Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan kewenangan dan tanggung jawab lebih kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi melalui Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2019. Boleh jadi, posisi Luhut Binsar Pandjaitan yang semakin kuat ini merupakan cara Jokowi untuk andalkan sang Menko.
PinterPolitik.com
“We’ve been living in a cold, cold world, cold world. But at least I have you to rely” – The Weeknd, penyanyi R&B asal Kanada
Tanggal 18 Oktober lalu bisa jadi merupakan momen yang mengharukan bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Bagaimana tidak? Hari itu diisi dengan acara silaturahmi terakhir di antara kawan-kawan Kabinet Kerja.
Canda dan tawa mewarnai ruangan kala itu. Pasalnya, Susi Pudjiastuti yang saltum (salah kostum) mengundang tawa dari menteri-menteri lain. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu memang dikenal di antara rekan-rekannya sebagai sosok yang doyan berdagel.
Kabinet kerja : Berfoto bergembira bersama pic.twitter.com/v1GwAbnatE
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) October 19, 2019
Namun, suara tawa yang sama itu tak akan mengisi rapat-rapat kabinet lagi. Sosok Susi ternyata tidak hadir di Istana ketika Presiden Jokowi mengumumkan menteri-menteri barunya dalam Kabinet Indonesia Maju.
Jokowi mungkin paham bahwa tidak ada orang yang akan tetap berjalan bersamanya. Seperti pepatah bilang, akan ada saatnya setiap orang datang dan pergi.
Namun, pepatah ini tampaknya tak berlaku bagi Luhut Binsar Pandjaitan. Nama tersebut kembali disebut Jokowi pada 23 Oktober lalu dengan gelar jabatan yang sedikit berubah, yakni sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Bertahannya Luhut di kabinet baru ini sontak ditanggapi oleh beberapa pihak. Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan misalnya, langsung mengomentari komposisi baru kabinet Jokowi melalui blog pribadinya, termasuk soal Luhut.
Menurut Dahlan, Luhut merupakan salah satu tokoh yang masih mendominasi dalam pemerintahan Jokowi. Saking mendominasinya, Menko Kemaritiman tersebut pun mendapat tugas tambahan, yakni soal investasi.
Mungkin benar apa yang dijelaskan Dahlan bahwa Luhut masih diperlukan di mata presiden. Pasalnya, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2019 tentang Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang memberikan beberapa kewenangan lebih banyak pada Luhut – dari pengawalan program nasional dan kebijakan, penyelesaian persoalan antar-kementerian atau lembaga yang sulit diatasi, hingga beberapa kementerian/lembaga tambahan yang dapat dikoordinasikan.
Beberapa pertanyaan pun timbul. Mengapa Jokowi bersedia memberikan beberapa kekuatannya pada Luhut? Apa pentingnya Luhut dalam Kabinet Indonesia Maju?
Pemusatan Kekuatan
Pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas oleh Jokowi kepada Luhut bisa jadi merupakan upaya presiden untuk mengoordinasikan kebijakan-kebijakan pemerintahannya, terutama soal ekonomi dan investasi. Boleh jadi, ini adalah upaya mantan Wali Kota Solo itu guna memusatkan kekuatannya.
Esther Samboh dalam tulisan opininya yang berjudul Indonesia Inc. di Jakarta Post menjelaskan bahwa Jokowi ingin periode keduanya berfokus pada kebijakan-kebijakan ekonomi. Guna mewujudkannya, Samboh menganalogikan posisi Jokowi yang memiliki keterlibatan yang mendalam layaknya seorang chief executive officer (CEO) dalam sebuah perusahaan.
Jokowi dianggap perlu berhati-hati terhadap apa-apa saja yang akan dilakukan bawahannya dalam mewujudkan visi ekonomi presiden. Pasalnya, sang presiden juga memerlukan bantuan banyak pihak dalam mewujudkannya, seperti Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar yang ditugaskan untuk menjalankan negosiasi-negosiasi perdagangan dengan berbagai negara dan pihak lain.
Pendelegasian yang tidak tunggal ini tentu menciptakan risiko akan munculnya ketidakseragaman dalam pelaksanaan visi Jokowinomics – sebutan untuk arah kebijakan ekonomi Jokowi yang berfokus pada pembangunan. Apalagi, selain soal kemungkinan ketidakpahaman dan ketidaksamaan visi, partai-partai politik yang memegang sejumlah jabatan juga bisa saja menjadi ancaman bagi fokus Jokowi tersebut.
Oleh sebab itu, mengacu pada tulisan Samboh, Jokowi memerlukan bantuan beberapa figur yang kuat untuk membantunya memegang kendali pemerintahan. Di sinilah, peran Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjadi penting.
Upaya Jokowi untuk memegang kendali pemerintahan ini boleh jadi merupakan bentuk upaya pemusatan (centralization) kekuatan eksekutif. James A. Gazell dari San Diego State University dalam tulisannya yang berjudul Trends in Centralized Control of the Executive Branch menjelaskan bahwa upaya ini dilakukan guna menguatkan pengaruh presiden di ranah eksekutif.
Upaya pemusatan kekuatan presiden ini biasanya dilakukan melalui beberapa perubahan struktural. Gazell mencontohkan beberapa presiden di Amerika Serikat (AS) yang melakukan upaya-upaya itu.
Presiden Dwight D. Eisenhower misalnya, mengubah lembaga Council of Economic Advisers (CEA) dari yang awalnya hanya memberikan rekomendasi kebijakan ekonomi menjadi sebuah lembaga yang merefleksikan pandangan dan arah kebijakan presiden. Eisenhower melakukannya dengan menempatkan Arthur Burns sebagai ketuanya.
Roger B. Porter dari Harvard University dalam tulisannya yang berjudul Economic Advice to the President menjelaskan bahwa Burns kemudian membentuk sebuah komite yang bernama Advisory Board on Economic Growth and Stability (ABEGS). Komite ini berfungsi sebagai forum di mana pemikiran atas kebijakan-kebijakan ekonomi setiap kementerian dan badan dapat saling dibandingkan dan dikoordinasikan.
Berkaca pada apa yang dilakukan Eisenhower melalui Burns di AS, apakah Jokowi juga melakukan hal serupa bersama Luhut?
Bisa jadi, Jokowi juga melakukan upaya pemusatan kekuatan eksekutif melalui pemberian kewenangan koordinasi kepada Luhut. Seperti Burns, Menko Kemaritiman dan Investasi tersebut – mengacu pada tulisan Samboh – telah menjalankan diskusi bersama berbagai kementerian dan lembaga – seperti Kementerian Energid an Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perhubungan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) – guna menjalankan fungsi koordinasinya.
Pertanyaannya, jika memang Jokowi ingin memusatkan kekuatannya di ranah eksekutif, mengapa Luhut yang dipilih? Mengapa sang presiden memilih Menko Kemaritiman dan Investasi tersebut sebagai penyalur pemusatan kekuatannya?
Mengapa Luhut?
Dengan memberikan kewenangan lebih kepada Luhut, Jokowi boleh jadi berusaha untuk memusatkan kekuatannya. Mungkin, sang presiden melihat kekuatan Luhut sendiri dalam melaksanakan visi Jokowi.
Mengacu pada tulisan Samboh kembali, Luhut disebutkan sebagai salah satu sosok yang dibutuhkan oleh Jokowi. Sejak periode pertamanya, presiden dinilai kerap mengandalkan pengaruh Luhut yang kuat.
Mungkin, kecenderungan Jokowi untuk mengandalkan Luhut dalam pemerintahannya berkaitan dengan kedekatan personal di antara keduanya. Aaron L. Connelly dalam tulisannya di Lowy Institute menjelaskan bahwa presiden dan sang menko telah mengenal satu sama lain jauh sebelum Jokowi menjabat sebagai pemimpin eksekutif Indonesia, yakni ketika keduanya masih berada dalam kerja sama bisnis.
Jokowi juga dinilai mengandalkan Luhut dalam menentukan kebijakan-kebijakan luar negerinya. Connelly menjelaskan bahwa presiden menempatkan Luhut sebagai penasihatnya dalam hal ini.
Koneksi yang dimiliki oleh Menko Kemaritiman dan Investasi tersebut juga luas. Di luar pengalamannya sebagai pebisnis, Luhut memiliki relasi yang luas di berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, dan Australia – membantu Jokowi membangun relasi dengan negara-negara tersebut.
Beberapa pihak juga menilai bahwa koneksi Luhut yang luas tersebut juga membantu pemerintaan Jokowi menarik para investor asing, seperti dari Tiongkok yang memiliki kerangka pinjaman Belt and Road Initiatie (BRI) atau One Belt, One Road (OBOR).
Boleh jadi, pemberian kewenangan yang lebih oleh Jokowi kepada Luhut ini merupakan bagian dari upaya presiden untuk menjembatani kelancaran investasi antara investor-investor asing dengan birokrasi yang kerap menghambat laju investasi. Dengan begitu, visi Jokowinomics dapat lebih cepat terwujud.
Uniknya, kembalinya Luhut sebagai menteri dalam Kabinet Indonesia Maju dinilai juga bertujuan untuk menghalau berbagai kepentingan politik. Mantan Menteri BUMN Dahlan misalnya, dalam blog-nya menilai Luhut dapat menjadi bumper terhadap berbagai pengaruh politik pihak lain, termasuk dari Dewan Perwakulan Rakyat (DPR).
Kanupriya Kapoor dalam tulisannya di Reuters pernah menjelaskan peran Luhut dalam periode pertama Jokowi. Kapoor menganggap Luhut berperan sebagai penjaga pintu gerbang Jokowi yang menghalau pengaruh berbagai partai politik, termasuk PDI Perjuangan (PDIP).
Lantas, bagaimana dengan Kabinet Indonesia Maju? Apakah peran Luhut masih sama?
Boleh jadi, Luhut memang dibutuhkan Jokowi untuk menghalau berbagai tekanan politik. Apalagi, dengan kewenangannya yang diperluas, Luhut semakin leluasa menembus berbagai kebijakan menteri yang berkaitan dengan visi Jokowi.
Uniknya, beberapa pihak juga menilai bahwa Luhut hadir di kabinet baru guna menghalau pengaruh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang disebut-sebut bisa saja merusak jalannya pemerintahan Jokowi 2.0. Setidaknya, asumsi ini datang dari filsuf Rocky Gerung.
Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan Rocky itu, Jokowi boleh jadi memang masih membutuhkan pengaruh kuat dan koneksi luas Luhut. Dengan adanya keinginan percepatan Jokowinomics, Jokowi bisa jadi merasa pengaruh Luhut juga perlu diperluas lagi.
Mungkin, apa yang dirasakan Jokowi turut tercerminkan dalam lirik The Weeknd di awal tulisan. Dalam situasi sekitarnya – baik domestik maupun internasional – yang semakin tidak stabil, setidaknya presiden masih memiliki seseorang yang dapat diandalkan. Menarik untuk ditunggu langkah Luhut selanjutnya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.