pada dasarnya tidak berubah, melainkan hanya berganti kulit semata.
Muhadam Labolo dan Etin Indrayani dalam tulisan mereka yang berjudul Bureaucratic Reform and the Challenge of Good Governance Implementation in Indonesia menyebutkan terdapat tiga tantangan reformasi birokrasi di Indonesia.
Pertama, faktor internal yang meliputi ketidakmampuan birokrasi untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik. Kedua, faktor eksternal yang berkaitan dengan tingginya intervensi politik membuat birokrasi kehilangan konsentrasi dalam menjalankan fungsi pelayanan. Ketiga, faktor keraguan masyarakat terhadap efektivitas kebijakan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh birokrasi.
Nah, selain menyelesaikan masalah birokrasi, Presiden Jokowi juga harus mampu menjamin terciptanya kepastian hukum. Ini tidak hanya untuk menjaga ketertiban, melainkan juga untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Apalagi, kepastian hukum juga begitu vital untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Dan yang krusial tentunya adalah masalah pemberantasan korupsi. Dalam wawancaranya dengan PinterPolitik, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menegaskan ihwal kepastian hukum dan korupsi seharusnya menjadi poin utama pemerintah.
Tambahnya, dalam berbagai kajian, masalah korupsi sebenarnya yang menempati urutan teratas dalam menghambat investasi. Oleh karenanya, logika UU Cipta Kerja sebagai instrumen penarik investasi disebut Asfina memiliki logika yang kurang konsisten karena pemberantasan korupsi justru tidak diselesaikan terlebih dahulu.
Mengacu pada dihilangkannya justice collaborator (JC) sebagai syarat dalam memberikan remisi terhadap narapidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, serta disahkannya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang jamak dinilai melemahkan lembaga antirasuah, tampaknya menjadi pertanyaan serius atas ketegasan pemerintah dalam melawan korupsi.
Setelah menyelesaikan dua persoalan tersebut, Presiden Jokowi juga memiliki masalah serius lainnya untuk menjadi Denmark, yakni menjawab masalah heterogenitas di Indonesia. Masalahnya, heterogenitas tersebut dan juga perbedaan agama telah menciptakan politik identitas yang terus bereproduksi, yang mana itu berkonsekuensi pada ketidakstabilan politik.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa Presiden Jokowi tidak akan mampu membawa Indonesia “menjadi Denmark” apabila belum menyelesaikan kedua persoalan vital tersebut. Apalagi masalah heterogenitas, ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang masih menemui kebuntuan.
Terkait UU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, kita nantikan saja apakah UU tersebut memang benar-benar berdampak positif seperti klaim pemerintah atau tidak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)