Site icon PinterPolitik.com

Makna Mengerikan di Balik People Power

indonesia salah paham dengan demokrasi

Massa yang tergabung dalam aliansi buruh dan mahasiswa mulai tiba di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (21/4/2022) (FOTO: CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Mendekati masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 istilah people power kembali dimunculkan. Apakah istilah tersebut benar-benar merepresentasikan aspirasi masyarakat? Atau jangan-jangan ada hal lain yang perlu kita maknai bersama tentang people power?


PinterPolitik.com

Kalian mungkin pernah mendengar sebuah istilah yang berbunyi people power. Yess, paska Pemilihan Umum 2019 (Pemilu 2019) kata-kata itu sempat digunakan oleh Amien Rais ketika menduga adanya kecurangan dalam proses penghitungan suara.

Baru-baru ini, istilah people power kembali dipopulerkan pengamat politik Rocky Gerung saat dirinya mengungkapkan ada kekuatan massa yang besar di balik bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan bila Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) nanti ditunda.

Mengaku pernah berbicara dengan salah satu pendukung Anies, Rocky sebut mereka akan berusaha sekuat mungkin agar Anies bisa “bertanding”.

Namun, pernahkah kalian bertanya, apa yang sebenarnya dimaksud dengan people power?

Tentu, secara harfiah people power umumnya diterjemahkan sebagai kesatuan aspirasi rakyat yang bergerak apabila ada kekuatan yang menghalangi mereka, tanpa peduli itu satu kelompok tertentu atau bahkan pemerintah.

Akan tetapi, apakah benar di era modern ini people power benar-benar kekuatan rakyat? Atau jangan-jangan istilah itu hanyalah istilah halus yang digunakan untuk memperlembut sebuah fenomena politik?

People Power Bukan Milik Rakyat?

Sebagai sebuah negara demokrasi, pemerintahan Indonesia tentu harus disesuaikan dengan kehendak rakyatnya. Jika hal itu bisa dijalankan secara efektif, maka good governance atau pemerintahan yang baik akan tercapai.

Terkait pemerintahan yang baik, Aristoteles dalam bukunya Politics menjelaskan ada tiga bentuk pemerintahan yang “bagus”, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Tetapi, tiga bentuk pemerintahan ini dibayang-bayangi oleh bentuk pemerintahan yang “terburuk”, yakni tirani, oligarki, dan mobokrasi.

Menariknya, kalau kita coba pahami bersama, people power sebenarnya sangat berkaitan dengan salah satu pemerintahan yang buruk menurut Aristoteles, yakni mobokrasi.

Mobokrasi berasal dari kata “mob” yang artinya adalah “massa”, atau gerombolan orang-orang yang tidak teratur.

Sederhananya, mobokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan yang diselenggarakan dan dilaksanakan oleh massa atau segerombolan orang yang tidak teratur dan digerakkan berdasarkan rasa amarah semata.

Oleh karena itu, alih-alih menjadi solusi, mobokrasi justru bisa saja malah akan menimbulkan efek kekacauan karena mengandaikan pembagian kekuasaan yang merata, namun tidak terkontrol dan tanpa arah.

Dan kalau kita mau gali lebih dalam lagi, persoalan people power ini tidak hanya terkait mobokrasi, tetapi juga konsep opini publik itu sendiri di era informasi.

Seperti yang pernah ditulis dalam artikel PinterPolitik yang berjudul GoTo Bisa Kendalikan Pemilu 2024?, dengan adanya teknologi canggih seperti big data, saat ini kita perlu terus mempertanyakan setiap preferensi politik yang populer, karena bisa jadi opini tersebut sebenarnya adalah opini artifisial yang dibuat oleh para pemain politik yang memiliki akses ke kekuatan teknologi.

Dalam kata lain, apa yang kita anggap sebagai people power, mungkin saja sebenarnya itu adalah sebuah gerakan yang memang didesain sedemikian rupa oleh para kompetitor politik yang sedang merasa dirugikan. Pada akhirnya, gerombolan massa yang terkelabui oleh kohesitas people power tidak lain hanya menjadi bidak dari pemain politik lainnya.

Fenomena seperti ini sebenarnya sudah mulai diprediksi oleh para pengamat, dengan memberinya istilah tech-dystopia atau distopia teknologi. Jonathan Zittrain, profesor hukum sekaligus ilmu komputer di Universitas Harvard dalam artikel wawancara Are We Already Living in a Tech Dystopia?, mengatakan saat ini yang terjadi adalah perkembangan teknologi yang seharusnya memperbaiki kesalahan umat manusia, justru telah bertransformasi menjadi senjata yang digunakan untuk “menundukkan” kita.

Ketika disisipkan kepentingan politik, media massa modern akan sangat merusak tatanan kebebasan masyarakat dengan cara yang sangat sadis, yakni tidak membuat mereka tahu bahwa mereka saat ini telah jadi korban pembelokkan narasi.

Akan tetapi, tentu semua ini hanyalah interpretasi dan dugaan-dugaan belaka. Yang jelas, saat ini kemajuan teknologi dan politik sudah semakin mendalam dan kita perlu berpikir berulang-ulang kali sebelum mengatakan atau melakukan sebuah aksi yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. (D74)

Exit mobile version