Hadirnya Gibran dalam percaturan politik, mengisyaratkan bahwa ada trah Jokowi yang akan melanjutkan estafet dalam dunia politik. Gibran harus memperlihatkan kemapanan dalam politik, di tengah banyak isu yang menerpanya. Lantas, mampukah Gibran melanjutkan estafet politik trah Jokowi?
Dinasti politik bukanlah sebuah fenomena baru dalam literatur ilmu politik. Bahkan dalam praktiknya, fenomena ini telah lama eksis di negara Barat, seperti Amerika Serikat dengan munculnya klan Kennedy dan Bush, serta Kanada dengan adanya klan Trudeau. Bahkan di Asia Tenggara, seperti di Filipina, Kamboja, dan Indonesia juga mengenal tren dinasti politik.
Di Indonesia misalkan, ada klan Soekarno dan klan Soeharto, dan saat ini ada praktik dinasti politik yang menghadirkan klan baru, yaitu klan Joko Widodo (Jokowi). Hal ini sebagai bukti dari cerminan suburnya praktik regenerasi kekuasaan berlandaskan hubungan darah dalam politik di Indonesia.
Seperti yang diketahui, perjalanan politik Jokowi termasuk fenomenal. Jokowi kerap diasosiasikan sebagai pemimpin sederhana yang dekat dengan rakyat. Mengawali karier sebagai pengusaha furnitur, Jokowi menjadi Wali Kota Solo pada 2005 hingga 2012, kemudian naik menjadi Gubernur DKI Jakarta selama dua tahun hingga 2014, karena beranjak meraih kursi Presiden.
Bahkan rekor terbaru terjadi pada Pilkada serentak 2020, Jokowi menjadi satu-satunya Presiden aktif sepanjang sejarah Republik Indonesia yang mempunyai anak dan menantu menjabat sebagai kepala daerah sekaligus. Mereka adalah Gibran Rakabuming Raka yang menang Wali Kota Solo dan menantunya Bobby Nasution yang menang jadi Wali Kota Medan.
Yang menarik adalah, baru-baru ini dua Putra Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keduanya dilaporkan atas dugaan tindak pidana korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang berkaitan dengan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Laporan yang dibuat oleh dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun itu seolah menjadi tantangan bagi keberlanjutan klan Jokowi dalam pentas politik di Indonesia. Lantas, seperti apa kita melihat fenomena upaya melanjutkan estafet kepemimpinan yang lebih kita kenal sebagai dinasti politik ini?
Baca juga: Sejarah Politik Dinasti, Antara Jokowi dan Gibran
Meraba Dinasti Politik
Politik dinasti merupakan warisan kekuasaan tradisional yang telah lama ada di Indonesia sejak berabad-abad silam. Sejak era monarki, ikatan genealogis telah digunakan sebagai dasar regenerasi politik guna melanggengkan kekuasaan. Hingga kini, ruh dari praktik politik dinasti masih berhembus di alam demokrasi.
Familisme atau sikap mementingkan keluarga dalam warisan kekuasaan merupakan corak khas politik lokal yang telah terjadi selama berabad-abad. Dahulu, sistem ini jamak diterapkan saat Indonesia masih terbagi dalam wilayah-wilayah kerajaan.
Contohnya seperti yang ada dalam kosmologi Jawa, di mana kekuasaan dan kepemimpinan selalu diselimuti oleh aura spiritual dan mistis. Dalam tradisi Jawa yang disinggung di atas, seseorang menjadi pemimpin karena dikaruniai semacam “wahyu keprabon” atau guratan tangan yang menakdirkannya sebagai raja atau pemimpin. Dan secara umum rakyat akan percaya kepada raja karena kekuatan mistiknya, termasuk tunduk kepada keluarga raja juga bagian dari kepercayaan ini.
Tapi semua itu telah berubah. Konsep dinasti politik dalam psikologi publik di Indonesia modern misalnya, mengalami nada yang lebih negatif. Hal ini disebabkan oleh cara pandang tentang dinasti politik yang dianggap lekat dengan praktik nepotisme.
Jika kita bandingkan, reaksi publik di Indonesia terhadap dinasti politik tidak seramah reaksi publik di beberapa negara lainnya, seperti di India, Filipina, bahkan Amerika Serikat. Sikap publik ramah disebabkan hasil dari konsep dinasti publik tidak mengecewakan dan tokoh politik yang lahir dari dinasti politik juga siap diuji di tengah publik.
Dante C. Simbulan dalam bukunya The Modern Principali: The Historical Evolution of the Philippine Ruling Oligarchy, mencatat munculnya elite politik di Filipina pada tahun 1946 hingga tahun 1963 memperlihatkan bahwa dari 169 keluarga berpengaruh, melahirkan 584 pejabat publik, termasuk 7 presiden, 2 wakil presiden, dan 189 anggota legislatif yang tersebar menjadi senator atau anggota DPR Filipina.
Dari studi Dante, dapat kita melihat bahwa di Filipina sebagai komparasi, dinasti politik bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan dinasti politik dapat dijadikan ajang proses penggemblengan seorang tokoh politik. Proses seperti ini biasa disebut sebagai proses mentorship.
Febriansyah Ramadahan, peneliti dari Nagara Institute, mencatat sebanyak 124 calon kepala daerah diketahui mempunyai relasi kekeluargaan di Pilkada serentak 2020. Rinciannya, 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota, serta 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur.
Secara kuantitas, penelitian Febriansyah memperlihatkan bahwa konsep dinasti politik juga semakin memperlihatkan eksistensinya pada pilkada-pilkada yang dilaksanakan di Indonesia. Artinya, dinasti politik tidak hanya terdapat pada skala nasional melainkan juga hadir di daerah-daerah.
Secara legal, sebenarnya tak ada aturan hukum maupun konstitusi yang melarang kerabat pejabat publik untuk maju dalam Pilkada. Bahkan belum pernah ada negara yang melarang warganya untuk maju di pemilihan umum hanya karena dia kerabat seorang pejabat publik.
Well, artinya dinasti politik merupakan kelumrahan dalam sistem politik dimanapun. Lantas jika demikian, seperti apa prospek estafet politik Jokowi?
Baca juga: PDIP: Politik Dinasti Itu Biasa
Virtue dan Fortune
Menjadi seorang anak Presiden bukanlah sebuah pilihan, terdapat semacam keberuntungan yang mengalir melalui sistem kekeluargaan, sehingga Gibran terima atau tidak ada faktor luck yang menentukan dirinya bisa mulus dalam percaturan politik lokal di Solo.
Apa yang dialami Gibran sebenarnya terdapat dalam tulisan-tulisan Niccolò Machiavelli, ketika menguraikan dan menganalisis berbagai peristiwa politik seringkali menggunakan istilah virtue dan fortune. Secara khusus, dua istilah tersebut muncul dalam berbagai pengertian dan konteks.
Baca juga: Dinasti Jokowi, Siapa Untung?
Quentin Skinner dalam bukunya Machiavelli on the Maintenance of Liberty, menafsirkan virtue sebagai himpunan kualitas yang dimiliki seorang raja (pemimpin) yang berkelindan dengan nasib baik (fortune) untuk memperoleh penghormatan, kemuliaan, serta kemasyhuran. Dengan demikian, istilah virtue mengacu pada seperangkat nilai-nilai unggul yang dimiliki individu.
Pada konsep virtue dan fortune, Machiavelli lebih menghargai model kepemimpinan yang memperoleh kekuasaan melalui kecakapan sendiri (virtue) dan bukan mengikuti nasib baik (fortune). Meskipun misalnya dalam konteks kerajaan, seorang pangeran harus menerima takdirnya, yaitu keberuntungan untuk meneruskan takhta, tapi dia harus dapat melatih diri agar dapat menjadi raja yang baik.
Dengan demikian, Gibran sebagai pelanjut estafet politik Jokowi, jika ingin tetap eksis dalam dunia politik, maka dia harus terus menarik pelajaran berharga dari setiap permasalahan yang dihadapinya.
Akan muncul seleksi alam yang menuntut Gibran untuk mempertajam keterampilan dalam memimpin (virtue), sehingga tetap bisa survive. Sejauh ini, dengan pembawaan yang tenang dan tidak terlalu memberikan reaksi berlebihan ketika diserang oleh berbagai isu, menunjukkan bahwa kedewasaan Gibran bisa dikatakan matang untuk hal itu.
Pada akhirnya, dinamika politik yang akan menentukan seorang tokoh tersebut dapat bertahan atau tidak dalam dunia politik, tidak peduli dia berasal dari mana. Seseorang yang mampu mengolah kecakapan (virtue) pada akhirnya akan mengalahkan orang yang hanya berharap pada keberuntungan (fortune). (I76)
Baca juga: Koordinator YLBHI: Politik Dinasti di Provinsi Banten Masih Kuat