HomeNalar PolitikMampukah Jokowi Geser Dolar AS?

Mampukah Jokowi Geser Dolar AS?

Seri Pemikiran John Mearsheimer

ank Indonesia (BI) dikabarkan akan menerapkan local currency settlement (LCS) dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) – membolehkan transaksi di antara kedua negara dilakukan dengan mata uang masing-masing. Apakah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akan dan mampu geser dominasi mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dalam perdagangan internasional?


PinterPolitik.com

“Cash rules everything around me. C.R.E.A.M. Get the money. Dollar dollar bill, y’all” – Wu-Tang Clan, “C.R.E.A.M.” (1994)

Di dunia, uang mungkin adalah segalanya. Boleh jadi, asumsi inilah yang ingin disampaikan oleh grup penyanyi rap Wu-Tang Clan yang berasal dari New York City dalam lagu mereka yang berjudul “C.R.E.A.M.” (1994).

Lagu yang disebut-sebut sebagai salah satu lagu hip-hop paling ikonik dalam sejarah ini kurang lebih juga menggambarkan bagaimana sulitnya kehidupan di kota besar Amerika Serikat (AS) tersebut. Di kota yang dijuluki sebagai the big apple tersebut, uang dolar (dollar bill) merupakan segalanya.

Alhasil, mereka harus berjuang sekuat mungkin agar mendapatkan dollar bill sebanyak-banyaknya. Pada intinya, mereka ingin mendapat C.R.E.A.M. di tengah realitas dunia yang dikuasai oleh kertas-kertas berwarna hijau itu.

Apa yang disebut dalam lirik-lirik Wu-Tang Clan bisa jadi tidak hanya isapan jempol belaka. Pasalnya, mungkin hampir semua negara sangat bergantung pada mata uang AS tersebut.

Baca Juga: Jokowi Lebih “Cuan” Gunakan Yuan?

Indonesia Ogah Pakai Dolar

Bagaimana tidak? Hampir semua perdagangan internasional dilakukan dengan menggunakan dolar AS. Bahkan, di Indonesia, bagaikan komoditas yang diperjualbelikan, cetakan uang dolar AS yang lebih baru dihargai lebih tinggi dibandingkan cetakan lama – meskipun nilai yang berlaku di negara asalnya bisa jadi masih sama.

Mungkin, inilah mengapa ada yang bilang bahwa Indonesia tidak ingin mengikuti jejak yang sama seperti Wu-Tang Clan – yakni dengan mengejar dolar sepenuhnya. Pasalnya, Bank Indonesia (BI) disebut akan segera menerapkan local currency settlement (LCS) dengan bank sentral dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Mekanisme LCS ini membolehkan perdagangan bilateral antara dua negara dilakukan dengan mata uang lokal – tergantung pada yurisdiksi mana yang dijadikan tempat settlement transaksi tersebut. Uniknya lagi, di luar Tiongkok, BI ternyata telah memiliki kesepakatan skema dengan sejumlah negara lain, yakni Jepang, Malaysia, dan Thailand.

Bukan tidak mungkin, sinyal keinginan Indonesia untuk melepaskan diri dari dominasi dolar AS ini dapat menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa akhirnya Indonesia yang berada di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dinilai ingin melepaskan diri dari dominasi mata uang yang dijuluki sebagai greenback itu? Lantas, mungkinkah keinginan itu terwujud dalam realitas di masa depan?

Bye­-bye, Dolar AS?

Adanya tendensi dari Indonesia untuk melepaskan diri dari dominasi dolar AS ini boleh jadi disebabkan oleh sejumlah faktor. Selain karena dolar AS dinilai semakin melemah semakin ke sini, faktor politis bisa juga mempengaruhi.

Anggapan bahwa dolar AS semakin ke sini semakin lemah ini telah banyak dibahas oleh para ahli ekonomi. Salah satunya adalah profesor ekonomi dan kebijakan publik dari Harvard University, Kenneth Rogoff, dalam tulisanya di The Guardian.

Kurang lebih, Rogoff berpendapat bahwa dominasi dolar AS pada suatu hari nanti bisa tergeser oleh mata uang besar lainnya, yakni renminbi (RMB) milik Tiongkok. Apalagi, baru-baru ini, pemerintah Tiongkok tengah menyiapkan sejumlah kebijakan yang bisa semakin mengancam takhta dolar AS, seperti mata uang digital (digital currency) resmi dari Bank Rakyat Tiongkok (PBOC) yang merupakan bank sentral Tiongkok.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Salah satu kelebihan renminbi lainya yang disebutkan oleh Rogoff adalah fleksibilitas yang dimilikinya. Bahkan, pada tahun 2016, International Monetary Fund (IMF) telah memasukkan renminbi sebagai salah satu mata uang dalam special drawing rights (SDR) yang merupakan aset cadangan internasional untuk melengkapi cadangan negara-negara anggotanya.

Bukan tidak mungkin, berbagai instrumen kebijakan yang mendorong renminbi ini akan semakin memperluas penggunaan mata uang Tiongkok itu. Alhasil, Rogoff pun menyebutkan bahwa dolar bisa kehilangan hampir separuh dominasinya suatu saat nanti.

Tidak hanya dari sisi ekonomi dan kebijakan, situasi politik antarnegara yang terjadi disebut juga bisa memperburuk dominasi dolar AS. Pasalnya, mengacu pada sebuah artikel di The Economist, AS sempat menggunakan mata uang ini sebagai senjata diplomatik – khususnya di era Presiden Donald Trump.

Baca Juga: Kerja Senyap Tiongkok Tata Dunia?

Kala dipimpin Trump, AS kerap mengobarkan ‘peperangan finansial’ terhadap negara-negara lain, seperti Rusia, Iran, Irak, dan sebagainya. Financial warfare ini dikobarkan melalui sanksi-sanksi yang diberikan terhadap negara-negara tersebut.

Pada tahun 2018, misalnya, sebuah perusahaan aluminium asal Rusia, Rusal, hampir bangkrut akibat sanksi dari AS. Trump disebut meblokir akses perusahaan-perusahaan Rusia ke greenback milik Federal Reserve System (bank sentral AS) alias The Fed. Akibatnya, banyak transaksi perusahaan tersebut yang menggunakan dolar macet dan tidak terselesaikan.

Keluhan atas penggunaan dolar sebagai senjata diplomatik ini juga pernah disampaikan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Rusia akhirnya terpaksa mengadakan skema-skema transaksi dan perjanjian dengan negara lain tanpa menggunakan mata uang dolar.

Apa yang dilakukan oleh Trump menggunakan dolar ini bisa jadi menggambarkan bagaimana AS diuntungkan oleh hegemoni dolar. Mengacu pada tulisan Carla Norloff yang berjudul Dollar Hegemony, kapabilitas ekonomi melalui dominasi mata uang semacam ini bisa saja membawa kekuatan politik bagi negara tersebut, yakni AS.

Apa yang disebutkan Norloff sejalan dengan penjelasan John J. Mearsheimer, seorang profesor politik dari University of Chicago, AS. Setidaknya, Mearsheimer menyebutkan bahwa negara bisa menggunakan kekuatan materialnya (material power) – seperti kemampuan ekonomi – untuk memaksimalkan kekuatannya dalam upaya menuju status hegemon.

Bukan tidak mungkin, upaya AS untuk menjaga hegemoninya dengan menggunakan dolar AS sebagai senjata diplomatik membuat banyak negara akhirnya merasa was-was bila masih bergantung pada greenback, termasuk Indonesia. Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah apakah mungkin pemerintahan Jokowi menggeser dominasi dolar di Indonesia. Mungkinkah ada hambatan dan tantangan yang harus dihadapi?

Please Stay, Dolar AS?

Dua faktor yang disebutkan di atas bisa saja menjadi alasan bagi Indonesia untuk menggeser penggunaan mata uang dolar AS yang terlalu dominan. Namun, bukan tidak mungkin, BI dan pemerintahan Jokowi harus menghadapi sejumlah hambatan dan tantangan apabila benar-benar ingin menggeser dominasi greenback.

Sebenarnya, menjadi beralasan apabila pemerintah Indonesia ingin melepaskan diri dari dominasi dolar AS. Pasalnya, bukan tidak mungkin, Presiden AS Joe Biden kembali menggunakan dolar AS sebagai senjata diplomatik dalam sanksi-sanksi ekonominya.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Lagi-lagi, Rusia menjadi salah satu negara yang menjadi sasaran Biden. Beberapa bulan lalu, AS memberikan sanksi ekonomi kepada Rusia karena dugaan serangan siber dalam pemilihan presiden (Pilpres) pada 2020 lalu.

Belum lagi, Biden kini melancarkan politik luar negeri AS yang didasarkan pada nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), demokrasi, dan perubahan iklim. Bisa jadi, Indonesia dibuat khawatir akan jargon politik luar negeri Biden.

Pasalnya, Indonesia sendiri kini dilaporkan sebagai negara yang mengalami kemunduran dalam pelaksanaan demokrasi dan perlindungan HAM. Pemerintahan Jokowi mungkin berpikir akan lebih aman dari sanksi ekonomi AS apabila penggunaan dolar AS bisa diminimalisir.

Ini sejalan dengan konsep tatanan dunia liberal (liberal international order) yang disebutkan oleh Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail. AS bisa saja akan menerapkan prinsip-prinsip liberal kepada negara-negara lain melalui tatanan dunia yang telah dibangunnya pasca-Perang Dunia II berakhir.

Baca Juga: De-dolarisasi, Jokowi Setara Gaddafi?

Jokowi Melawan Dolar AS

Namun, bila benar pemerintahan Jokowi dan BI ingin lepas dari dominasi mata uang dolar AS, tentu saja terdapat sejumlah hambatan dan tantangan. Seperti yang dibilang oleh Rogoff, meski dominasi dolar AS mengalami penurunan, mata uang besar lainnya seperti renminbi belum mampu menyaingi dominasi greenback.

Renminbi hingga kini masih “dilemahakan” terhadap mata uang dolar AS. Ini terjadi akibat kebijakan renminbi peg yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok agar menjaga nilai mata uangnya relatif lebih lemah dibandingkan mata uang negara lain agar ekspor produk Tiongkok dapat meningkat.

Selain itu, dalam hal perdagangan dengan AS, Indonesia bisa jadi masih membutuhkan mata uang greenback. Pasalnya, Indonesia hingga kini masih menikmati surplus perdagangan dengan negeri Paman Sam tersebut dan Jokowi bisa saja tidak ingin surplus ini hilang begitu saja.

Selain itu, sejumlah sektor ekonomi di Indonesia masih membutuhkan komoditas-komoditas yang diimpor dari AS. Kedelai, misalnya, beberapa waktu lalu sempat mengganggu stabilitas harga tempe yang notabene merupakan makanan yang dengan permintaan tinggi di Indonesia.

Bila benar pemerintahan Jokowi ingin menggeser dominasi dolar AS dengan renminbi Tiongkok, Indonesia pun malah bisa mengalami kerugian dalam hal perdagangan. Hingga tahun 2020, Indonesia malah mengalami defisit neraca perdagangan terhadap negara Tirai Bambu tersebut. Sejumlah kebijakan yang menguntungkan renminbi bisa saja malah meningkatkan defisit tersebut di masa mendatang.

Melihat pertimbangan-pertimbangan ini, pertanyaan adalah apakah pemerintahan Jokowi benar-benar mampu dan efektif menggeser hegemoni dolar AS. Mungkin, perhitungan ini perlu dipikirkan matang-matang oleh pemerintah Indonesia dan BI dalam menjalankan politik mata uang ke depannya. (A43)

Baca Juga: Jokowi dan Perang Uang AS-Tiongkok


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?