HomeNalar PolitikMampu Yasonna Revisi UU Narkotika?

Mampu Yasonna Revisi UU Narkotika?

Kasus kebakaran di Lapas I Tangerang yang menewaskan puluhan narapidana kembali menghangatkan diskursus soal over kapasitas lapas di Indonesia. Melihat angkanya, 50 persen isi lapas ternyata diisi oleh narapidana narkotika. Lantas, haruskah pengguna narkotika tidak dipenjara untuk menjawab masalah over kapasitas lapas?


PinterPolitik.com

Sampai saat ini, 46 narapidana dilaporkan tewas dalam kebakaran yang terjadi di Lapas I Tangerang pada Rabu (8/9) dini hari. Dalam keterangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), 40 di antaranya merupakan narapidana narkotika.

Kebakaran ini tidak hanya mengangkat soal bagaimana bisa jumlah korban sebanyak itu, melainkan juga kembali mengangkat persoalan klasik terkait over kapasitas lapas di Indonesia. Disebutkan, Lapas I Tangerang mengalami over kapasitas sebanyak 400 persen.

Menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dari 13 kebakaran lapas yang terjadi dalam tiga tahun terakhir, 10 di antaranya mengalami over kapasitas.

Persoalan over kapasitas sebenarnya telah beberapa kali disinggung secara terbuka oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly. Pada Juni 2020, Yasonna memberikan pendapat menarik terkait cara mengurangi over kapasitas lapas ketika hadir di podcast Deddy Corbuzier.

Menurutnya, pengguna narkotika seharusnya tidak dimasukkan ke penjara. Pasalnya, 50 persen penghuni lapas di Indonesia ternyata adalah narapidana narkotika.

Pada keterangannya dalam menyikapi kasus kebakaran Lapas I Tangerang, Yasonna kembali mengungkapkan hal serupa. Selain itu, Yasonna juga menyinggung UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena disebutnya tidak relevan lagi dengan kondisi darurat narkoba di Indonesia.

Baca Juga: Menyoal Persoalan Overcrowded Lapas

Masalahnya, pemidanaan pengguna narkotika tidak hanya mengurangi keberhasilan penyembuhan pengguna, melainkan juga menyebabkan lapas dan rutan mengalami over kapasitas. Oleh karenanya, pengguna narkotika seharusnya direhabilitasi alih-alih dijatuhi sanksi pidana penjara.

Sama dengan Yasonna, anggota Komisi III DPR Taufik Basari juga menilai harus ada paradigma yang dibangun agar pengguna narkoba seharusnya direhabilitasi, bukannya dimasukkan ke dalam penjara. Menurutnya, jika pecandu narkoba tidak disembuhkan dengan direhabilitasi, maka masalah over kapasitas lapas di Indonesia tidak akan pernah selesai.

Dalam hematnya, Menkumham Yasonna menilai revisi UU Narkotika adalah cara memberikan masyarakat akses terhadap keadilan. Lantas, mampukah Yasonna mewujudkan revisi tersebut?

Hukum Mengejar Keadilan

Dalam hemat penulis, diungkitnya istilah “keadilan” sebagai dalil merevisi UU Narkotika oleh Yasonna sangatlah menarik. Besar kemungkinan, pemilihan istilah itu disandarkan pada hukum progresif.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Norbertus Jegalus dalam bukunya Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif membuka bukunya dengan pertanyaan menarik, apa yang kita maksud dengan hukum?

Menurutnya, bagi kebanyakan orang, khususnya mereka yang mempelajari ilmu hukum, apa yang dimaksudkan sebagai hukum adalah seperangkat aturan tertulis yang telah diatur negara. Ini disebut sebagai hukum positif. Dalam perspektif ini, adil atau tidaknya tindakan manusia ditentukan oleh peraturan hukum itu sendiri.

Namun, beda halnya dengan hukum progresif. Dalam pandangan hukum progresif, hukum disebut sebagai hukum apabila memberikan rasa keadilan. Penekanan ini berbeda dengan hukum positif yang menilai keadilan berdasar pada hukum itu sendiri.

Selain penggunaan istilah keadilan, pemilihan kalimat Yasonna soal UU Narkotika yang sudah tidak relevan juga sangat menarik. Penekannya soal peraturan hukum yang harus menjawab kebutuhan masyarakat, besar kemungkinan bertolak pada hukum responsif.

Baca Juga: Prahara Lepas Penghuni Lapas

Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Law and Society in Transition towards Responsive Law memaparkan bahwa teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.

Di sini hukum berperan sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Dalam perspektif ini, Nonet dan Selznick melihat hukum sebagai unsur yang sangat penting dari tertib sosial.

Nah, bertolak pada masalah banyaknya pengguna narkotika di Indonesia, serta over kapasitas lapas yang disebabkan oleh banyaknya narapidana narkotika, merevisi UU Narkotika jelas merupakan pemenuhan kebutuhan dan aspirasi sosial. Revisi tersebut adalah respons hukum terhadap kebutuhan masyarakat, serta akses keadilan.

Masalah Sistem Hukum

Mengacu pada teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, selain revisi UU Narkotika, ada dua komponen lagi yang perlu diperhatikan. Dalam teorinya, Friedman menyebut hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat bekerja, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

Substansi hukum adalah peraturan tertulis, struktur hukum adalah aparat dan institusi penegak hukum, dan budaya hukum adalah respons atau kebiasaan masyarakat dalam menyikapi suatu hukum. Menurut Friedman, hukum adalah suatu sistem. Oleh karenanya, penegakan hukum akan sulit terjadi apabila ketiga komponen tersebut tidak saling menunjang.

Nah, selain masalah substansi hukum, yakni merevisi UU Narkotika, komponen struktur hukum dan budaya hukum juga perlu mendapat perhatian serius.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengan mengacu pada Pasal 54 UU Narkotika, mantan peneliti KontraS yang sekarang menjadi praktisi hukum di Winrow Veritas Law Firm,  Falis Aga Triatama, menyebut pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Menurut Falis, dalam prakteknya, penentuan tersangka dapat dijebloskan ke dalam penjara atau rehabilitasi justru tergantung dari proses assessment yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Di dalam assessment tersebut, apabila tersangka murni pengguna narkotika, maka akan direhabilitasi. Namun apabila tersangka ditemukan turut menjadi pengedar, kerapkali assessment yang diberikan adalah pidana penjara.

Menurutnya, aparat penegak hukum penting untuk menerapkan justice collaborator ataupun whistleblower dalam penerapan tindak pidana narkotika agar dapat mengurangi jumlah tahanan narkotika di dalam lapas, bahkan mengusut bandar-bandar besar agar memutus rantai peredaran narkotika.

Namun, di dalam UU Narkotika, ketentuan justice collaborator dan whistleblower belum diatur, sehingga masih minim perlindungan bagi orang yang mau melakukan kerja sama untuk mengungkap bandar besar dalam kasus narkotika. Sama seperti Yasonna, Falis menilai revisi UU Narkotika adalah solusi dalam persoalan ini.

Baca Juga: Corona: Hadiah Yasonna untuk Narapidana

Dalam keterangan Falis, Ia tidak hanya menyinggung soal substansi hukum, melainkan juga struktur hukum dan budaya hukum. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Falis menyinggung soal aparat yang merupakan struktur hukum justru kerap memberikan assessment pidana penjara.

Jika persoalan tersebut telah menjadi kebiasaan, maka dapat dikatakan telah ada budaya hukum, di mana praktik memasukkan pengguna narkotika ke dalam penjara telah menjadi kebiasaan. Yang menjadi perhatian adalah, budaya semacam itu bertentangan dengan Pasal 54 UU Narkotika yang menegaskan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Nah sekarang pertanyaannya, mampukah Menkumham Yasonna merevisi UU Narkotika? Selain itu, bukan hanya soal substansi hukum yang harus menjadi perhatian Yasonna, melainkan juga struktur hukum dan budaya hukum.

Masalahnya, tidak hanya sekali ditemukan berita terdapat transaksi narkotika di dalam lapas. Ini jelas merupakan masalah pada aparat penegak hukum dan respons masyarakat yang abai terhadap peraturan hukum.

Jika masalah sistem hukum ini tidak diselesaikan, masalah over kapasitas lapas hanya akan menjadi pembahasan berulang tiap tahunnya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...