Site icon PinterPolitik.com

Makkah-Beijing Beradu di Indonesia?

Pertemuan Sekjen Sekretariat Bersama (Sekber) Indonesia M. Idrus dengan Rizieq Shihab memunculkan wacana poros Makkah dan poros Beijing. (Foto: Istimewa)

“Obrolan dengan Habib Rizieq dengan Sekber ke depan Pilpres 2019 hanya ada 2 poros yang bertarung, di mana Poros Keumatan tetap konsisten mengusung agenda umat,” Muhammad Idrus, Sekjen Sekber Indonesia


PinterPolitik.com

[dropcap]G[/dropcap]awat, ada kabar bahwa poros Makkah dan poros Beijing akan “berperang” dalam waktu dekat. Tidak main-main, dua kubu dengan latar budaya berbeda ini diberitakan akan melakukan pertarungan mereka di Indonesia. Bangsa Indonesia jelas harus bersiap-siap dengan peperangan akbar ini.

Ternyata, peperangan yang dimaksud bukan benar-benar pertarungan antara Arab Saudi dengan Tiongkok. Poros Makkah dan poros Beijing yang dimaksud adalah koalisi-koalisi yang dibentuk jelang Pilpres 2019. Pernyataan ini diungkapkan oleh Sekjen Sekretariat Bersama (Sekber) Indonesia, Muhammad Idrus.

Poros Makkah yang dimaksud Idrus adalah Koalisi Keumatan yang digawangi oleh Gerindra, PAN, dan PKS. Sementara itu, poros Beijing digambarkan sebagai pemerintahan Jokowi dan partai-partai pendukungnya yang dianggap dekat dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping.

Banyak orang mempertanyakan munculnya wacana poros Makkah dan poros Beijing tersebut. Menurut mereka, dikotomi poros tersebut tergolong berbahaya untuk diterapkan di tanah air. Jika memang berbahaya, mengapa wacana soal poros ini bisa mengemuka?

Poros Makkah dan Poros Beijing Beradu

Munculnya wacana poros Makkah dan poros Beijing tergolong tiba-tiba. Di hari yang Idul Fitri suci, M. Idrus mencuatkan wacana tersebut setelah bertemu dengan Rizieq Shihab di Tanah Suci. Praktis, banyak orang terheran-heran dengan dikotomi tidak lazim tersebut.

Dikotomi poros Makkah dan poros Beijing dianggap dapat memecah belah masyarakat menjadi dua kubu yang ekstrem. Dikotomi tersebut dianggap sebagai upaya untuk melanggengkan politik identitas di negeri ini.

Dalam pernyataannya, Idrus menyebut bahwa poros Makkah adalah poros keumatan yang mengusung agenda umat. Mereka menyebut bahwa poros ini adalah poros yang tidak akan melakukan kriminalisasi ulama. Terlihat jelas bahwa ada agenda identitas Islam pada label poros Makkah.

Di sisi berseberangan, cap poros Beijing diberikan kepada pemerintahan Jokowi dan partai-partai pendukungnya karena dianggap dekat dengan Xi Jinping. Indikasi dari hal ini adalah melalui program One Belt One Road (OBOR), masuknya tenaga kerja asing asal Tiongkok, dan juga beban utang yang sebagian besar berasal dari Negeri Tirai Bambu itu.

Di luar itu, pembagian poros tersebut bisa saja mengikuti momentum yang tengah terjadi secara global. Beberapa waktu yang lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengemukakan bahwa ekonomi Tiongkok adalah ekonomi yang predatoris. Label poros Beijing kepada kubu lawan jelas tergolong melemahkan karena dianggap mendukung kegiatan ekonomi predatoris tersebut.

Jika pembagian dua poros tersebut benar-benar terjadi, kubu poros Makkah sepertinya telah mendapatkan angin terlebih dahulu. Mereka tidak hanya dapat memainkan isu identitas, tetapi mereka juga tampak sejalan dengan kebijakan Gedung Putih yang menganggap ekonomi Beijing sebagai predator. Memang tidak ada bukti bahwa Washington akan mendukung poros Makkah, tetapi setidaknya poros Makkah berada di kubu yang berseberangan dengan Beijing yang tidak disukai Washington.

Ternyata, tidak semua pihak setuju dengan gagasan Idrus tersebut. Partai-partai pendukung Jokowi jelas tidak sepakat dengan kategorisasi semacam itu. PDIP menganggap bahwa penggunaan diksi dalam dikotomi tersebut menyesatkan. Senada dengan hal itu, Golkar menilai wacana tersebut mencederai kesejukan dan persaudaraan bangsa.

Partai-partai yang dikategorikan poros Makkah tampaknya juga tidak terlalu antusias dengan wacana poros Makkah dan poros Beijing tersebut. PAN misalnya menganggap bahwa pembagian poros tersebut berpotensi membelah masyarakat menjadi dua kubu. Sementara itu, PKS menganggap politik tidak bisa disederhanakan menjadi dua poros tersebut.

Dikotomi Sebagai Framing

Jika diperhatikan, wacana poros Makkah dan poros Beijing tampak lebih dekat dengan political framing ketimbang kutub-kutub politik yang benar-benar nyata. Strategi semacam ini tergolong lazim dilakukan untuk keuntungan politik tertentu.

George Lakoff menyebutkan bahwa tanpa framing, suatu argumen dapat menjadi tidak efektif. Politikus kerap menggunakan framing untuk menciptakan solusi sendiri dari suatu masalah dibandingkan dengan pihak lawannya.

Terlihat bahwa dari framing dikotomi poros tersebut kubu Makkah ingin menunjukkan bahwa merekalah solusi dari masalah yang terjadi saat ini. Hal ini terutama berlaku untuk urusan yang berbau identitas Islam. Mereka misalnya menawarkan solusi bagi persoalan kriminalisasi ulama yang terjadi di era poros Beijing.

Selain itu, poros Makkah juga dapat memunculkan wacana bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah dari kebijakan pro-Beijing kubu lawannya. Dalam konteks ini, mereka bisa mewacanakan diri anti tenaga kerja asing dan juga anti-utang Tiongkok.

Framing yang mengemuka dari pembagian poros tersebut juga adalah soal narasi us against them atau ‘kita melawan mereka’. Narasi kita lawan mereka ini kerap digunakan dalam kontestasi politik seperti yang dikemukakan oleh David Livingstone Smith.

Smith menggambarkan kita lawan mereka tersebut dengan sangat ekstrem. Manusia menciptakan kita melawan mereka dengan men-dehumanisasi lawan. Ia menyebut bahwa kubu yang dianggap ‘mereka’ akan disetarakan dengan hewan.

Dalam konteks poros Makkah dan poros Beijing, kubu us atau kita yang dimaksud adalah poros Makkah yang dianggap peduli dengan isu-isu keumatan. Sementara itu, kubu mereka atau them adalah poros Beijing yang dianggap tidak peduli umat dan pro-Tiongkok.

Memang dalam dikotomi poros Makkah dan poros Beijing tidak ada dehumanisasi seperti yang digambarkan Thompson. Akan tetapi, wacana tersebut memanfaatkan kebencian atau fobia yang bisa mendekati kondisi tersebut, yaitu Sinofobia atau sentimen anti-Tiongkok.

Belakangan ini kebencian terhadap bangsa Tiongkok memang kembali mengemuka. Hal ini diperparah dengan isu tenaga kerja asing dan juga utang Tiongkok. Kubu poros Makkah jelas ingin mendapat keuntungan dengan memberi label Beijing kepada kubu Jokowi karena adanya Sinofobia tersebut.

Bisa jadi dehumanisasi baru akan terjadi ketika narasi semacam ini terus digunakan. Kebencian atau fobia bisa saja meningkat menjadi rasa benci yang lebih besar. Hal inilah yang dikhawatirkan banyak pihak terkait wacana dikotomi tersebut.

Kita vs Mereka di Dunia

Narasi soal kita dan mereka melalui label-label serupa dengan poros Tiongkok sebenarnya bukanlah hal yang unik terjadi di Indonesia saja. Jika diperhatikan, penggunaan strategi politik identitas semacam itu terjadi nyaris di seluruh dunia. Secara global, populisme membuat label-label semacam itu banyak digunakan politikus di seluruh dunia.

Pemimpin-pemimpin populis kerap menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat di negara masing-masing. Keberpihakan ini seringkali diperjelas dengan menyerang identitas yang lekat dengan kubu lawannya. Dalam konteks ini, imigran dan pengungsi adalah identitas yang paling rentan diserang oleh pemimpin populis pengguna narasi kita lawan mereka.

Presiden AS, Donald Trump misalnya menggunakan narasi semacam ini dengan memberikan label America First pada strategi kampanyenya. Ini membuat Trump memunculkan narasi bahwa kandidat yang pro-Amerika adalah dirinya. Otomatis, label anti-Amerika menempel pada lawannya saat itu yaitu Hillary Clinton.

Sebagaimana poros Makkah yang mengklaim sebagai pro-umat, kampanye Trump juga mengklaim dirinya sebagai pihak yang pro-rakyat AS. Ia kerapkali menyebut akan mengembalikan Amerika untuk rakyat negeri Paman Sam tersebut. hal ini sangat kontras dengan kubu Demokrat dan Clinton yang dianggap pro-imigran.

Terlihat bahwa Trump ingin memberikan solusi dari permasalahan imigran yang kerap mengambil lapangan kerja masyarakat AS. Di sisi lain, Hillary Clinton dan Partai Demokrat secara umum tergolong jauh lebih lunak dalam menangani masalah tersebut. Hal ini sejalan dengan poros Makkah yang menyoroti isu tenaga kerja asing asal Tiongkok yang hadir di era Jokowi.

Berdasarkan kondisi tersebut, penggunaan istilah poros Makkah dan poros Tiongkok memang sarat dengan kepentingan politik identitas. Framing ini memang amat kental dengan nuansa kita lawan mereka. Meski lazim terjadi, hal ini menyimpan potensi bahaya karena mengambil sentimen fobia yang ada di dalam masyarakat untuk tujuan politis. (H33)

Exit mobile version